"Aahh!"
Tak bosannya aku mengerang, berharap telinga-telinga di bawah sana mendengarku. Namun telinga setipis kelelawar pun tak menangkap sinyal keputus-asaanku. Aku tak ubahnya anjing yang menyalak bukit. Harapanku berserak. Sia-sia.
"Sebutkan padaku media yang paling independen, dan...," ia lalu menjetikkan ibu dan jari tengahnya, hingga bunyi klik. "Ya, secepat itu sanggup kutancapkan cakar tajam intervensiku. Seniscaya itulah kuasaku."
"Aahh!" darahku bergelegak mendengar koleksi kosakatanya yang mendidihkan.
"Dasar kau dungu! Masih percaya mereka mau mendengarmu dengan tulus tanpa suapan fulus. Bullshit! Orang-orang hanya akan percaya pada sesuatu yang mereka ingin percayai saja. Meski itu aib, salah, atau dosa sekalipun," ia tersenyum  arogan. "Teruskan peranmu sebagai pengamat, diam dan duduk penuh hikmat. Aku muak dengan semua keluhanmu!"
"Aaahh!"
Aku masih bergulat dengan upayaku memutus baja yang mengalung leher, pergelangan dan sepasang kaki yang lambat laun dengan sedih kusadari semua itu telah auto mengerut-keriput. Seperti lintah, baja ini telah menghisap habis masaku.
Pintu terbuka.
Seseorang dengan uniform pelayan datang menengahi sengketa di antara kami. Aku tak lantas bersuka cita, justru segera kupejamkan mata. Ooh, tidak, jangan lagi. Pintaku lirih dalam hati. Kakiku menjejal-jejal. Namun tak ada yang tertarik dengan upayaku menuntut perhatian.
Pria muda dalam arahan petugas rumah tangga itu tampaknya cukup terganggu dengan aksiku, namun lekas teralihkan olehnya si pemberi income. Seperti yang sudah-sudah, itu bukan upah sekian ratus ribu rupiah. Itu jumlah gigantis, sekalipun bagi para skeptis. Dan tentu saja nominal yang fantastis bagi kaum pesimis. Yakni, orang-orang lemah yang terus dikhawatirkan oleh kondisi kekurangan, maunya serba ada dengan sedikit upaya. Silau pada kemilau hedoni yang bereputasi selalu sukses membunuh nurani.
Usai melepas kaus polonya, si pria muda berbaring pasrah. Beruntung celana jeans branded mahalnya itu tidak melorot. Oh, thanks God, kalau tidak mungkin mataku bisa saja copot. Only half-naked, yeah, fuck you cause I hate what you do. Itu lagu berirama penuh cerca wanita Britania, Lily Allen, yang ia mainkan sebagai latar drama bertema kemuakkan ini.