Kuedarkan pandang mataku. Memindai segala yang katanya disediakan untukku. Kamar inikah? Dengan fasilitas setara presidential suite room? Mengapa aku lebih suka menyebutnya penjara?
"Kau tahu, mengapa kamar termewah, di hotel, apartemen atau di rumah sakit, harus berada di lantai tertinggi?" ia mengangsur tanya lagi.
Leherku memang belum patah. Namun sulit bagiku menunduk dan tegakkan lagi sejak belenggu ini dipatri. Aku hanya menggeleng lemah.Â
"Privasi," jawabnya lamun, tanpa rasa sesal mengetahui acrophobia yang kuidap menahun.
"Tepatnya bersembunyi," aku bergaya mengoreksi, ya, setelah tangis dan tawa, juga sedu-sedan yang tak tahu malu itu reda dengan cepatnya lalu hilang seperti bulu Dandelion tersapu taifun. "Menyembunyikanku dari kehidupanmu yang selalu dikepung oleh rasa curiga dan ingin tahu teman-teman sekaligus musuh-musuhmu! Kalian para pemuja strata sosial, alih-alih berlindung kalian justru terpasung dibalik topeng wajah palsumu itu," ho-ho, tetiba saja aku seperti prodigy dengan rentet pertanyaan yang banyak menguji. Sejenak menjadi sedikit defensif, padahal biasanya malas bicara, walau memang seringnya aku menyerah, sebab mau bagaimana lagi bila tak ada sesiapa di atas sini yang bisa membuatku bertukar kata.
"Kamar-kamar termahal dibangun di lantai tertinggi sebab dari sanalah punca view terindah bisa dinikmati. Layaknya tuhan, kau bisa melihat, mengamati, orang-orang dengan ragam kepribadian. Dan mereka tak mampu berbuat sebaliknya meski sekedar mengintipmu. Mereka hanya bisa menerka dengan hasil spekulasi buta dan putus asa," jelasnya tak sedramatis riak di wajahnya yang satiris. "Kekuasaan adalah intinya. Dan perlu kau tahu, hanya penguasa yang ada di atas sini," imbuhnya segera.
"Ya, seperti kau berkuasa atas diriku...," aku berkata setelah lama jeda, lalu, "Aahh!!" lagi-lagi harus kutarik urat leherku. Belenggu ini sangat tahu akan definisi kesakitan tak terperi. Bedebah!
"Makanya, buang mimpi soal mengobral fakta. Percuma saja. Di luar sana, mereka hanya akan menyebutmu pembual," katanya.
Mengapa bukan gila saja? Pembual? Aku meragukan sebutan itu. Terlalu murah hati rasanya. Dengan semua hal gila yang sulit untuk digambarkan, maka sebutan orang gila adalah yang terakurat. Tapi aku diam saja. Kutunggu dengan sabar kelanjutan bicaranya, meski sudah bisa kukira. Tak jauh dari hinaan, sumpah serapah, keluhan, berujung keangkuhan setinggi makam firaun di tengah pongah Sahara. Kemana lenyapnya tahun-tahun keemasan dengan cakapnya yang halus santun selaras dengan parasnya yang ayu, tutur lembut yang melumpuhkan? Aku merintih di labirin hati terdalam.
Belajarlah denganku akan skill kesabaran. Ruang isolasi ini bukan pelatihan walau rentang waktu lama menjadikanku demikian terlatih. Dan sabar pun berevolusi menjadi udara yang terhirup lalu terbuang sebagai kentut busuk. Keseharian... itulah yang kumaksud. Namun kesabaran tanpa keihlasan, muaranya adalah... gila. Dan sepertinya aku tengah mengkiblat ke muara itu.
"Bukan rahasia, mulut media di era ini kejam. Tak sulit bagiku menyumpal mulut jurnalis, yang teridealis sekalipun, agar menjadi sadistis."