Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dongeng: Mette dari Norge

19 September 2020   16:08 Diperbarui: 20 September 2020   19:33 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image dari [TheRoadLesTraveled.Com]

Dongeng: Mette dari Norge

[Jasmine]

~o0o~

Brakk! Keluar dari pintu belakang tempatnya bekerja, Mette segera berlari menyusuri lorong demi lorong memanjang di bawah gedung-gedung vertikal. Bersyukur ia tinggal di negeri bernama Norge di mana lelorongnya tak serumit dan sekumuh Dharavi, India. 

Selepas lorong ketiga Mette sudah menemukan jalan besar dengan keriuhan yang sudah ia duga. Ini sudah mendekati pertengahan Mei, masyarakat Norge tengah bersuka cita hendak menyambut hari libur nasional. 

Dengan langkah cepat, ia menuruni tangga yang mengarah ke stasiun subway. Hop! Sekali lompat saja, dalam sekejap tubuh rampingnya itu sudah lenyap ditelan gerbong putih T-bane.

Syal putih gading sepucat rambutnya itu, ia kalungkan lalu digulungnya beberapa kali di atas kepala hingga menyisakan sedikit saja wajahnya yang kental berciri khas Skandinavia. Cukup sulit menemukan gerbong dengan minimal subwayer. 

Di mana-mana tampak penumpang mutualan dengan kostum bunad yang ceria. Ya, ya, tentu saja, sebab ini H-2 menjelang syttende mai, hari Konstitusi yang dirayakan seluruh warga Norge sebagai hari libur nasional.

Mette meraih telepon selularnya, menekan beberapa tombol dengan sigap tanpa perlu menyimak layar.

"Hallo? Mette... darling?" suara di seberang terdengar.

"Hallo, Fru? Ya, ini aku," jawab Mette pelan, kemudian, "Maafkan aku Fru, jangan tunggu aku ya? Sepertinya aku pulang dini hari besok. Tolong jaga Tor untukku, hmm? Takk...mmuah, mmuah, mmuah."

Diselusupkan telepon ke dalam mantel kulit chamois-nya, lalu Mette duduk merapat ke sudut dekat jendela. Pandang matanya kosong menatap segala hal yang ditawarkan di luar jendela. 

Entah mengapa semuanya tampak menyatu dalam warna kelabu. Tak terkecuali Noregg Flagg dan bendera Kongeflaget yang berkibar meriah dalam berbagai ukuran.

Mette tampak berusaha memejamkan mata. Irama nafasnya mulai teratur. Angannya melesat pada seraut wajah tampan, rambut kuning pucat, mata biru teduh, bibir merah yang selalu mengerucut penuh bujuk dan tatapan yang sarat permohonan. Memohon padanya untuk tak sering-sering meninggalkannya. Oh, Tor, maafkan Mamma, Tor, batin Mette merintih.

~(0)~

Oh, tidak. Bagaimana mungkin aku selalu berakhir di sini?

Mette memandang sekeliling. Sepi. Hijau. Tenang. Dan sebuah gereja Stave berdiri anggun tepat di depannya. Mette mengirimkan senyumnya pada bangunan bersejarah itu, seolah mengatakan: Hai, Aku datang lagi!

Ia memang tak pernah bosan mengagumi gereja tua yang kini terlihat kesepian itu. Tak nampak pengunjung selain dirinya. Tak ada jerit celoteh kanak-kanak, apalagi kehadiran para remaja yang lebih gembira mengobrol di pub daripada berbincang akrab dengan Tuhan. 

Mette menatap lekat-lekat gereja yang keseluruhan konstruksinya itu terbuat dari kayu dan secara menakjubkan rumah ibadah ini konon sudah ada sejak abad pertengahan?

"Owh, kau itukah! Prinsesse? Oh, ya, senang sekali melihatmu lagi!"

Mette sedikit terlonjak ke belakang, tak mengira bila kehadirannya telah diketahui. Padahal setahunya ia telah berusaha sesenyap mungkin tiba di halaman belakang Stave ini.

"Dame...," Mette lekas mendaratkan bukit pipi merah jambunya ke pipi perempuan tua yang ia panggil "Dame." Sosoknya anggun, bijak, tenang, dan tak pernah menanggalkan kerudung hitam dengan renda-renda senada menutupi rambut putihnya.

"Darling, kuharap kedatanganmu kali ini karena kerinduanmu padaku, hmm? Bukan seperti sebelum-sebelumnya. Karena hmm... melarikan diri?" Dame membelai wajah cantik yang tampak benar tengah kesulitan menyembunyikan rasa malunya karena merasa tersindir.

"Ah, Dame..., maafkan aku," Mette tak mampu bicara banyak, hanya sanggup memohon maaf dengan kerjap matanya, disusul pelukan erat pada tubuh tua beraroma sedap menyejukkan itu.

"Baiklah Sayang, baiklah, baiklah...," Dame menepuk-tepuk pelan punggung Mette, kembali membelai lembut rambut pirang indah dengan gaya yang tak macam-macam, lurus saja. 

Tak seperti kebanyakan gadis-gadis muda yang umumnya senang bereksperimen dengan model rambut. Prinsesse-nya ini, seingatnya bahkan tak pernah membubuhkan maskara. Pernah ia tanyakan itu, dan jawabannya sungguh manis didengar. 

Katanya, percuma berdandan Dame, hari ini aku hanya seorang pelayan restoran, pekan depan mungkin aku telah berakhir di sebuah rumah penitipan jompo, pekan berikutnya bisa jadi aku sedang membawa senampan botol minuman di sebuah klub. 

Maskara? Ya, pernah kucoba sekali. Hahaha, aku tetap seorang wanita, Dame. Tapi, kau tahu? Seketika itu anakku menjerit histeris. Tor memang baru 3 tahun, barangkali  ia terlalu terkejut dan mengira aku telah dipukuli ayahnya yang tak pernah ia jumpai sejak tujuh hari usianya.

"Tor?" Dame bertanya seraya menyuguhkan secangkir kaffe, tanpa gula, namun semangkuk kecil cream tetap disajikan sebagai penawar pahit. Mereka tetap bercengkerama di teras belakang walau waktu telah bergeser hingga tengah malam. Namun alam masih belum tidur di Norge, matahari masih seterang lampu penerangan jalan, midnight sun, sebutannya.

"Tor bersama Fru. Ia akan selalu menjaga Tor untukku. Oh, entah apa jadinya bila tak ada Fru. Tuhan mengirimkannya agar aku bisa mengandalkannya di saat-saat darurat. Tuhan memberkati kalian berdua, Fru dan engkau, Dame," pada titik ini Mette mulai kehilangan control dirinya. Perempuan muda itu mulai menangis tersedu-sedu.

"Kau lari dari amukan suami. Kau lari dari debt collector yang menagih hutang suamimu. Kau lari dari boss yang merundungmu...," Dame berkata.

"Aku juga lari karena tak ingin kecanduanku membahayakan Tor," Mette menambahkan daftar pelariannya.

"Iya Sayang, aku senang kau datang kepadaku. Namun ketahuilah Nak, aku tak bisa selamanya ada untukmu, min Prinsesse. Bagaimana kelak kalau aku sudah kembali kepada Penciptaku, hmm?"

"Dame, kumohon jangan bicara seperti itu," laiknya gadis kecil, lagi-lagi Mette memeluk Dame, kini lebih erat lagi. "Kali ini yang paling sulit kuatasi, Dame," Mette menyambut uluran sapu tangan putih lembut bersulam logo tertentu. Simbol kerajaan? Ah, tapi Mette terlalu larut dalam kesedihannya hingga tak terpikir symbol atau logo.

Mette bersimpuh mendekap lutut Dame, lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan perempuan yang bahkan hingga kini tidak ia ketahui identitasnya dengan jelas. Ia hanya tahu namanya Dame. Dan hanya tahu bila Dame selalu hadir setiap ia datang ke Stave, seperti Fru yang selalu merentangkan tangannya pada setiap kedatangannya. 

Dua malaikat yang dianggap Mette sebagai pengganti kedua orang tuanya yang tah rimbanya. Dan Mette selalu meyakini bahwa Dame adalah warga local yang tinggal tak jauh dari Stave dan menjadi pengunjung setia rumah ibadah ini. Sebab seperti itulah yang selalu dikatakan Dame.

"Oh, Sayangku, kurasa Tuhan tengah menunjukkan kasih sayangNya yang berlebih kepadamu dengan kehadiran seorang pangeran," Dame berkata setelah mendengar penuturan Mette panjang lebar. "Herregud... Haruskah kau melarikan diri? Gadis-gadis di luar sana takkan terpikir untuk pergi menghindar dari seorang pangeran, atau bahkan susah payah lari sejauh ini," Dame menatapnya tak mengerti. Namun tatap kekaguman pada Mette-nya itu tak tersembunyikan.

Mette semakin menyusupkan kepalanya dalam pangkuan Dame. "Biarkan aku tidur dalam pangkuanmu yang hangat ini, Dame...," pintanya penuh sendu.

"Ya, ya...tidurlah Anakku. Pejamkan matamu sejenak, Sayang. Tidurlah...," Dame membelai-belai kepala Mette penuh kasih sayang, sesekali kecupan lembut jatuh di rambut Mette yang kini tertidur pulas di atas pangkuannya.

Dan senandung kecil Dame pun kian melelapkan tidur Mette. Dame tersenyum menatap matahari malam ini. Entah apa makna senyumnya. Namun Norge memang selalu indah. Pemandangannya selalu menakjubkan. Pagi, siang, bahkan tengah malam hari seperti sekarang ini. 

Sungguh berkah Tuhan yang telah membuat iri negeri-negeri lain di dunia. Norge juga memiliki dongeng-dongeng yang menyenangkan untuk dibaca dan didengarkan. Mungkin itu sebabnya bangsa Norge selalu tampak bahagia. 

Tidak seluruhnya memang, tapi ini negeri yang paling sedikit warganya yang tidak bahagia. Setidaknya seperti itulah yang banyak dilansir lembaga survey internasional.

Mette...

Gadis itu dikenal sangat berdedikasi pada setiap kerja yang dia lakoni. Mette seorang pekerja keras, ia selalu focus karena tak ingin catatan buruk tertera di atas resumenya. Gelar akademik memang belum ia sandang, sebab ia telah salah memilih jalan. Tak pernah ada yang benar-benar membimbingnya. Mette besar tanpa arahan orang tua. Kerabat yang merangkulnya pun terlalu sibuk berbisnis.

Hingga Mette bertemu dengan Magnus, teman kuliah yang sempat ia yakini kala itu sebagai satu-satunya pria yang akan selalu ada di sisinya, bersama-sama satu tujuan keluar dari hiruk pikuk rumah tangga orang tua masing-masing yang jauh dari harmonis. 

Ya, begitulah cinta. Bab pertama dari cinta selalunya membutakan mata, menulikan telinga. Bab isi akan menyibakkan tabir cinta. Bab akhir akan menjelaskan secara gamblang cinta tak seperti yang dijabarkan pada bab pembuka.

Mette tak pernah mengira bila di saat usia perkawinannya masih sangat dini -entah apa itu bisa disebut perkawinan, sebab Mette tak penah berjalan menuju altar dalam balutan gaun putih berenda dengan ekor panjang yang menjadi impian banyak perawan-  Magnus yang ia cintai mulai keranjingan memadat ketika kesulitan ekonomi rumah tangganya mulai merapat. 

Sialnya, Mette ketularan. Walau bisa menahan saat disadari haidnya mulai janggal. Lalu benar-benar stop ketika dokter memberinya vonis yang membahagiakan. Ia mengandung Tor.

Tor lahir sesempurna kebahagiaannya sebagai ibu muda menimang mahluk cantik ajaib. Namun Magnus menganggap bayi luar biasa itu sebagai beban dan pria itupun menghilang entah ke mana bahkan sebelum ia tahu nama darah dagingnya sendiri.

Sejak itu Mette harus melompat dari satu kerja sampingan ke pekerjaan paruh waktu lainnya sambil menyelesaikan studinya yang terbengkalai. Di antara sekian kerja paruh waktunya itulah, suatu ketika ia berkesempatan bekerja pada badan penyelenggara event-event besar. Norge adalah surganya festival, musik, opera dan beragam aktivitas seni berkelas lainnya.

Mette tak pernah berangan-angan berjumpa dengan seorang pria, ia masih dihantui trauma, apalagi mengimpikan seorang pangeran. Namun pria yang semula ia kira salah satu rekanan dari tempatnya bekerja itu ternyata adalah seorang pewaris tahta. Mette panik. Ketakutan luar biasa hingga larilah ia -untuk kesekian kali- menemui Dame.

Mette tak pernah berpikir bergenit-genit apalagi menggoda pria. Trik semacam itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Jadi ia acuh saja dan kian acuh ketika pria itu mulai menunjukkan grafik kehadiran yang menanjak setiap harinya.

Menanyakan ini itu yang tak penting, meminta bantuan bahkan acapkali dengan gaya tegas yang tentu saja mengatas-namakan Jacobsen, atasan Mette. Tak salah bukan bila Mette menganggapnya sebagai salah satu staf superior atau rekanan dengan posisi berpengaruh.

"Haakon."

"Mette," jawab Mette pendek, melirik sekilas pada tangan yang terjulur di hadapannya. No, bukan jual mahal, sebab kedua belah tangannya tidak sedang vacant, tapi dikuasai boks besar berisi tetek bengek panggung.  

"Hanya Mette?" tanya Haakon seraya mengambil alih boks besar itu dari tangan Mette.

"Hanya Mette," Mette dengan mengedikkan bahu, seolah kelanjutannya adalah 'memang Mette apalagi maumu?'

"Prinsesse Mette," imbuh Haakon.

"Tidak. Mette saja," kening Mette berkernyit. Kok nawar sih? Eeh, aduuh, ngapain juga gua ngeladeni dia?? batin Mette.

"Bagiku, ya. Kau, Prinsesse Mette," Haakon bersikeras.

Mette menghela nafas kesal, berkacak pinggang, lalu setengah kesal berkata, "Oke... Jelaskan padaku mengapa begitu? Mette, itulah nama yang diberikan ibuku. Jangan sok tahulah, karena aku jelas sangat yakin kau bukan dokter yang dulu membantu ibu melahirkanku."

"Karena aku, Haakon of Glucksburg, putra kebanggaan Martha of Sverige dan King Olaf V of Norge, serta cucu kesayangan Sonja Haraldsen dan Harald V," jawab Haakon meyakinkan, disusul gaya menunduk dengan tangan kiri ditempatkan di belakang punggungnya, tangan kanannya memegang dada, gaya seorang ksatria.

Mette tersedak tanpa dibuat-buat. Beberapa percik minuman bersoda yang tengah diteguknya pun muncrat, dan sukses mendarat di wajah Haakon. Pria itupun reflek memejamkan mata. Tak sempat mengelak, pasrah disembur. Tapi Mette terlalu sibuk dengan tawanya.

"Oh yaa?? Kalau begitu, tempatmu bukan di sini wahai pangeran. Pulanglah ke istanamu, tuan puterimu pasti sedang menunggu," Mette berkata dengan tawa masih membahana. Namun tawa itu mendadak terhenti, saat dilihatnya Haakon sibuk membersihkan wajahnya dengan tissue. 

"Oh, Tuhan. Maafkan aku. Adu-duh, lihatlah betapa joroknya aku. Maaf ya, sini, biar mari kubantu bersihkan wajahmu. Percayalah, biasanya aku tak seceroboh ini, sungguh!" dalam paniknya, Mette mencabut tissue, tergesa mengelap sisa air dari wajah Haakon. Hanya untuk satu menit saja barangkali, karena setelah itu, Mette tergugu, terpana tepatnya. 

Seperti tersihir, tangannya terhenti di rahang Haakon, sedang matanya lekat pada bola mata hitam Haakon yang juga tengah menatapnya. Batin Mette bicara penuh takjub, oh, betapa hitamnya bola mata itu. Adakah ketulusan di sana? 

Namun hanya sampai di situ, karena berikutnya sudut mata Mette terusik oleh sebuah simbol yang menyembul dari balik jaket Haakon. Simbol yang tampak familiar. Tapi apakah itu? Seekor singa mengusung tiara? Tapi tak bernyali bertanya, hanya batinnya saja yang sibuk menduga.

Secepatnya Mette mundur dari hadapan Haakon. Terlambat menyadari bahwa perilakunya hari ini telah melebihi batas. Terpancing oleh gaya humoris pria yang dia curigai memiliki agenda tertentu. Semoga kecurigaannya salah dan itu hanya perasaannya saja yang berlebihan. 

Sebab baginya, seorang pria yang memulai perkenalannya dengan puja-puji adalah pria yang wajib dihindari. Setelahnya Mette kembali acuh mau berapa kali sehari Haakon muncul di depannya atau bahkan ketika ia tak muncul sama sekali hingga dua tiga hari, Mette tak peduli.

Sampai pada suatu hari, tengah malam dengan midnight sun yang masih jumawa seolah mengejek lelah lungkrah dirinya sepulang bekerja. Mette baru hendak membuka pintu gedung apartmennya, ketika sekonyong-konyong seseorang tampak berjalan limbung, terhuyung-huyung, lalu brukk! pria itu jatuh tersungkur dalam pelukannya dengan kondisi mabuk berat. 

Mette baru saja berniat menjerembabkan pria itu ke trotoar, andai ia tak segera mengenali wajah yang oh....tidak, Mette pun terkejut sendiri, menyadari betapa ia telah sangat hafal pada gaya rambut cepak sesenti, rahang keras dan alis tebal yang menjadi pelengkap sempurna wajah seorang...

"Haakon??"

Mette pun urung mendorongnya, susah payah menjaga agar Haakon tak terjatuh sebelum berhasil mendudukkannya di depan pos security. Menggedor jendela pos, membangunkan Tobias, si petugas keamanan yang duduk tertidur.

"Kumohon, terserah hendak ke mana kau bawa dia, Tobias," kata Mette.

"Ke mana, Nona? Aku tidak menemukan identitas apapun dalam kantung jaket atau celananya. Bukankah tuan ini adalah teman Nona?" tanya Tobias.

"Bukan!" Mette kesal menyangkal.

"Lalu apa dia jatuh dari langit?" Tobias mengangkat topi dinasnya lalu melongok ke atas langit bertabur bintang.

Menyadari takkan menuai hasil berdebat dengan Tobias, dan tak tega pula meninggalkan Haakon tergeletak macam barang tak berharga, dibantu Tobias dengan terseok-seok Mette pun berhasil memapah Haakon hingga lorong apartmennya. Walau terbiasa bekerja berat, namun menyeret tubuh pria dewasa penyuka olahraga outdoor itu sangatlah menguras tenaga.

Mette terduduk mengatur nafas. Lelahnya berkuadrat-kuadrat. Di penghujung May kala itu, semburat matahari malam menerobos jendela kamar apartmennya. 

Mette terkulai menatap kosong pada satu-satunya kemewahan yang ia miliki yaitu tempat tidur tempatnya melarung segenap penat, wahananya bercanda bersama Tor, kini singgasana itu dikuasai mimpi liar seorang pangeran. Tak menyisakan ruang untuknya kecuali ia bersedia melebur masuk dalam mimpi-mimpi gila itu.

"Herregud..., sekarang apa yang harus kulakukan?" Mette menghela nafas dengan sangat berat. Lunglai tangannya menggapai pintu lemari pendingin yang tak jauh dari tempat tidurnya. Meraih beberapa kaleng minuman. Menelan liquid Urge dalam sekali teguk. 

Tak puas dengan minuman buah beralkohol rendah, Mette menghabiskan sekaleng Pilsner, menyusul Rigness, kemudian Glagg, dan apa saja yang ia temukan dalam gapaian. Mette berharap ia tak bangun esok hari agar tak perlu menghadapi persoalan ruwet yang pasti akan terjadi. 

Sudah cukup pelik hidupnya selama ini. Sungguh Mette tak pernah mau menambah hal rumit sekecil apapun. Ia ingin hidupnya simple. Ia hanya perlu fokus pada Tor. Tor-lah alasannya berjuang, bertahan dan tegar sampai saat ini.

~(0)~

 "Oh, No! Herregud...Herregud...! Tidak!" pekik Mette tertahan. Tangannya rapat menutup mulutnya sendiri. Ia memeriksa sekeliling dengan pandangan penuh kemustahilan. Tapi betapapun sulit untuk percaya, yang ia hadapi sungguh nyata adanya.

Apa ini...? Segala kaleng dan botol minuman berkarbonasi, beralkohol, terburai, berhamburan sejauh matanya memandang. Mette meremas gemas rambutnya. Menggigit kepal tangannya sendiri.      

Owhh..entah apa yang telah ia lakukan semalam tadi. Entah pula siapa yang telah membopongnya ke atas tempat tidur ini. Oh, tunggu, adakah ia sendiri yang merayap naik? Tidak! Mette menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengapa pula aku harus melakukan itu? Karena hasrat? Atau sebab terbujuk iklan berpetualang mengarungi mimpi-mimpi ekstrim si pria yang mengaku berdarah biru? Oh...Tidak! Jadi, bagaimana sekarang?? Mette memukul-pukul keningnya.

"Ohh, Darling, kau sudah bangun?" suara maskulin itu bergema tepat di telinga Mette, berhembus lembut menelisik anak-anak rambut di dekat telinga lalu menelusur hingga tengkuk membuat bulu kuduknya tak lagi meringkuk.

Mette salah tingkah. Tak bertenaga menoleh ke arah suara itu. Lalu antara menutup muka atau mengusapnya, hidungnyalah yang akhirnya digosok-gosok walau tak gatal. Bingung, malu, kesal, sebal, galau, bercampur seru. Super seru. Ia benar-benar hilang akal. Kepalanya benar-benar pusing, blank, zonk, tak tahu hendak bereaksi apa.

"Hmm, akhirnya... I got you, Prinsesse," Haakon memeluk erat punggung Mette dalam sekali sergap. Tak memberinya ruang untuk mengelak. Lalu mengecup lembut bahu tanpa cela Mette seraya mengklaim, "Kau sekarang milikku."

Meski masih terperangkap dalam kegaduhan rasa, namun Mette cepat tersadarkan. Tanpa membuka suara, tak peduli betapa bergejolak hatinya dengan salam pagi yang menghangatkan jiwa, Mette lekas menarik selimut, menyelimuti tubuh polosnya, lalu bergegas bangun. Pilihannya hanya ada dua saat itu, melarikan diri atau bunuh diri dengan merangsek masuk ke dalam selimut lagi. 

Ada gejolak yang terus memprovokasinya mengingat betapa gigih perjuangan Haakon merebut hatinya. Namun di sisi lain, ketakutannya pada masa, lalu-kini-dan yang akan datang, pada akhirnya menjadi pemenang pertentangan batin Mette.

"Mette...! Kjaere...! Ketahuilah, gelar jabatan atau status seseorang tidak menjamin orang tersebut sempurna. Demikian halnya denganku. Aku juga tidak lebih baik darimu. Ayo, kemarilah. Kita bicarakan ini secara dewasa," putus asa Haakon memohon.

Mette bergeming, tak mengindahkan suara parau yang terdengar sangat menghiba itu. Nada memohon Haakon yang sangat ngilu di telinga. Namun Mette tetap berkemas, berpakaian penuh gugup, meraih handbag dengan kasar. Yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah Tor. Tor, ya Tor. Mamma datang, Sayang. Maafkan Mamma ya Tor. Maaf, maaf.... Tanpa isak tangis, airmata Mette menganak sungai.

Baru pun separuh kakinya keluar dari pintu berlapis kaca itu, kilatan cahaya menyorotnya bertubi-tubi. Sejenak Mette membeku, tersihir dalam beberapa detik, sebelum akhirnya pada detik berikutnya ia reflek menangkis hujan cahaya dengan tangan dan handbagnya. Lagi-lagi dengan bantuan Tobias, Mette berhasil menerobos barikade para juru foto.

Sejak saat itu nama Mette bergema di seantero negeri. Menjadi semacam barometer larisnya sebuah tabloid. Dengan headline beragam yang rerata bernada negatif atau bahkan secara kejam menyudutkannya. "Mette, gadis kampung pekerja serabutan yang sukses menggaet Pangeran." Atau "Ibu tunggal mantan pecandu yang berambisi menaiki strata sosialita."

Terkadang Mette tak habis pikir, dari mana semua cerita sinting itu bisa naik terbit? Makin tak habis pikir lagi dengan bertebarannya foto-foto dirinya bersama Haakon yang bahkan ia sendiri tak memiliki.

Namun tak hanya pada dirinya, penghakiman sepihak itupun terjadi pada Haakon. Tak segan-segan beberapa media menuliskannya sebagai "Hi-class noble man who has no hi-taste in woman" Dengan headline berbau sampah semacam itu, media tak ubahnya balita yang tak tahu tata kata?

~(0)~

 "Dame...?!"

Mette mengucek-kucek matanya. Oh, tidak! Berapa lama aku telah tertidur? Pukul berapakah sekarang? Aku harus menelepon Fru untuk menanyakan kabar Tor. Mette bergumam sambil berupaya menguasai keadaan. Kantuknya masih betah menggelanyut.

"Dame...?!"

Hening.

Mette mengedarkan pandangannya. Memindai setiap sudut. Mencoba menangkap sosok Dame.

"Dame!" panggilnya sekali lagi, dengan volume yang ditambahkan.

"Ohoo... Kau sudah bangun rupa-rupanya."

Mette terkejut. Bukan Dame yang muncul namun seorang pria tua datang dari arah taman.

"Aku tengah melintas, lalu mendapati dirimu tertidur di bangku ini. Aku sempat berpikir untuk membangunkanmu, tapi melihat betapa damai dan nyenyak tidurmu, tak sampai hatilah aku," Bapak itu melepas topinya. Tampak di belakang topi huruf-huruf kecil bertuliskan kata 'Harald'.

"Ohh...ah, itu...," Mette tak tahu berkata apa. Matanya masih berkabut kebingungan dan bertambah tak mengerti saat mendapati sapu tangan putih dalam genggaman tangannya. Dame? Batinnya berdesis. Kantuknya menjadi benar-benar lenyap menyadari logo yang kini mengingatkannya pada symbol di atas sweater milik....Haakon?

Kening Mette berlipat-lipat. Diperiksanya sekali lagi sapu tangan itu. Karena ternyata tak hanya symbol namun bersulam sebuah nama pula... 'Dame Sonja Haraldsen'. Tunggu, aku seperti pernah mendengar nama itu....

"Kau baik-baik saja, Gadis Muda?" tanya si Bapak membuyarkan lamunan Mette.

"Oh...uh, ya Bapa."

"Kalau begitu, ijinkan aku melanjutkan perjalananku," si Bapak tua perlahan menuntun sepedanya.

"Oh, iya Bapa, Uhh, maaf, tahukah Bapa kemana Dame pergi?"

"Dame?" bertautlah alis bule si Bapa.

Mette lantas menceritakan ciri-ciri Dame yang sangat ia kenal.

"Aku lahir dan menua di sini, Nak. Dan sudah menjadi pengawas Stave ini selama sepuluh tahun lebih, Hingga menjelang pensiun beberapa pekan lagi, belum pernah aku menjumpai nyonya tua dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi, Anakku," papar Bapak tua itu dengan gamblang.

Mette tampak tergugu. Terdengar tak sopan bila ia bersikukuh tentang kisahnya bersama Dame. Namun Ia masih digerayangi rasa gamang dan merasa mustahil bila seseorang yang lahir dan menua di sini mengaku tak pernah sekalipun melihat sosok Dame.

"Ya, aku bahkan telah melihatmu beberapa kali. Awalnya terasa aneh melihatmu di Stave namun tak kunjung hadir dalam khutbah-khutbah yang diselenggarakan Stave. Jadi, kuanggap kau hanya gadis kota yang datang berwisata."

"Baiklah, Bapa, maafkan aku telah menunda perjalanmu, dan terima kasih telah menjagaku, "Mette tak menyembunyikan rasa malunya karena tersindir oleh perkataan si Bapak.

Bapak tua itu tersenyum bijak. Pelan-pelan menuntun sepedanya keluar dari teras dan taman, lalu menyusur setapak berlantai batu bercorak mozaik yang mengarah ke jalanan utama. Mette mengekorinya dalam diam.

"Ahh, tunggu, tunggu...," Bapak tua itu tergopoh menyetandar sepedanya. Kemudian merogoh sesuatu dari saku celananya.

Mette ikut berhenti. Lalu berjalan menghampiri mengikuti lambaian tangan si Bapak.

"Coba periksalah, Anakku," Bapak itu mengambil sehelai foto vintage dari dalam dompetnya. "Aku tak yakin kau bisa mengenalinya, karena ia masih sangat muda kala itu."

"Siapakah wanita cantik ini, Bapa?" tanya Mette, pandang matanya penuh selidik pada sehelai foto di tangannya.

"Ini kekasihku sejak muda. Dan apakah Dame-mu tampak seperti dia?" jelas Bapak itu.

Tampaknya tak ada yang istimewa selain kecantikan penuh pesona dari wanita dalam foto itu. Sampai pengamatan Mette jatuh pada serangkaian huruf latin miring yang bertuliskan... 'Min Prinsesse, Dame Sonja Haraldsen, Love: Harald'

Mette terkesiap. Wajahnya memutih pias. Tangannya bergetar. Nyaris jatuh foto itu tepat sebelum diraih si Bapak tua.

"Ah, tampaknya benar, melihat reaksimu, Nak," si Bapak tersenyum. Lalu tanpa menunggu respon Mette, bapak itu menuntun sepedanya kembali.

Mette masih terkesima, hingga tak menyadari kepergian si Bapak. Benaknya kembali dikerubuti pertanyaan. Dame? Tidak terlampau sulit untuk mengenali wajah cantik dalam foto itu. 

Dame tua yang dikenalnya pun masih menyisakan raut kecantikan dari masa silam. Ia yakin foto itu adalah Dame. Oh, Dame... Itukah nama lengkapmu? Dame Sonja Haraldsen? Mette menutup wajahnya sendiri. Terpukau dengan kejadian demi kejadian yang ia alami.

Sonja Haraldsen?? Bulu tengkuk Mette serentak menegak. Bukankah itu yang disebutkan oleh.... Haakon?? Jadi Sonja Haraldsen atau yang kerap ia panggil Dame itu adalah leluhur Haakon??

Mette mengusap-usap tengkuknya. Mengusir angan demi angan yang terus membuatnya terkejut.

Haraldsen... Harald... Benak Mette kembali mengguncang memori. Sepertinya aku sempat melihat kata 'Harald' di bagian belakang topi si Bapak.

"Herregud....." desis Mette.

Kini segalanya menjadi terang benderanglah sudah. Ya, tanpa keraguan lagi, Dame-nya adalah Dame Sonja Haraldsen. Dan Bapak tua yang penuh percaya diri berkata ia kekasihnya sejak muda  adalah Harald, didukung nama yang tertera di topinya. Dan mereka berdua adalah leluhur... Haakon??

Mette jatuh terduduk dengan tangis yang memilu. Menatap takjub pada Stave yang berdiri tegak anggun dan telah menjadi saksi atas segala kisah yang terjadi padanya. Norge benar-benar diberkahi dengan beragam keajaiban.

Mette masih terduduk diam di bangkunya. Tangannya bergantian meraba bangku kayu, masih mencoba merasai sisa kehadiran Dame, sambil menimang sapu tangan putih. Ia jelas mengingat Dame berpesan agar ia segera pulang. Jangan pernah lagi melarikan diri. Agar ia selalu mendahulukan Tor sebelum menuruti diri sendiri. Ingatlah Tor dan hadapi semua dengan berani seperti tahun-tahun yang telah kau jalani. Entahlah bila semua itu mimpi atau reality.

Tor... Oh, Tor, kalau bukan karenamu, Sayangku, malas benar rasanya untuk kembali, batin Mette mengeluh pilu. Apalagi Stave ini telah memberiku banyak kisah indah mendamaikan hati. Di sini begitu tenang. Di sini sangat menenteramkan. Berjumpa dan bercengkerama dengan Dame dan terakhir Bapa Harald.

Hhh, bagaimana kalau menambah satu hari? Barangkali ada kemungkinan  bisa bertemu Dame lagi. Aah, tidak, tidak. Kasihan Tor. Kasihan juga Fru. Desakan batin itulah yang akhirnya dipatuhi Mette.

Lagipula hanya beberapa jam saja untuk tiba di Oslo. Tidak lama. Ya, Mette pun segera membuang jauh-jauh segala bayang kemungkinan yang belum tentu akan terjadi. Andai terjadipun, ia telah bertekat bulat. Ia berjanji akan berani menghadapi segala tudingan. Ia akan menjawab semua buruk sangka public. Ia akan jujur dan terbuka tentang masa lalunya. Tak perlu malu, toh semuanya telah berlalu. 

Bila perlu, ia akan menekuk lutut, bersimpuh, memohon maaf kepada negara dan segenap warga negaranya atas keputusannya yang tak bertanggung jawab di masa lalu. Ia akan menerima segala hukuman bila divonis bersalah. Ia takkan melimpahkan kesalahan pada keadaan atau persona. Ia akan selalu bersama Tor. Ia takkan lari lagi. 

Dan ya, ia pasti akan pergi menemui Haakon dan bicara baik-baik dengannya. Meyakinkannya agar tak terbutakan oleh cinta. Karena Mette adalah bukti hidup tentang cinta yang acapkali sangat kamuflase. 

Mengingatkannya agar lebih mengutamakan tanggung jawabnya sebagai petinggi negara daripada mengejar hasrat gila. Mette berjanji akan menyadarkan Haakon akan semua hal itu. Ya, Mettte Audhilda Haugen benar-benar telah siap menghadapi dunia.

Karena perjalanan siang hari terlalu mencolok, itu sebabnya Mette sengaja berkemas sore dan tidak menempuh perjalan kereta cepat agar tiba di Oslo tengah malam. Pesannya telah dibaca Fru, jadi Mette hanya perlu membuka pintu. Dan oh, Fru sudah menyambutnya dengan suka cita.

"Darling... Darling," Fru spontan memeluknya erat. Lalu mendorong tubuh Mette agar segera membersihkan diri.

"Maafkan aku, Fru..." Mette mengecup pipi Fru, berganti kanan-kiri, berulang kali, kening lalu kepala Fru yang masih mengenakan Silk Bonnet violet. "Aku punya banyak cerita yang harus kubagikan bersamamu. Fru. Banyak sekali hingga kutak tahu darimana hendak mulai. Tapi nanti ya, sekarang aku mau lihat Tor dulu."

"Tentu saja, Sayang. Aku tak sabar mendengarnya. Nanti kita akan punya waktu untuk berbincang. Sebab banyak hal juga yang harus kusampaikan padamu. Hmm, sekarang, ikut aku, Tor-mu tidur di atas," Fru membimbing Mette ke lantai dua. "Ssh...ssh, pelan-pelan. Kau tak ingin mengganggu tidur pulasnya bukan?" Setengah berbisik Fru berkata sambil menempelkan telunjuk di mulutnya.

Mette mengganguk-angguk sambil membelai lengan Fru seraya menyunggingkan senyum kecil. Sedikit heran mengapa tak nampak kantuk di wajah Fru, wanita separuh baya itu justru tampil segar. 

Adakah Fru belum sempat memicingkan mata? Terus terjaga demi menunggunya? Seperti banyak hari-hari ketika egonya mengajak untuk melarikan diri? Ooh, tiba-tiba saja Mette dihantui rasa bersalah yang teramat sangat.

Fru membuka pintu kamar Tor perlahan-lahan. Melebarkan daun pintunya agar Mette bisa leluasa melihat putera kesayangannya.

Dan Mette terkesiap pun. Sepasang matanya terbelalak takjub, Seketika membekap mulutnya sendiri agar tak menimbulkan suara selirih apapun. Pemandangan dalam kamar Tor terlalu menyentuh untuk disaksikan. Mustahil untuk dipercayai bahkan bila sumber cerita itu adalah Fru sekalipun. Mette harus berkali mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan bahwa yang tersaji di depan mata dan kepalanya itu adalah nyata!

Tor tertidur pulas. Wajahnya begitu damai. Mulut kecilnya sedikit terbuka. Sebagian rambutnya lenyap dibalik....dekapan Haakon.

"Herregud...," desis Mette dengan sebak di dada yang seketika menyeruak. Sudut matanya mulai digenangi airmata.

Lihatlah, lengan kiri Haakon menjadi tumpuan kepala Tor. Sedang tangan kanannya terkulai di luar selimut dengan buku cerita bergambar yang bergeser karena lama terlepas dari genggaman.

Seperti dapat menduga bila Mette saat ini tengah membutuhkan penjelasan, Fru pun berkata dengan mata berkaca-kaca, "Kau tahu Anakku, His Royal Highness sendirilah yang membebaskanku dari segala tanggung jawab... Beliau lalu mengajukan dirinya secara suka rela untuk menjaga Tor selama kau pergi."

~~~(End)~~~

Vocabs:

T-bane : kereta cepat bawah tanah Norwegia
Bunad : baju tradisional Norwegia
Takk : terima kasih
Noregg Flagg, Kongeflaget : bendera nasional Norwegia
Stave : gereja kayu yang sudah ada sejak abad pertengahan
kaffe : kopi
Prinsesse : Putri
min prinsesse : putriku
Herregud : semacam 'Ya Tuhanku'
Urge, Pilsner, Glagg : merk/nama minuman beralkohol
Silk Bonnet : penutup kepala untuk tidur

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun