Baru pun separuh kakinya keluar dari pintu berlapis kaca itu, kilatan cahaya menyorotnya bertubi-tubi. Sejenak Mette membeku, tersihir dalam beberapa detik, sebelum akhirnya pada detik berikutnya ia reflek menangkis hujan cahaya dengan tangan dan handbagnya. Lagi-lagi dengan bantuan Tobias, Mette berhasil menerobos barikade para juru foto.
Sejak saat itu nama Mette bergema di seantero negeri. Menjadi semacam barometer larisnya sebuah tabloid. Dengan headline beragam yang rerata bernada negatif atau bahkan secara kejam menyudutkannya. "Mette, gadis kampung pekerja serabutan yang sukses menggaet Pangeran." Atau "Ibu tunggal mantan pecandu yang berambisi menaiki strata sosialita."
Terkadang Mette tak habis pikir, dari mana semua cerita sinting itu bisa naik terbit? Makin tak habis pikir lagi dengan bertebarannya foto-foto dirinya bersama Haakon yang bahkan ia sendiri tak memiliki.
Namun tak hanya pada dirinya, penghakiman sepihak itupun terjadi pada Haakon. Tak segan-segan beberapa media menuliskannya sebagai "Hi-class noble man who has no hi-taste in woman" Dengan headline berbau sampah semacam itu, media tak ubahnya balita yang tak tahu tata kata?
~(0)~
 "Dame...?!"
Mette mengucek-kucek matanya. Oh, tidak! Berapa lama aku telah tertidur? Pukul berapakah sekarang? Aku harus menelepon Fru untuk menanyakan kabar Tor. Mette bergumam sambil berupaya menguasai keadaan. Kantuknya masih betah menggelanyut.
"Dame...?!"
Hening.
Mette mengedarkan pandangannya. Memindai setiap sudut. Mencoba menangkap sosok Dame.
"Dame!" panggilnya sekali lagi, dengan volume yang ditambahkan.