Aku mulai resah. Entahlah bila belenggu di sekelilingku juga menghirup hawa semual yang kurasakan? Sama sepertiku, dalam kebisuannya dinding dan asesorinya inipun didesak menyaksikan fragmen absurd, eksentrik demikian ia sebut.
Sosok pemuda itu menorehkan citra jantan. Begitulah yang terpikir saat melihat punggungnya dipenuhi tonjolan. Bukan bisul, tapi sebuah raga yang sangat terbina. Perlahan namun pasti, punggung hebat itu mulai beringsut-ingsut. Setiap kali menggeliat, diselingi bunyi macam orang sedang sekarat, erangan tertahan, membuat sesiapapun pasti lelah dalam resistan. Sial, dan akupun terhasut mengganjal nafas. Oh, andai bisa ku-swap adegan penuh ketegangan ini.
Punggung itu menggeliat lagi. Bukan terusik oleh bisik penerbit gairah kelelakiannya. Lalu terdengar rintih perlahan yang membuat telingaku ingin menuli seketika. Oh, ya, sungguh bisa kurasakan pedihnya jarum-jarum itu merajam kulitnya yang mengkilat kecoklatan. Darah tampak mengulir membentuk parit-parit kecil ungu kehitaman. Alur kekejaman itu lantas mencipta seringai wajah sangar seekor Poly Bear? Beast? Tahulah, mataku lelah dan merabun sejak senggama airmata itu. Tapi itu nyata rajah tato yang sangat mengesankan. Harus kuakui Max memang sangat handal. Tangannya yang gemulai pernah membuatku lunglai, takluk dibawah pesona dan geloranya yang membara di atas arena pemijahan sakral. Sejenak aku terhisap putaran waktu. Terkenang padanya, Maxima, saat-saat ia masih perempuanku yang manis, kudus dari intrusi iblis. Â
"Bangunlah! Sudah selesai!" Max menepuk bokong gempal si binaragawan.
Pemuda itu lekas bangkit dari baringnya. Dengan wajah memutih kapas, berselubung cemas, ia lantas membungkuk beri hormat pada sang perajah, Maxima.
Oh, wahai kau pemuda, pada tubuhmu yang begitu virile, nyata hanya sekedar wadah mental yang fragile. Maskulinitas yang hampa. Jantan namun tak berjiwa. Aku hiba padanya si pemuda namun ini bukan sekali, dua kali terjadi, jadi yaah, aku tak peduli lagi.
"Kanvas tak lagi menjadi media yang menarik untuk dilukis? Bukan begitu, Max?" tanyaku dengan wajah tanpa pretensi.
"Kanvas hanya benda mati, tak bisa bereaksi," ujar Max dingin dan keji. Jawaban yang tak lagi membuatku ternganga. Sebab kutahu betul siapa Maxima dan jiwa hampa yang kini dirasuki iblis pemasung jiwanya. Dipikir-pikir, kami adalah dua pasien dengan diagnosa sama gila namun terpasung dalam cara berbeda.
"Kali ini berapa kau bayar pemuda malang itu untuk menjadi kanvasmu?" tanyaku sama sekali tak ingin tahu.
"Malang kau bilang?" berkerut kening bening Maxima.
"Tidak?"