Mohon tunggu...
Ari da Kedes
Ari da Kedes Mohon Tunggu... Pelajar perenial

gemar membaca dan menulis berbagai macam tulisan, bereksperimen dengan bahasa dan tulisan untuk menghasilkan suatu karya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabur

21 Januari 2025   02:11 Diperbarui: 21 Januari 2025   02:11 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Scott Webb on Unsplash | Foto oleh Scott Webb di Unsplash

Alarm panik disuarakan.

Seisi gedung dilumuri merah darah. Komando dan perintah lugas dari petugas dan sorakan porak-poranda dari tahanan. Penjara bagaikan rimba hutan. Hanya hukum rimba yang berlaku sekarang.

Yang kuat akan bebas, dan yang lemah akan dilahap hidup-hidup oleh mereka.

Sorakan manusia mencoba melebihi monoton mesin yang berdengung, suara yang berwarna merah.

WUUUUUUUUUUUUUuuuuung ...

"FORMASI! JAGA REGU KALIAN! CEPAT! CEPAT! CEPAT!"

Seluruh sel terbuka dalam panggung merah ini. Seluruh pasukan berseragam api dan bumi saling berbenturan.

Suara senapan api berkobar dengan teriakan yang menggetarkan bumi yang dipijak, melengkapi harmoni kakofoni.

Di dalam kekacauan ini, seorang tahanan duduk meringkuk di dalam sel gelapnya. Punggungnya tidak menghiraukan kedipan merah dan sorakan seru tahanan lainnya ataupun perintah lugas para petugas yang diikuti dengan perkusi RA-TA-TA-TA-TA.

"WUUHUY, HOI!" seorang tahanan mengarahkan suaranya ke dalam sel gelap itu dengan suara melengking. "Ngapain kau diam dalam sana, HOI?" dia mengguncangkan jeruji dengan liar, menambah kehebohan orkestra penjara, "KITA BEBAS, KAWAN! KAPAN LAGI BISA KABUR, HOI?"

Punggung itu duduk diam seakan bertapa. Nomor "001" di seragamnya naik pelan seiring pengambilan napas dalam yang seketika menegangkan punggungnya, sebelum kembali ke posisi semula yang tenang bagaikan gunung. Bagaikan gunung pula, "001" hening seribu bahasa.

"HOIIIII? BUDEK KAH KAU? KABUR WOI KABUR!" WuuUUuuUuUUuuUuung.

RA-TA-TA-TA-TA. Kesabaran dan kenekatan tahanan itu menipis, "AH, SERAH KAU LAH, HAHAHA!! JANGAN NYESAL PAS TERKUNCI LAGI INI!" dan TANG dihantamnya jeruji tak berdaya itu keras-keras seperti simbal. Jeruji yang sebelumnya memiliki daya listrik yang cukup kuat untuk mencegah para tahanan keluar tanpa izin kini hanya dapat merengek lemah, seperti biola yang dimainkan amatir.

"001" mengambil napas dalam-dalam lagi, bahunya naik mengikuti udara yang masuk ke hidungnya. Kemudian, ia menghempaskan napasnya dan melegakan bahunya. Stabil. Konstan. Metronom yang tidak dihiraukan di dalam sel gelapnya.

Dalam. Luar. Dalam. Luar. Tap.

Wung. Wung. Wung.

"001" merasakan bahunya disentuh. Ada yang mendekatinya selain nyamuk yang mencoba mengisap darahnya, langkahnya tanpa suara. Perlahan, ia menoleh ke arah sentuhan itu. "Hei. Kamu juga. Kamu dengar?"

"001" mengangguk.

"Haha, tidak banyak bicara kawan yang satu ini. Ya, setidaknya kamu dengar dan mengangguk," pria itu mendorong kacamatanya ke atas, "Rencana ini perlu banyak tenaga dan keahlian. Kita tidak tahu dan tidak perlu tahu nama kita siapa -- kita semua punya satu tujuan: kebebasan."

Lingkaran tahanan kecil dalam sel itu memusatkan perhatian ke tahanan berkacamata ini. Selain seragamnya, tampangnya seperti pegawai swasta yang berkontras total dengan latar belakang penjara ini.

"Yang kita perlukan hanya kerja sama ... di antara kita pasti ada keahlian kita masing-masing yang dapat membantu kita keluar."

Wung. Wung. Wung.

"001" melirik ke tahanan lainnya yang mendengarkan ceramah "pegawai swasta" ini. Tahanan itu tidak menghiraukannya, ia kelihatan tidak percaya, sinis, garang. Mukanya penuh dengan bekas luka dan tato yang seakan memaksa buka matanya untuk memelotot.

Meski demikian, entah karena terhasut atau sebagai bentuk intimidasi, tahanan garang ini sekejap menghantam keras lantai beton dalam sel mereka. BAM!

Dengan itu, lantai distempel dengan jejak kepalan tangannya.

Wung. Wung. Wung.

Tanpa melepaskan tatapannya ke "pegawai swasta", ia berkata dengan lugas, "Keahlian ... Sakiti ... Orang." Ia menyeringai setelah mengucapkan kata terakhir itu. Buku jarinya terkelupas, detik-detik darah gerimis menintai stempelnya.

Setelah menelan ludahnya, "pegawai swasta" tersenyum tenang, meskipun matanya mulai panik dan melihat ke arah "001". Kemudian, bagaikan diplomat handal, ia langsung tertawa, "Ahaa ... baik, tenaga kuat, bagus, kalau kamu?"

"001" menatapnya lemah, tangan besarnya memungut serpihan dari beton yang terstempel. Kemudian, ia mendekati serpihan itu ke matanya, fokus kepada butir beton di antara jempol dan telunjuknya.

Wung. Wung. 

Shyuuut. "001" menyentil butiran itu ke arah "pegawai swasta". Seperti peluru. Hampir kena kupingnya.

Hening.

"001" menunjuk lagi ke arah serpihan itu terbang. Nyamuk tertusuk tepat di bagian tengah toraks. Menusuk seperti tatapan lemas "001" yang menatap ke tahanan garang, kemudian ke "pegawai swasta".

"Haha, baik, tidak perlu kata-kata, paham," "pegawai swasta" tertawa gugup, keringat dingin turun dari pelipisnya yang merasakan lejitnya serpihan beton itu. Beberapa sentimeter lagi, kupingnya mungkin berdarah seperti kepalan tahanan garang.

"Kau ... Ahli ... Apa?" ia tanya dengan matanya yang melotot.

"Aku?"

"Siapa ... Lagi?" bahu tahanan garang ini menegang dan kepalan tangannya mengeras.

"Ah, sebentar, sebentar, seperti kalian, mungkin lebih baik aku tunjukkan."

Si "pegawai swasta" berjalan mundur, jempolnya mendorong kacamatanya ke atas, ia memungut kembali serpihan beton yang disentil "001". Saat itulah ia sadar adanya nyamuk mati di ujung serpihan.

Tersenyum, ia melemparkan serpihan itu ke arah "001", yang menangkapnya tanpa melepaskan tatapannya dari "pegawai swasta".

"Pegang erat 'pelurumu', kawan," katanya, "pegang erat dan jangan lepaskan."

"001" mengikuti perintahnya. Serpihan itu digenggamnya erat, ditutupi oleh jari-jemarinya yang tebal.

Setelah berjalan mondar-mandir di dalam sel, "pegawai swasta" berkata "Ah, sepertinya kurang erat, kawan," sembari menunjukkan serpihan dengan setitik darah nyamuk dalam tangannya.

"001" membuka tangannya yang menggenggam erat serpihan itu. Hilang. Tanpa jejak.

"Pegawai swasta" tersenyum licik, "Jadi ... ini rencananya ..."

WUuUuUuuuuUUuuUuuUuuuung.

RA-TA-TA-TA-TA-TA.

Tarik napas. Buang. Tarik napas. Buang.

"001" mendengar langkah deras tahanan ribut itu berhenti seketika, mengikuti paduan suara senapan dan suatu bruk samar-samar, hantaman badan lumpuh memukul lantai beton.

Ia membuka mulutnya, bergumam kepada dirinya sendiri, membalas tahanan ribut yang tidak lagi dapat mendengarnya atau membalasnya.

"Kebebasan itu hampa. Kebebasan itu ilusi. Hidup dan mati bagimu hanya permainan bagi mereka."

Tap. Tap. Tap.

"Itu, kamu lihat? Ada tombol darurat di ujung ruangan, kalau kamu bisa memukul tombol itu -- dengan ... sesuatu, penjara ini akan masuk ke mode panik; sel-sel akan terbuka. Nah, aku sudah mengambil ini ..." "pegawai swasta" menunjukkan kartu akses, "tapi sepertinya aksesnya terbatas, hanya bisa dari koridor sel kita sampai ke ruangan kedap suara itu, yang dipakai untuk menyiks...ah interogasi. Ck. Sepertinya kuambil dari petugas spesialis interogasi. Hmhm ... tapi aku sudah mencuri pandang denah penjara ini sebelumnya, dan ruangan di sampingnya adalah gudang perkakas. Tidak masalah, hanya penundaan minor."

"001" merasa "pegawai swasta" banyak berbicara. Namun, cukup andal.

Tahanan garang itu paham apa rencana si "pegawai swasta" sekarang. "Dinding kedap suara tidak sekeras beton."

"Aku ... Pergi ... Bebas."

"Ah, kamu, apa yang kamu perlukan untuk disentil ke tombol?"

"Paku. Cukup."

"Hem... bisa bicara juga kamu, kawan, kukira kamu tidak bisa. Singkat padat jelas, tapi, ya?"

"001" tidak bersuara lagi. Tatapannya terpusat pada tombol yang menjadi targetnya. Ia menunggu amunisinya.

"Pegawai swasta" yang melihat ini mendorong kacamatanya ke atas lagi, dan mengikuti tahanan garang itu dengan kartu aksesnya. "001" tetap berdiam dalam posisi. Stand by.

Mungkin akan memakan waktu cukup lama untuk tahanan garang itu membobol ke gudang.

"Rencana ...? Kenapa ... Tidak ... Bobol ... Luar?"

"Karena terlalu mengalihkan perhatian! Ada seni dalam melarikan diri dari penjara, kalau benar-benar mau bebas, tidak ada petugas yang boleh sadar kita lari sebelum kita keluar; untuk itulah tombol panik: kekacauan, pengambil alih, distraksi. Saat itulah kita dapat meraih kebebasan di tangan kita."

Bagaikan diplomat.

Kedua tahanan lain mengangguk.

"001" tidak melepaskan tatapan matanya, sesuai perintah. Tarik napas. Hembus. Tarik napas. Hembus ...

Dan hal terakhir yang dapat dilihatnya hanyalah dua paku yang tertancap ke bola matanya dari belakang. Tanpa suara.

"001" merasakan kepedihan dan sakit yang luar biasa. Menyeringai, tetapi tidak mengerang. Jeritannya ditelan, ia mencoba mengatur pernapasannya, mencoba berpikir apa yang baru saja terjadi.

"001" mendengar ... "Hooo, yang ini tidak bersuara, kawan, menarik sekali! Tidak seperti tahanan lamban itu yang tampangnya saja garang tapi kehilangan tangan sedikit saja langsung jerit tidak keruan. Ah ... kamu akan jadi mainan yang menarik."

Tap. Tap. Tap.

Kini jelas terdengar. Inilah langkah "pegawai swasta" di tengah kekacauan.

"Oh? Kawan lama, kenapa kamu tidak lari seperti yang lainnya?"

Matanya yang kabur tidak lagi melihat peluang kabur

Namun, dendam, dengan mata kabur pun, dapat dilampiaskan.

Seekor ular, dengan mata kabur sekalipun, tanpa lengan sekalipun, bisa mematikan mangsanya.

Untuk "001", perasaan giginya menembus kulit dan merasakan pahitnya darah hangat mangsanya, bersamaan dengan suara berdeguk dan koyaknya ligamen-ligamen yang dicengkeram taringnya ...

Itulah kebebasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun