"Hai!" jari lentik itu melambai. Sesungguhnya senyum di bibir indah itupun sangat aduhai. Dan ia tak kalah menawannya bersejajar dengan Max. Bahkan kuingat masa-masa flamboyan di sebuah perguruan, keduanya kerap dianggap kloningan. Maxima mewakili kecantikan dengan aura tangguh mematikan. Roxanne yang lebih menyukai sapaan Roxie, tamu saat ini, mewakili kecantikan sejati seorang perempuan bangsawan. Lembut, anggun, feminin, dan penuh tipu daya yang tersamarkan secara sempurna. Begitu sempurna hinggaku terpedaya. Atau tak ingin percaya keduanya dalam ring yang sama, selera dan hasrat yang setoro-podho, non-hetero. Atau mungkin kutelah digelapkan pesona Maxima. Hingga kutak ubahnya lembu yang dicocok congornya. Bahkan jumawa, ketika putri tycoon itu "meminangku" penuh ratap. Cinta adalah perangkap. Tak pernah ada yang tahu macam jebakan yang menunggu. Kebodohanku telah bersekongkol dengan kamuflase cinta Max terhadapku. Hingga butuh waktu menahun untuk menyadari eksistensi diri ini hanyalah sekedar perisai bagi mereka yang sangat mengagungkan imaji suci artifisial. Mestinya sudah dapat kutengarai sejak tangis Roxie tiada henti di malam midadari Maxie. Dan waktu berlalulah, namun rahasia selalu tahu caranya untuk bertunas lalu mendongkel jalan keluarnya sendiri dari lumpur hitam. Ketika selubung cinta terlarang mereka mulai kuyakini, tahu-tahu waktu telah membuatku...terpasung.
"Aahh!"
Ada kalanya dalam belenggu ini aku bersikeras tegakkan kepala, sekedar tunjukkan aku masih mampu melawan sekalipun terinjak di bawah kuasa lalim bin dzolim. Tapi kala ini, aku berontak demi leherku agar lekas patah. Namun belenggu ini jauh lebih gigih dalam berjuang demi leherku tegak. Dan menjadikanku pemirsa tunggal bagi aksi bejat dua sundal... itulah tujuan leherku dijegal.
"Aahh!"
Aku bersumpah, meski aku ini sampah, sungguh kutak ingin berada di antara gelimang desah. Detik berikutnya aku muntah. Namun denganku meronta, bersumpah-serapah, lalu muntah-muntah, konon itulah yang melipat-gandakan mereka berdua punya gairah.
Di atas altar peraduan, dua jalang saling meradang. Cemeti beraksi namun tidak melukai. Tawa cekaka-cekiki. Berguling dalam tubuh sepolos bayi. Keduanya saling memilih peran. Max sebagai Xena. Roxie sebagai Miyabi. Larut dan tenggelam dalam penghayatan peran yang selama ini mereka mainkan dengan ahli. Sungguh, aku berharap ada mihrab yang melingsir turun macam panggung di purna pertunjukannya. Agar kutak disajikan tontonan biadab yang menjijikkan ini.
"Aahh!"
Aku kembali muntah. Bukan lagi menyembur kotoran berludah. Tapi darah yang tumpah ruah.
Darah menjadi harapan terakhirku setelah doa dan puja siang malam yang ambigu.
Dalam darah yang membanjir pekat, harapan akan kebebasanku tampak cerah.
Aku lantas berdoa. Tapi begitulah tuhan. Dengan segala kemahaan sifat yang Ia punya, secara ironi Ia lebih suka menjadi pemberi sekaligus pengawas ujian. Lantas para hamba yang hatinya mengaku berselimut keimanan akan berkata bahwasanya ujian ini demi meningkatkan kualitas diri sebagai mahluk ciptaanNya tertinggi. Persetan! Demikian ucap para hamba setan. Seperti dua betina yang masih bergumul dosa, terpasung dalam ketidakpercayaan bahwa maut mengintai kapan dan dimana saja. Walau sejatinya kematian itu memerdekakan.
Dan meski acap kusalahkan Tuhan kali ini aku benar-benar memohon agar diturunkan mirakel kepadaNya yang seingatku selalu dipuja sebagai Dzat Yang Maha Memiliki Segala Mukjizat.