Mau kuceritakan sebuah rahasia? Sejak bertahun silam, rahasia itu masih utuh terjaga, belum menemukan akses keluar dari kotak seluas duaribu meter persegi. Kujamin ini akan menjadi tonggak pendobrak yang membukakan mata akan betapa kejam manusia dibalik topeng keseharian yang mereka kenakan.
"Aaahh!"
Urat leherku mengejang namun  tembok perkasa di sekelilingku hanya membisu-gagu. Seperti itulah mereka diciptakan, kukuh dalam membelenggu. Dasar kalian batu! Umpatku.
Sudah lama rahasia ini ingin kuceritakan. Tapi adakah yang bersedia mendengar? Ku bukan pemuka agama yang ceritanya bernafas kebajikan. Membimbing yang tersesat menuju Jalan Selamat. Menuntun yang galau meraih binar pencerahan. Dan bukan pula pendongeng yang lihai memadu rasa. Apalagi pembicara yang sekali berkoar di atas mimbar seminar berbayar sekian dollar. Padahal dari rahasia ini aku sudah bisa mengendus euphoria kegemparannya. Terbayang arus deras digital yang akan membuatnya viral. Yang pasti, sudah semestinya tak ada tempat keramat bagi rahasia penuh kesumat. Namun...
"Aaahh!"
Hasrat yang menggebu ini seperti tersumbat, mampat, rasanya seperti emfisema akut hingga udara yang kupasok dalam paru-paru sulit sekali untuk dihembuskan keluar. Tanganku kejang mengepal. Tapi tak sesuatupun terpental. Sebab bogemku hanya bersarung bantal. Ini bagaikan pungguk merindukan bulan, sungguh tak kulihat ada cara untuk berbagi rahasia ini. Aku...., ugh! Sumpah, gila! Ini luar biasa mengesalkan!
"Jangan dipaksakan, nanti tanganmu kian terluka. Lagipula apa sih yang ingin kau sampaikan?" ia bertanya, topeng iblisnya disembunyikan dibalik raut wajah memesona sapuan kosmetika.
Seperti biasa, aku lantas menangis tersedu-sedu, persetan tabu atau rasa malu. Batinku mengharu-biru dalam sedu-sedan dan lidah kelu.
"Dasar kau tidak tahu terima kasih," ia lagi berkata, bibirnya mencibir dipagut pemulas merah merona. Dahulu sekali kuntum bibir itu sangat ampuh mengoyak imanku rapuh, tapi kini melirik bayangnya pun sudah mendirikan bulu remang.
Mendadak aku ingin tertawa. Sekeras yang kubisa. Hingga tumpah airmata. Dan kutak tahu lagi mana airmata tangis dan airmata tawa. Keduanya telah bersenggama dan pandang mataku mengabur dibuatnya. Ia berkata benar. Dengan kemewahan super ini, segala yang berlabel high-end dan hanya dimiliki konglomerasi, memang sudah sepatutnya bila terima kasih diucapkan.
"Sudah banyak penghiburan yang kuberikan. Mau kubantu menghitung? Bagaimana kalau dimulai dari kamarmu ini?" senyumnya sinis di bibir asimetris.
Kuedarkan pandang mataku. Memindai segala yang katanya disediakan untukku. Kamar inikah? Dengan fasilitas setara presidential suite room? Mengapa aku lebih suka menyebutnya penjara?
"Kau tahu, mengapa kamar termewah, di hotel, apartemen atau di rumah sakit, harus berada di lantai tertinggi?" ia mengangsur tanya lagi.
Leherku memang belum patah. Namun sulit bagiku menunduk dan tegakkan lagi sejak belenggu ini dipatri. Aku hanya menggeleng lemah.Â
"Privasi," jawabnya lamun, tanpa rasa sesal mengetahui acrophobia yang kuidap menahun.
"Tepatnya bersembunyi," aku bergaya mengoreksi, ya, setelah tangis dan tawa, juga sedu-sedan yang tak tahu malu itu reda dengan cepatnya lalu hilang seperti bulu Dandelion tersapu taifun. "Menyembunyikanku dari kehidupanmu yang selalu dikepung oleh rasa curiga dan ingin tahu teman-teman sekaligus musuh-musuhmu! Kalian para pemuja strata sosial, alih-alih berlindung kalian justru terpasung dibalik topeng wajah palsumu itu," ho-ho, tetiba saja aku seperti prodigy dengan rentet pertanyaan yang banyak menguji. Sejenak menjadi sedikit defensif, padahal biasanya malas bicara, walau memang seringnya aku menyerah, sebab mau bagaimana lagi bila tak ada sesiapa di atas sini yang bisa membuatku bertukar kata.
"Kamar-kamar termahal dibangun di lantai tertinggi sebab dari sanalah punca view terindah bisa dinikmati. Layaknya tuhan, kau bisa melihat, mengamati, orang-orang dengan ragam kepribadian. Dan mereka tak mampu berbuat sebaliknya meski sekedar mengintipmu. Mereka hanya bisa menerka dengan hasil spekulasi buta dan putus asa," jelasnya tak sedramatis riak di wajahnya yang satiris. "Kekuasaan adalah intinya. Dan perlu kau tahu, hanya penguasa yang ada di atas sini," imbuhnya segera.
"Ya, seperti kau berkuasa atas diriku...," aku berkata setelah lama jeda, lalu, "Aahh!!" lagi-lagi harus kutarik urat leherku. Belenggu ini sangat tahu akan definisi kesakitan tak terperi. Bedebah!
"Makanya, buang mimpi soal mengobral fakta. Percuma saja. Di luar sana, mereka hanya akan menyebutmu pembual," katanya.
Mengapa bukan gila saja? Pembual? Aku meragukan sebutan itu. Terlalu murah hati rasanya. Dengan semua hal gila yang sulit untuk digambarkan, maka sebutan orang gila adalah yang terakurat. Tapi aku diam saja. Kutunggu dengan sabar kelanjutan bicaranya, meski sudah bisa kukira. Tak jauh dari hinaan, sumpah serapah, keluhan, berujung keangkuhan setinggi makam firaun di tengah pongah Sahara. Kemana lenyapnya tahun-tahun keemasan dengan cakapnya yang halus santun selaras dengan parasnya yang ayu, tutur lembut yang melumpuhkan? Aku merintih di labirin hati terdalam.
Belajarlah denganku akan skill kesabaran. Ruang isolasi ini bukan pelatihan walau rentang waktu lama menjadikanku demikian terlatih. Dan sabar pun berevolusi menjadi udara yang terhirup lalu terbuang sebagai kentut busuk. Keseharian... itulah yang kumaksud. Namun kesabaran tanpa keihlasan, muaranya adalah... gila. Dan sepertinya aku tengah mengkiblat ke muara itu.
"Bukan rahasia, mulut media di era ini kejam. Tak sulit bagiku menyumpal mulut jurnalis, yang teridealis sekalipun, agar menjadi sadistis."
"Aahh!"
Tak bosannya aku mengerang, berharap telinga-telinga di bawah sana mendengarku. Namun telinga setipis kelelawar pun tak menangkap sinyal keputus-asaanku. Aku tak ubahnya anjing yang menyalak bukit. Harapanku berserak. Sia-sia.
"Sebutkan padaku media yang paling independen, dan...," ia lalu menjetikkan ibu dan jari tengahnya, hingga bunyi klik. "Ya, secepat itu sanggup kutancapkan cakar tajam intervensiku. Seniscaya itulah kuasaku."
"Aahh!" darahku bergelegak mendengar koleksi kosakatanya yang mendidihkan.
"Dasar kau dungu! Masih percaya mereka mau mendengarmu dengan tulus tanpa suapan fulus. Bullshit! Orang-orang hanya akan percaya pada sesuatu yang mereka ingin percayai saja. Meski itu aib, salah, atau dosa sekalipun," ia tersenyum  arogan. "Teruskan peranmu sebagai pengamat, diam dan duduk penuh hikmat. Aku muak dengan semua keluhanmu!"
"Aaahh!"
Aku masih bergulat dengan upayaku memutus baja yang mengalung leher, pergelangan dan sepasang kaki yang lambat laun dengan sedih kusadari semua itu telah auto mengerut-keriput. Seperti lintah, baja ini telah menghisap habis masaku.
Pintu terbuka.
Seseorang dengan uniform pelayan datang menengahi sengketa di antara kami. Aku tak lantas bersuka cita, justru segera kupejamkan mata. Ooh, tidak, jangan lagi. Pintaku lirih dalam hati. Kakiku menjejal-jejal. Namun tak ada yang tertarik dengan upayaku menuntut perhatian.
Pria muda dalam arahan petugas rumah tangga itu tampaknya cukup terganggu dengan aksiku, namun lekas teralihkan olehnya si pemberi income. Seperti yang sudah-sudah, itu bukan upah sekian ratus ribu rupiah. Itu jumlah gigantis, sekalipun bagi para skeptis. Dan tentu saja nominal yang fantastis bagi kaum pesimis. Yakni, orang-orang lemah yang terus dikhawatirkan oleh kondisi kekurangan, maunya serba ada dengan sedikit upaya. Silau pada kemilau hedoni yang bereputasi selalu sukses membunuh nurani.
Usai melepas kaus polonya, si pria muda berbaring pasrah. Beruntung celana jeans branded mahalnya itu tidak melorot. Oh, thanks God, kalau tidak mungkin mataku bisa saja copot. Only half-naked, yeah, fuck you cause I hate what you do. Itu lagu berirama penuh cerca wanita Britania, Lily Allen, yang ia mainkan sebagai latar drama bertema kemuakkan ini.
Aku mulai resah. Entahlah bila belenggu di sekelilingku juga menghirup hawa semual yang kurasakan? Sama sepertiku, dalam kebisuannya dinding dan asesorinya inipun didesak menyaksikan fragmen absurd, eksentrik demikian ia sebut.
Sosok pemuda itu menorehkan citra jantan. Begitulah yang terpikir saat melihat punggungnya dipenuhi tonjolan. Bukan bisul, tapi sebuah raga yang sangat terbina. Perlahan namun pasti, punggung hebat itu mulai beringsut-ingsut. Setiap kali menggeliat, diselingi bunyi macam orang sedang sekarat, erangan tertahan, membuat sesiapapun pasti lelah dalam resistan. Sial, dan akupun terhasut mengganjal nafas. Oh, andai bisa ku-swap adegan penuh ketegangan ini.
Punggung itu menggeliat lagi. Bukan terusik oleh bisik penerbit gairah kelelakiannya. Lalu terdengar rintih perlahan yang membuat telingaku ingin menuli seketika. Oh, ya, sungguh bisa kurasakan pedihnya jarum-jarum itu merajam kulitnya yang mengkilat kecoklatan. Darah tampak mengulir membentuk parit-parit kecil ungu kehitaman. Alur kekejaman itu lantas mencipta seringai wajah sangar seekor Poly Bear? Beast? Tahulah, mataku lelah dan merabun sejak senggama airmata itu. Tapi itu nyata rajah tato yang sangat mengesankan. Harus kuakui Max memang sangat handal. Tangannya yang gemulai pernah membuatku lunglai, takluk dibawah pesona dan geloranya yang membara di atas arena pemijahan sakral. Sejenak aku terhisap putaran waktu. Terkenang padanya, Maxima, saat-saat ia masih perempuanku yang manis, kudus dari intrusi iblis. Â
"Bangunlah! Sudah selesai!" Max menepuk bokong gempal si binaragawan.
Pemuda itu lekas bangkit dari baringnya. Dengan wajah memutih kapas, berselubung cemas, ia lantas membungkuk beri hormat pada sang perajah, Maxima.
Oh, wahai kau pemuda, pada tubuhmu yang begitu virile, nyata hanya sekedar wadah mental yang fragile. Maskulinitas yang hampa. Jantan namun tak berjiwa. Aku hiba padanya si pemuda namun ini bukan sekali, dua kali terjadi, jadi yaah, aku tak peduli lagi.
"Kanvas tak lagi menjadi media yang menarik untuk dilukis? Bukan begitu, Max?" tanyaku dengan wajah tanpa pretensi.
"Kanvas hanya benda mati, tak bisa bereaksi," ujar Max dingin dan keji. Jawaban yang tak lagi membuatku ternganga. Sebab kutahu betul siapa Maxima dan jiwa hampa yang kini dirasuki iblis pemasung jiwanya. Dipikir-pikir, kami adalah dua pasien dengan diagnosa sama gila namun terpasung dalam cara berbeda.
"Kali ini berapa kau bayar pemuda malang itu untuk menjadi kanvasmu?" tanyaku sama sekali tak ingin tahu.
"Malang kau bilang?" berkerut kening bening Maxima.
"Tidak?"
"Dia justru beruntung. Darimana dan kapan lagi dia bisa membeli chopper hanya dengan beberapa goresan di punggungnya, hm?" jelas Max congkak.
"Sebesar itu?"
"Apa kamu mau?" bertanya Max dengan alis menukik, kaki panjangnya disilangkan di atas meja bertahta pualam antik.
Dan semangatku lekas menetas. Kalau ada hal yang bisa membuatku bebas, maka aku rela menggadai jiwaku dengan hal itu. Dan berganti belenggu? Sejenak kutergugu.
Melihat betapa lugu dan lucu terbitnya semangatku itu, bahu Max terguncang hebat dalam tawa penuh hina yang secara aneh tak lagi getir kurasa. Aku justru terguncang oleh kenangan akan bahunya yang tanpa cela, mulus dengan aroma surga. Dahulu kala aku mabuk dan tak ingin lekas terjaga karenanya.
"Dengan punggung seperti kulit tikus mol itu?" tanya Max keji. "Beraninya kau bermimpi akan hal itu, huh," wajah cantik itu mulutnya terus saja cetar.
Aku menelan ludah. Mimpiku sontak musnah. Semangat yang nyata terlahir prematur itupun mubah. Dasar bedebah!
Punggung tikus mol katamu, Max? Rasanya belum lama ketika jemarimu yang berkuku kejam itu menggelitik punggungku. Lalu kuntum bibirmu itu gesit menelusur hinggaku tersungkur.
"Aahh!" aku berteriak marah. Bukan pada hina dan lakunya yang menjajah. Apalagi pada kenangan indah. Aku marah karena menyadari kegilaan ini belum game-over.
Lihatlah, jari jemari Max tengah bermain, menari di atas selular cerdas. Dan aku sudah bisa menebak dengan siapa ia berkontak. Prosesi rajah tato itu hanyalah awal. Jerit tertahan, darah mengalir pada punggung berotot yang menggeliat-geliat seperti belatung kepanasan...sungguh, itu semua bukan atraksi unjuk kebolehan diri. Max melakukannya sekedar pemicu gairahnya demi menuju ritual berikutnya yang jauh melenting lebih gila.
Pintu terbuka lagi. Kali ini tak ada outfit hitam bercelemek putih dengan lis berumbai.
"Hai!" jari lentik itu melambai. Sesungguhnya senyum di bibir indah itupun sangat aduhai. Dan ia tak kalah menawannya bersejajar dengan Max. Bahkan kuingat masa-masa flamboyan di sebuah perguruan, keduanya kerap dianggap kloningan. Maxima mewakili kecantikan dengan aura tangguh mematikan. Roxanne yang lebih menyukai sapaan Roxie, tamu saat ini, mewakili kecantikan sejati seorang perempuan bangsawan. Lembut, anggun, feminin, dan penuh tipu daya yang tersamarkan secara sempurna. Begitu sempurna hinggaku terpedaya. Atau tak ingin percaya keduanya dalam ring yang sama, selera dan hasrat yang setoro-podho, non-hetero. Atau mungkin kutelah digelapkan pesona Maxima. Hingga kutak ubahnya lembu yang dicocok congornya. Bahkan jumawa, ketika putri tycoon itu "meminangku" penuh ratap. Cinta adalah perangkap. Tak pernah ada yang tahu macam jebakan yang menunggu. Kebodohanku telah bersekongkol dengan kamuflase cinta Max terhadapku. Hingga butuh waktu menahun untuk menyadari eksistensi diri ini hanyalah sekedar perisai bagi mereka yang sangat mengagungkan imaji suci artifisial. Mestinya sudah dapat kutengarai sejak tangis Roxie tiada henti di malam midadari Maxie. Dan waktu berlalulah, namun rahasia selalu tahu caranya untuk bertunas lalu mendongkel jalan keluarnya sendiri dari lumpur hitam. Ketika selubung cinta terlarang mereka mulai kuyakini, tahu-tahu waktu telah membuatku...terpasung.
"Aahh!"
Ada kalanya dalam belenggu ini aku bersikeras tegakkan kepala, sekedar tunjukkan aku masih mampu melawan sekalipun terinjak di bawah kuasa lalim bin dzolim. Tapi kala ini, aku berontak demi leherku agar lekas patah. Namun belenggu ini jauh lebih gigih dalam berjuang demi leherku tegak. Dan menjadikanku pemirsa tunggal bagi aksi bejat dua sundal... itulah tujuan leherku dijegal.
"Aahh!"
Aku bersumpah, meski aku ini sampah, sungguh kutak ingin berada di antara gelimang desah. Detik berikutnya aku muntah. Namun denganku meronta, bersumpah-serapah, lalu muntah-muntah, konon itulah yang melipat-gandakan mereka berdua punya gairah.
Di atas altar peraduan, dua jalang saling meradang. Cemeti beraksi namun tidak melukai. Tawa cekaka-cekiki. Berguling dalam tubuh sepolos bayi. Keduanya saling memilih peran. Max sebagai Xena. Roxie sebagai Miyabi. Larut dan tenggelam dalam penghayatan peran yang selama ini mereka mainkan dengan ahli. Sungguh, aku berharap ada mihrab yang melingsir turun macam panggung di purna pertunjukannya. Agar kutak disajikan tontonan biadab yang menjijikkan ini.
"Aahh!"
Aku kembali muntah. Bukan lagi menyembur kotoran berludah. Tapi darah yang tumpah ruah.
Darah menjadi harapan terakhirku setelah doa dan puja siang malam yang ambigu.
Dalam darah yang membanjir pekat, harapan akan kebebasanku tampak cerah.
Aku lantas berdoa. Tapi begitulah tuhan. Dengan segala kemahaan sifat yang Ia punya, secara ironi Ia lebih suka menjadi pemberi sekaligus pengawas ujian. Lantas para hamba yang hatinya mengaku berselimut keimanan akan berkata bahwasanya ujian ini demi meningkatkan kualitas diri sebagai mahluk ciptaanNya tertinggi. Persetan! Demikian ucap para hamba setan. Seperti dua betina yang masih bergumul dosa, terpasung dalam ketidakpercayaan bahwa maut mengintai kapan dan dimana saja. Walau sejatinya kematian itu memerdekakan.
Dan meski acap kusalahkan Tuhan kali ini aku benar-benar memohon agar diturunkan mirakel kepadaNya yang seingatku selalu dipuja sebagai Dzat Yang Maha Memiliki Segala Mukjizat.
"Aahh!"
Darahku kian mencurah. Tak perlu lagi provokasi, kini deras memancar sendiri. Muncrat hingga meraih tembok-tembok perkasa yang meruntuh, melepas belengguku seketika. Sesakti itukah kekuatan darahku? Kotak Pandora seluas dua meter persegi itupun terbuka. Seluruh isi kemegahannya porak poranda. Masing-masing meneriakkan pekik kemerdekaan. Merdeka!
Antara limbung entah bingung atau lighthead separuh linglung, hingga terasa benar sensasi kepalaku berputar ringan. Lalu terdengar suara runtuh bergemuruh seiring bunyi berdebum yang mengacaukan seisi kota. Jerit sirine bersahutan, adu suara menjadi yang paling kuat melengking. Truk branwir susul-menyusul dengan sedan polisi. Semua beradu kencang agar menjadi yang tiba terdahulu, saksi terdepan sebuah bencana, bisa berefek pada kenaikan pangkat dan lencana.
Seperti rajawali si raja kebebasan, aku terbang seringan kapas. Melayang-layang di antara arakan awan, tak kuhalau angin yang kelembutannya sanggup mengoyak rapuh tubuhku. Sayup kudengar Tuhanku berwahyu: Proses akan membuatmu tertempa. Maka kesabaran atasKu itu yang membuatku berkenan pada doa dan pujamu. Sambutlah kematian...sebab ia datang tuk membebaskanmu. Gempa inilah jawabanKu atas tangismu siang dan malam.
Kupejamkan mata. Menikmati semilir yang membuat terlena. Mensyukuri betapa lelahku impas sudah. Karena kutelah bercerita, tentang sebuah rahasia dengan ending yang mustahil kuketahui. Seperti berita terkini yang sepekan full tersorot malang melintang di tribun-tribun news mengundang banyak keingintahuan. Jari, mata, dan mulut para pewarta, sekonyong-konyong menjadi yang paling bernas, tak terpasung oleh broker-broker pengendali berita demi kelanggengan harta dan tahta.Â
Mereka kembali pada ide idealis mengupas berita berdasar fakta nyata. Tentang sebuah kota yang baru diketahui berada tepat di bawah tiga lempeng tektonik. Tentang gempa berskala Richter sekian-sekian. Tentang hunian vertical megah nan mewah yang berakhir sebagai sampah. Tentang dua sundal yang tewas tanpa kehormatan, berton-ton material kaca kantilever dan reruntuhan gedung memasungnya sebelum Basarnas tiba. Tentang isu-isu tak patut yang spontan viral, sanggah dan bantah bersilang-sengkarut dalam upaya mati-matian menyangkal. Ataupun tentang mayat sesosok pria beridentiti tak pasti, tergeletak pada situs bencana, tepatnya di atas rerumput taman di sisi kolam permandian yang semula adalah eden bagi penghuni komplek apartemen berdana milyaran. Tak terhindari lagi merekapun terbelit dalam syak wasangka, adu praduga, dan kembali jatuh dalam pusaran kalkulasi untung rugi sebuah tajuk utama ketika yang menjadi noktah sentralnya adalah fakta bahwa seolah-olah mayat itu seharusnya tidak berada di sana untuk ditemukan dalam keadaan…. terpasung.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H