Punggung itu duduk diam seakan bertapa. Nomor "001" di seragamnya naik pelan seiring pengambilan napas dalam yang seketika menegangkan punggungnya, sebelum kembali ke posisi semula yang tenang bagaikan gunung. Bagaikan gunung pula, "001" hening seribu bahasa.
"HOIIIII? BUDEK KAH KAU? KABUR WOI KABUR!" WuuUUuuUuUUuuUuung.
RA-TA-TA-TA-TA. Kesabaran dan kenekatan tahanan itu menipis, "AH, SERAH KAU LAH, HAHAHA!! JANGAN NYESAL PAS TERKUNCI LAGI INI!" dan TANGÂ dihantamnya jeruji tak berdaya itu keras-keras seperti simbal. Jeruji yang sebelumnya memiliki daya listrik yang cukup kuat untuk mencegah para tahanan keluar tanpa izin kini hanya dapat merengek lemah, seperti biola yang dimainkan amatir.
"001" mengambil napas dalam-dalam lagi, bahunya naik mengikuti udara yang masuk ke hidungnya. Kemudian, ia menghempaskan napasnya dan melegakan bahunya. Stabil. Konstan. Metronom yang tidak dihiraukan di dalam sel gelapnya.
Dalam. Luar. Dalam. Luar. Tap.
Wung. Wung. Wung.
"001" merasakan bahunya disentuh. Ada yang mendekatinya selain nyamuk yang mencoba mengisap darahnya, langkahnya tanpa suara. Perlahan, ia menoleh ke arah sentuhan itu. "Hei. Kamu juga. Kamu dengar?"
"001" mengangguk.
"Haha, tidak banyak bicara kawan yang satu ini. Ya, setidaknya kamu dengar dan mengangguk," pria itu mendorong kacamatanya ke atas, "Rencana ini perlu banyak tenaga dan keahlian. Kita tidak tahu dan tidak perlu tahu nama kita siapa -- kita semua punya satu tujuan: kebebasan."
Lingkaran tahanan kecil dalam sel itu memusatkan perhatian ke tahanan berkacamata ini. Selain seragamnya, tampangnya seperti pegawai swasta yang berkontras total dengan latar belakang penjara ini.
"Yang kita perlukan hanya kerja sama ... di antara kita pasti ada keahlian kita masing-masing yang dapat membantu kita keluar."