~(0)~
 "Oh, No! Herregud...Herregud...! Tidak!" pekik Mette tertahan. Tangannya rapat menutup mulutnya sendiri. Ia memeriksa sekeliling dengan pandangan penuh kemustahilan. Tapi betapapun sulit untuk percaya, yang ia hadapi sungguh nyata adanya.
Apa ini...? Segala kaleng dan botol minuman berkarbonasi, beralkohol, terburai, berhamburan sejauh matanya memandang. Mette meremas gemas rambutnya. Menggigit kepal tangannya sendiri. Â Â Â
Owhh..entah apa yang telah ia lakukan semalam tadi. Entah pula siapa yang telah membopongnya ke atas tempat tidur ini. Oh, tunggu, adakah ia sendiri yang merayap naik? Tidak! Mette menggeleng-gelengkan kepalanya. Mengapa pula aku harus melakukan itu? Karena hasrat? Atau sebab terbujuk iklan berpetualang mengarungi mimpi-mimpi ekstrim si pria yang mengaku berdarah biru? Oh...Tidak! Jadi, bagaimana sekarang?? Mette memukul-pukul keningnya.
"Ohh, Darling, kau sudah bangun?" suara maskulin itu bergema tepat di telinga Mette, berhembus lembut menelisik anak-anak rambut di dekat telinga lalu menelusur hingga tengkuk membuat bulu kuduknya tak lagi meringkuk.
Mette salah tingkah. Tak bertenaga menoleh ke arah suara itu. Lalu antara menutup muka atau mengusapnya, hidungnyalah yang akhirnya digosok-gosok walau tak gatal. Bingung, malu, kesal, sebal, galau, bercampur seru. Super seru. Ia benar-benar hilang akal. Kepalanya benar-benar pusing, blank, zonk, tak tahu hendak bereaksi apa.
"Hmm, akhirnya... I got you, Prinsesse," Haakon memeluk erat punggung Mette dalam sekali sergap. Tak memberinya ruang untuk mengelak. Lalu mengecup lembut bahu tanpa cela Mette seraya mengklaim, "Kau sekarang milikku."
Meski masih terperangkap dalam kegaduhan rasa, namun Mette cepat tersadarkan. Tanpa membuka suara, tak peduli betapa bergejolak hatinya dengan salam pagi yang menghangatkan jiwa, Mette lekas menarik selimut, menyelimuti tubuh polosnya, lalu bergegas bangun. Pilihannya hanya ada dua saat itu, melarikan diri atau bunuh diri dengan merangsek masuk ke dalam selimut lagi.Â
Ada gejolak yang terus memprovokasinya mengingat betapa gigih perjuangan Haakon merebut hatinya. Namun di sisi lain, ketakutannya pada masa, lalu-kini-dan yang akan datang, pada akhirnya menjadi pemenang pertentangan batin Mette.
"Mette...! Kjaere...! Ketahuilah, gelar jabatan atau status seseorang tidak menjamin orang tersebut sempurna. Demikian halnya denganku. Aku juga tidak lebih baik darimu. Ayo, kemarilah. Kita bicarakan ini secara dewasa," putus asa Haakon memohon.
Mette bergeming, tak mengindahkan suara parau yang terdengar sangat menghiba itu. Nada memohon Haakon yang sangat ngilu di telinga. Namun Mette tetap berkemas, berpakaian penuh gugup, meraih handbag dengan kasar. Yang ada dalam benaknya saat ini hanyalah Tor. Tor, ya Tor. Mamma datang, Sayang. Maafkan Mamma ya Tor. Maaf, maaf.... Tanpa isak tangis, airmata Mette menganak sungai.