Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jahannam

12 Januari 2017   16:15 Diperbarui: 13 Januari 2017   13:50 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: playbuzz.com

[Kisah]Sebelumnya...

...o0o...

Tentu saja tak ada deriap gemerincing Panyembrahme, tetarian indah untuk menyambut kedatangan tamu. Ini sama sekali tak ada penyambutan, karena aku bukan tamu agung, apalagi kedatanganku terjadi dengan cara yang amat hina. Ditelanjangi, dibelenggu rerantai baja memerah jingga bergelora bara, lalu diseret-seret hingga ragaku tak berbentuk lagi. Jangan tanya sakitnya. Sebab takkan ditemukan padanan katanya di dunia ini untuk menggambarkan deritaku tak terkira...

“Selamat datang di Neraka, wahai Fulaknat!” suara itu menggelegar, telinga sesiapapun pasti pecah terpapar. Demikian juga dengan sepasang telingaku yang seketika itu melelehkan lava nanah.

“Benarkah ini Neraka?” kurasa aku telah mengajukan pertanyaan. Entahlah, sebab mulutku hitam berbilur luka, ludah panas tak henti menetes, lidahku pun terbelah-belah, sedang gerigiku gosong semua.

“Tak ada keraguan lagi. Welcome to Jahannam. Inilah Jahannam, tempat yang telah diciptakan Tuhanmu dan telah dinyalakan sejak 1000 tahun sehingga menjadi merah. Kemudian dilanjutkan 1000 tahun lagi sehingga menjadi putih. Dan 1000 tahun lagi sehingga menjadi hitam, hitam yang sangat gelap dan tak pernah padam nyala dan baranya,” suara itu kembali membahana.

Dengan sisa tubuh yang masih ada, kukuatkan untuk merayap, mendekati arah suara itu. Tak yakin dimana bola mataku, mungkin telah tercabut, atau masih berada dalam rongganya yang keropos, aku gagal dan terus gagal menjumpai pemilik suara yang tak berbasi-basi itu.

“Kumohon... keluarkan aku dari tempat ini. Lihatlah, duhai Tuan, lihat tubuhku tak lagi berbentuk, maka akan hancur leburlah aku bila setetes bara itu mencium tubuhku.”

“Setetes bara, katamu? Begitukah menurutmu?” Suara itu bertanya sinis. Senyum sumir yang mengerikan pasti timbul di wajah si pemilik suara halilintar itu, andai seutas cahaya dapat kutangkap di tempat anyir berkabut kegelapan ini.

“Kumohon...,” ratapku dengan perih nan tak tertahankan. Ketakutkanku memuncak. Sakit menggigit sekujur tubuhku. Walaupun begitu aku masih bisa menerbitkan nyali memohon belas kasih. Aku sungguh tak ingin berada di sini, terlebih mengetahui tentang panas Neraka yang tanpa ampunan. Tidak!

“Diam kau, Fulaknat! Dan dengarlah! Jangankan setetes saja, bahkan andaikata Jahannam terbuka sebesar lubang jarum, niscaya panasnya akan membakar seluruh penghuni dunia!”

Tuhan! Benarkah demikian? Betapa dahsyat panas itu. Oh, Tuhan! Berkali-kali kupekikkan nama Tuhan. Walau susah payah kucoba mengingat nama Tuhan. Kutahu ada 99 asma kudusNnya. Tapi kepalaku yang  mendidih telah melumatkan segala ingatan. Mulut hinaku hanya mampu menyebut Tuhan, Tuhan, dan Tuhan saja...

“Keluar... keluarkan aku dari tempat terkutuk ini!” tangisku meledak-ledak. Airmata bukan lagi bebulir bening sejernih cairan gin, tapi lelehan nanah bercampur darah yang membutakan.

Akan tetapi pemilik suara itu tak peduli. Ia jelas tak berhati nurani. Iapun kembali mengguntur dan merobek-robek gendang telingaku yang belum lama lalupun pecah kemudian merapat lagi dengan sendirinya. Dan begitu seterusnya yang terjadi setiap kali terdengar suara maha memetir itu.

“Demi Tuhan! Andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi, niscaya akan mati seluruh penghuni bumi karena panas dan baranya.”

Oh, tidak. Mengapa harus kulalui semau siksa itu? Memangnya apa dosaku? Tuhan! Tuhan! Engaku Yang Maha Welas Asih, tolonglah, biarkan aku dengan sesisa remuk tubuhku, keluar dari tempat ini. Kucoba merayap, merayap lagi, walau hamparan yang kusetubuhi penuh dengan mata tombak panas, dan ooh, berat nian rantai baja ini membelenggu tangan dan kakiku melepuh lumpuh. Rantai ini... oh, mengapa tak bergerak sedikitpun walau semili, padahal tenaga sudah sedemikian payah kukerahkan.

Rantai! Pemilik suara hurikan itu pasti mencermati jalinan rantai yang telah memasungku, sehingga ia kembali bicara lantang tanpa jeda keraguan.

“Demi Tuhan! Andaikan satu pergelangan rantai itu diletakkan di atas bukit, niscaya akan mencair hingga ke bawah bumi yang ketujuh!”

Mendengar itu, akupun kian bertekat untuk keluar dari tempat tergila ini. Apapun harus kulakukan demi menghindari panasnya Jahannam seperti yang dijelaskan pemilik suara yang pantang bertutur kata halus-lembut.

“Kau telah salah memilih tempat peristirahatan, wahai Fulaknat!” tegas suara itu.

“Jika demikian, maka segeralah keluarkan aku, agar dapat kubatalkan pilihanku itu,” walau sia-sia belaka, tetapku mencoba membujuknya.

Tetiba saja suara itu terbahak-bahak diikuti rentetan tawa yang sangat mengerikan dan memekakkan telinga. Ia belum berhenti tertawa hingga sepasang daun telingaku gugur dengan sendirinya.

“Demi Tuhan! Andaikan seseorang di ujung barat tengah disiksa, niscaya terbakarlah orang-orang yang berada di ujung timur karena panasnya.”

“Baiklah,” aku berkata parau. Kerongkonganku membara, kemarau sejak lama. “Bolehkah, aku meminta barang seteguk air, duhai Tuan? Mungkin setelah itu, aku dapat menjelaskan sebabku terperosok di tempat ini.”

Bukan bodoh, hanya tak yakin dan putus asa saja bila permintaanku itu dikabulkan. Memang sedikit konyol, tapi apa salahnya tetap berupaya demi tujuan agar bisa keluar dari lembah durjana ini.

“Minum?” suara itu bertanya penuh mengejek. “Jahannam ini tempat yang sangat dalam. Tahukah kamu, perhiasannya berupa besi-besi membara, tirai-tirainya adalah potongan-potongan api, dan minumannya adalah hamim ....”

“Hamim? Siapa hamim?”

“Hamim adalah air panas yang menggelegak-gelegak dan bercampur nanah. Kau yakin ingin meminumnya walau seteguk saja?”

Akupun tercekat. Tak kusangka sejuk air yang kubayangkan itu mengeringlah seketika. Liurku sendiri sudah begitu memerih, bagaimana mungkin kusiram lagi kerongkong ini dengan air panas menggelegak dan bercampur nanah pula. Aku kian tersudutkan oleh keputus-asaan. Lalu, dalam kesia-siaan itu aku diseretnya lagi, diseret dan terus diseret-seret, seperti biasa, lolong kesakitanku diabaikan, dianggap angin lalu yang mustahil mengetuk iba si pemilik suara gahar.

“Angin lalu? Bicaramu ceroboh seperti tingkah lakumu, wahai Fulaknat!” suara itu menyembelihku. “Angin di Jahannam ini adalah Samum!”

“Samum? Siapa lagi si Samum?” tanyaku pada diri sendiri.

“Samum adalah angin yang sangat, sangat panasnya. Sedangkan naungan Jahannam adalah yahmum, naungan yang berupa potongan-potongan asap hitam yang juga tak kalah panasnya,” terang pemilik suara itu, mungkin Tuan Jagapati, mungkin Izrail, entahlah, aku tak berani lagi mengira-kira karena selalu tertebak olehnya.

Pantaslah mengapa tempat ini tak terkira panasnya. Dari air, angin, atap dan semua perhiasannya semua berderajat jutaan Fahrenheit. Maka tak terbantahkan bila panas di dunia hanyalah 1/70 dari panasnya Jahannam.

“Kemana lagi hendak kau bawa aku, duhai Tuan Bersuara Besar?”

“Lupakan soal minum. Kalau kau begitu berhasrat keluar dari tempat ini, maka sekarang pilihlah pintumu! Pintu-pintu ini yang akan mengantarkanmu pada tempatmu yang semestinya,” katanya, kemudian dijerembapkanlah aku pada sekumpulan pintu.

Seketika ucapan sangar itu tak ubahnya bak oase yang sangat menjanjikan. Tumbuhlah harapanku.  “Baik. Kali ini aku tidak akan salah pilih. Lekas, tunjukan padaku pintu itu,” ujarku mantap.

“Lihatlah pintu-pintu itu,” cemetinya yang panjang dengan lidah-lidah api menjalar  berkobar sejak pangkal hingga ujung runcingnya itu, menunjuk pada sesuatu yang disebutnya pintu.

Mataku yang mengabur oleh darah dan nanah, masih sanggup menangkap gambaran pintu dalam keremangan yang mengkhawatirkan.

“Jahannam memiliki 7 pintu. Pintu pertama dinamakan Hawiyah.”

Cemeti itu mencetar-cetar kegelapan. Sesaat kemudian hadirlah Pintu Hawiyah. Ketika daun pintunya tersibak, nampak jurang menganga lebar yang tak terukur akhirnya. Diantara api yang menjilat-jilat, tampak segolongan kaum yang menggapai-gapai, kepalanya hancur, timbul tenggelam dalam lautan api abadi.

Cemeti itu meliuk dan mencetar lagi. Tampaklah kemudian apa yang disebutnya sebagai Pintu Jahim.

“Pintu Jahim akan menyambut kaum musyrikin. Dan pintu keempat bernama Pintu Saqar, pintu yang akan terbuka lebar bagi kaum shobiin, mereka yang memuja-muja dan menyembah api. Atau kau ingin memasuki Pintu Ladha?”

Cemeti itu berkelibat menampakkan Pintu Ladha yang diperuntukkan bagi golongan iblis dan para pengikut setianya. Mereka terlihat berkubang dalam kolam bergejolak api, penuh murka dan kegeraman. Setelah itu ditampilkan pintu kelima yang dinamakan Pintu Huthomah, pintu yang akan menyambut suatu kaum tertentu lalu menghancurkannya hingga berkeping-keping.

“Sudahkah kau menentukan pilihanmu, wahai Fulaknat?”

Aduhai Tuanku yang selalu bersuara penuh amarah, bagaimana hendak memilih bila tak satupun pintu menawarkanku selain daripada api dan kesakitan abadi. Aku menelan lidahku sendiri. Baiknya, kuputuskan saja sekalian agar tak perlu kujawab pertanyaan itu.

“Atau pintu yang keenam, mungkin? Pintu Sa’ir namanya?”

Aku melihat samudera api yang maha hebat nyalanya ketika Pintu Sa’ir terbuka. Terlihat para penghuninya yang dilumat kemarahan api, api, api dan api yang tak henti-hentinya.

“Barangkali pintu terakhirlah pintumu. Pintu ketujuh di Jahannam ini diperuntukkan bagi umat pengikut cucu Abdul Muthalib, yang telah melahap dosa-dosa besar dan mati tanpa sempat bertaubat.”

Kata macam apakah lagi yang mesti kulontarkan bila semua pintu itu hanya dan aan terus menyuguhkan api.

“Kau masih ingin keluar dari sini?” gelegar suara itu menuntut jawabanku.

Aku mengangguk cepat karena memang tulang leherku telah hancur sejak lama. Anggukan kah, gelengan kah, itu tak ada artinya. Apatah mau dibantah lagi, apatah mau dibujuk lagi, bila semua pilihan yang ada hanyalah tinggal dan menetap di sini, di tempat yang tak diingini oleh sesiapa ini.

“Bagus, kalau kau memutuskan untuk tinggal di sini. Tapi Jahannam pun memiliki tingkatan tersendiri. Kau tak dapat seenaknya menempati salah satu tingkatannya,” pemilik suara kasar itu kembali memainkan cemetinya.

“Tujuh?” tanyaku demi disaksikan ketujuh tingkatan yang dimiliki Jahannam.

“Ternyata otakmu yang sudah membubur itu, masih bisa menerka,” suara itu tak menutupi nada sinismenya. “Benar. Jahannam memiliki tujuh tingkatan. Setiap tingkat mempunyai 70.000 daerah.  Setiap daerah mempunyai 70.000 kampung. Setiap kampung mempunyai 70.000 rumah. Setiap rumah mempunyai 70.000 bilik. Setiap bilik mempunyai 70.000 kotak. Dan setiap kotak mempunyai 70.000 batang pokok zaqqum.”

Sejatinya aku tak begitu ambil pusing dengan semua tingkat itu. Yang terbersit hanyalah keyakinan bahwa aku takkan sendiri di sana, begitu banyak ruang yang dimiliki Jahannam, tentu banyak pula penghuninya. Terserahlah, di tingkat mana aku kan ditempatkan asalkan banyak kawan.

Zaqqum? Apakah zaqqum itu semacam makanan, duhai Tuan?” aku bertanya penuh pengharapan. Barangkali takkan ada kesakitan di sana. Buah yang ranum?

“Pokok zaqqum adalah tempat bagi 70.000 ekor ular. Dan di setiap mulut ular yang masing-masing panjangnya 70 hasta itu terkandung lautan racun nan hitam pekat.”

Lagi-lagi aku dibuatnya tercekat. Tak tahu harus bagaimana dan berkata apa. Aku benar-benar bukan lagi seseorang yang berhak memilih. Hakku sebagai pemilih sesungguhnya telah tercabut sejakku dibungkus lalu dibenamkan di sebuah lahat sempit.

“Dan...”

Masih ada lagi?

“Di bawah pokok zaqqum itupun terdapat 70.000 rantai dimana setiap rantainya akan diseret oleh 70.000 malaikat.”

Setelah itu tak kurasai apapun selain daripada... api. Dan kutimbul tenggelam, dalam gelimang cumbuan bebunga... api. Tempat ini sungguh kaya akan... api. Dan api adalah satu hal yang luar biasa berlimpahnya di sini..., tempat yang menyebut dirinya penuh angkara murka kejam tak berampunan..., Jahannam.

[..Fin..]

Inspirasi cerita 'Jahnnam' : Para hafidz dan perawi yang mulia, Bukhari dan Muslim.

gambar: playbuzz.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun