"Karena aku, Haakon of Glucksburg, putra kebanggaan Martha of Sverige dan King Olaf V of Norge, serta cucu kesayangan Sonja Haraldsen dan Harald V," jawab Haakon meyakinkan, disusul gaya menunduk dengan tangan kiri ditempatkan di belakang punggungnya, tangan kanannya memegang dada, gaya seorang ksatria.
Mette tersedak tanpa dibuat-buat. Beberapa percik minuman bersoda yang tengah diteguknya pun muncrat, dan sukses mendarat di wajah Haakon. Pria itupun reflek memejamkan mata. Tak sempat mengelak, pasrah disembur. Tapi Mette terlalu sibuk dengan tawanya.
"Oh yaa?? Kalau begitu, tempatmu bukan di sini wahai pangeran. Pulanglah ke istanamu, tuan puterimu pasti sedang menunggu," Mette berkata dengan tawa masih membahana. Namun tawa itu mendadak terhenti, saat dilihatnya Haakon sibuk membersihkan wajahnya dengan tissue.Â
"Oh, Tuhan. Maafkan aku. Adu-duh, lihatlah betapa joroknya aku. Maaf ya, sini, biar mari kubantu bersihkan wajahmu. Percayalah, biasanya aku tak seceroboh ini, sungguh!" dalam paniknya, Mette mencabut tissue, tergesa mengelap sisa air dari wajah Haakon. Hanya untuk satu menit saja barangkali, karena setelah itu, Mette tergugu, terpana tepatnya.Â
Seperti tersihir, tangannya terhenti di rahang Haakon, sedang matanya lekat pada bola mata hitam Haakon yang juga tengah menatapnya. Batin Mette bicara penuh takjub, oh, betapa hitamnya bola mata itu. Adakah ketulusan di sana?Â
Namun hanya sampai di situ, karena berikutnya sudut mata Mette terusik oleh sebuah simbol yang menyembul dari balik jaket Haakon. Simbol yang tampak familiar. Tapi apakah itu? Seekor singa mengusung tiara? Tapi tak bernyali bertanya, hanya batinnya saja yang sibuk menduga.
Secepatnya Mette mundur dari hadapan Haakon. Terlambat menyadari bahwa perilakunya hari ini telah melebihi batas. Terpancing oleh gaya humoris pria yang dia curigai memiliki agenda tertentu. Semoga kecurigaannya salah dan itu hanya perasaannya saja yang berlebihan.Â
Sebab baginya, seorang pria yang memulai perkenalannya dengan puja-puji adalah pria yang wajib dihindari. Setelahnya Mette kembali acuh mau berapa kali sehari Haakon muncul di depannya atau bahkan ketika ia tak muncul sama sekali hingga dua tiga hari, Mette tak peduli.
Sampai pada suatu hari, tengah malam dengan midnight sun yang masih jumawa seolah mengejek lelah lungkrah dirinya sepulang bekerja. Mette baru hendak membuka pintu gedung apartmennya, ketika sekonyong-konyong seseorang tampak berjalan limbung, terhuyung-huyung, lalu brukk! pria itu jatuh tersungkur dalam pelukannya dengan kondisi mabuk berat.Â
Mette baru saja berniat menjerembabkan pria itu ke trotoar, andai ia tak segera mengenali wajah yang oh....tidak, Mette pun terkejut sendiri, menyadari betapa ia telah sangat hafal pada gaya rambut cepak sesenti, rahang keras dan alis tebal yang menjadi pelengkap sempurna wajah seorang...
"Haakon??"