-o0o-
Dekorasinya lumayan indah, mungkin sedikit berlebihan, untuk ruangan tak seberapa luas itu. Semerbak harum bebunga rata menyebar hingga kesan mistis-romantis begitu lekatnya. Cukuplah menegaskan bila memang ada yang istimewa, di kamar itu.
“Wuaah! Apa ini? Wuaah! Manusia memang gemar sekali mengumpulkan sampah!”
Dari tempat yang tersembunyi, para penghuni lama kamar itu, sepasang cicak abu-abu, seekor tokek berbintik, dan beberapa hantu lokal maupun nomad, perlahan-lahan merayap keluar. Tentu mereka tak hendak memberi salam pada penghuni baru, namun lebih karena terprovokasi wewangi nan memabukkan itu.
“Tak biasanya seharum ini. Pasti alat pemusnah nyamuk masalnya telah berganti aroma!”
Selagi menghindari helaian serat sutera laba-laba, mereka ternampak sesuatu. Duduklah di atas peraduan berkelambu putih menerawang, sepasang anak Adam. Ohoho! jadi merekalah rupanya sebab kamar ini berdandan total. Sepasang pengantin itu.
Pengantin wanitanya tak terkata lagi cantiknya. Mahkotanya semegah ekor merak jantan yang terkembang, kerudung berjuntai panjang itu senarai dengan gaun putih elegan yang membalut tubuh rampingnya.
“Ada apa dengan mempelai prianya?”
The secret watchers, sepasang cicak abu-abu, seekor tokek berbintik dan para hantu itu, menelisik penuh tanya pada wajah maskulin yang nyata kewalahan menyembunyikan hasrat ntuk bersegera memainkan peranan pentingnya malam ini, di kamar itu, kamar sakral bagi duet sang pengantin.
Hening sepemakan sirih. Detak jantung jam di dinding kamar pun terdengar amat menggema. Kesenyapan telah melipat-gandakan volume suaranya.
“Berdoa, Sobat Tokek. Ya, berdoa, hanya kata itu yang dapat menggambarkan aksi mereka berdua saat ini,” jawaban pasangan cicak itu memecah keheningan.
“Bukankah doa manusia umumnya tak tamak pada waktu? Doa apakah hingga selama ini?”
Sepasang cicak, seekor tokek berbintik dan para hantu saling memandang tak mengerti pada pasangan raja dan ratu sehari itu. Bahkan dalam dunia melata mereka, saat-saat seperti ini adalah waktunya menunjukkan tindakan brutal atas nama cinta.
“Ini seperti tengah menonton filem bisu, filem hitam putih di masa nenek moyang.”
Lalu diskusi itupun terhenti oleh kidung jengkerik di sudut tergelap malam. Krik. Krik. Lagu yang lirih merintih itu tersiar merdu menambah nuansa syahdu. Meski luruh malu-malu, rintik gerimis yang datang kemudian, lantas menjadi penggebu nuansa beratmosfer romansa. Hanya satu, dua, bintang yang berkelip, memberanikan diri menyapa gulita. Dan rembulan pun meredup temaram, relakan mendung hitam menghambat pesona cahaya kuning keemasannya. Benarkah sang pengantin menjadi sebab bulan menahan diri? Ah, bisa jadi karena ini belum tanggal 15 kalender Jawa. Purnama belum tiba masanya.
Namun, yaah, seperti itulah dukungan penuh sang alam pada sepasang mempelai. Seperti telah dijanjikan tuan penghulu di sepenggalah hari tadi bila malam ini kan menjadi momen teristimewa bagi sepasang pengantin.
“Gen…”
Suara sendu sang pengantin wanita itu melegakan sepasang cicak, tokek berbintik dan hantu kerabatnya. Seperti telah mendapat kepastian bila malam ini takkan berlangsung penuh jemu.
“Kok Gen? Bukankah ini waktunya kau mengubah panggilanku?” Gen, pengantin pria itu berkata sedikit merajuk.
“Eh, iya, hehe, maaf. Maklumlah, aku terlalu mabuk oleh kebahagiaan ini, hingga tak terpikir olehku,” pengantin wanitanya tersipu malu.
“Mas, abang, kanda, ayolah… jangan bertingkah segala tak tahu.”
“Sayang?” si pengantin wanita menambahkan pilihan.
“Nnnaah! Itu baru namanya pengantin wanitaku,” senyum Gen sumringah.
“Tapi, aah… rasanya masih canggung.”
Gen mendengus kesal. “Ya, sudah, sa’karepmulah. Wis, ngga papa, panggil saja seperti biasanya. Gentong. Gentayangan. Gentawilan. Biar nanti anak kita pun meniru laku ibunya,” usulan itu bernada serius.
“Haiyah… kok ngambek gitu sih? Ayo dong, Sayangku, jangan merusak suasana malam pengantin kita, malam pertama kita sebagai pasangan suami-istri yang sah.”
Sepasang cicak saling mengerling genit. Tokek berbintik menggoyang ekornya tanda gairah. Sedang para hantu hanya dapat berharap sepasang manusia itu sikit cakap banyak kerja sebab sudah larut malam pula.
“Now, what are going to do?” tanya si bodoh Gen.
“Uhm? Entahlah…,” jawab pengantinnya tertunduk bingung. “Ini kan pertama kalinya aku menjadi pengantin, manalah kutahu, Gen?”
“Idem ditto, Rin. Ini juga pengalaman pertamaku sebagai pengantin pria,” ujar Gen seperti tengah menjual petai hampa.
“Ah, bicaramu bagai menjual tangkai cangkul sekah,” Rin, si pengantin wanita berperibahasa. “Yang kudengar kau ini Arjuna, dimana singgah pasti punya pacar.”
“Tapi Rin, di sini, di kamar sakral ini, menjadi Arjunamu dalam ikatan yang halal, malah membuatku mati kutu. Tak tahu aku harus berbuat apa atau memulai darimana…,” Gen dengan suara baritone yang meyakinkan.
“Halaah… gombal amoh!” cibir Rin manis.
“Suer!”
Sepasang cicak abu-abu, tokek berbintik dan para hantu yang bersembunyi di sela antara plafon dan tembok pun serentak meleletkan lidah. Pret! Pret! Pret! Ini sungguh sebuah scene malam pengantin yang paling membosankan yang pernah ada. Begitu gerutu Cicak dan sejawatnya.
Benar apa katamu itu, Cak. Siapa sangka, kita akan menjadi penonton bodoh seperti ini. Ini jauh lebih menjemukan dari sidang para anggota dewan di gedung DPR. Tokek pun terhasut menggerundel.
Sejenak suasana mengheningkan cipta. Sepasang cicak, tokek dan para hantu berdebar menunggu adegan berikutnya. Tapi Rin, sebagai aktris utama malam itu, hanya tertunduk dengan wajah bersapu merah jambu. Jari-jemari berinai itu sibuk memilin ujung kerudungnya. Sedang aktor utamanya, Gen, pun tampak serba salah. Sang pengiran begitu tak berkutik, ia hanya duduk mematung di atas peraduan beralas sprei bertabur kelopak-kelopak mawar.
“Ya, sudah,” akhirnya Rin memecah kesenyapan. “Bagaimana kalau keindahan malam ini, ehm… kuawali dengan…,” Rin menggantung kalimatnya. Lalu kedua belah tangan berhias mehendi itupun ditangkupkan rapat menutupi wajahnya. Kemudian, perlahan-lahan Rin mulai menyingkap kerudung berekor meraknya.
Sepasang cicak sontak tercekat. Temannya, si Tokek, menelan lidah lengketnya. Adapun para hantu saling bertaruh tentang apa yang akan dilakukan Rin, si pengantin wanita.
Gen mengumbar sorot matanya, takjub melihat apa yang sekian puluh tahun ini hanya ada dalam mimpi-mimpinya belaka. Rambut berkepang itu kini benar tampak nyata. Di matanya, Rin seperti kembali meremaja.
“Kau dulu sangat suka dengan kepang rambutku. Tapi sekarang, nampaknya kau kehilangan minat ya?” Rin mengeluh manja.
“Tidak, Rin. Aku tak pernah kehilangan minat terhadap dirimu seutuhnya, barang semenitpun. Sungguh!”
“Haiyaah… gombal suwek! Buktinya kau hanya membelai-belai rambutku saja.”
“Lantas harus bagaimana? Masakan harus aku jambak rambut bagusmu itu.”
Sepasang cicak dan tokek kembali adu gerutu. Sedang para hantu saling meleletkan lidah-lidah panjang yang menakutkan.
Nganten edan! Menyebalkan! rutuk sepasang cicak kompak. Dasar Pecundang! Tokek pun tak mau kalah menyumpah. Berandal tak berguna! Wek! Demikian para hantu mengumpat.
Gen, lalu melunakkan suaranya, jatuh iba melihat wajah berlipat duka Rin, “Mari, kemarilah, Rinku diajeng sayang, mendekatlah pada kakangmas…”
“Mari sini, kau saja yang datang hampiriku. Ayo, kangmas prabu,” tantang Rin tak gentar.
Auh, Gen mendongkol mendengarnya. Sudah cukup ia dipermalukan di hadapan karib-kerabatnya sebagai pengantin yang harus dipapah memasuki kamar istimewanya. Sekarang pula, dengan sengaja dan cara yang menggemaskan, Rin kembali membuatnya malu hati.
“Apa kau benar-benar harus bersikap begini, Rin?”
“Ok.. sori-dori. Baiklah, aku datang. Here I come, Gen sayang. Sekarang, bantu aku menurunkan restleting di punggungku ini, hm?” Rin tergopoh menyodorkan diri.
Kesal Gen hilang seketika manakala hidung herdernya mencium harum mewangi dari tubuh semampai berbalut gaun putih elegan. Nalarnya sontak menggila. Namun sekejap itu pula mereda. Tiba-tiba Gen menyesal tidak bertangan kidal, maka tak hanya menurunkan restleting, merobek-robek gaun berbahan ceruti itupun bukanlah perkara besar. Kini, di saat segala yang ia angankan tinggallah segapaian, auuh…. Gen dirundung geram dan malu. Aksi yang sepatutnya dapat dilakukan dengan mata terpejam dan dengan tenaga seperti menjentik seekor nyamuk itu ternyata butuh lebih dari lima menit baginya.
Sepasang cicak abu-abu, seekor tokek dan para hantu serentak tertawa, dalam nada sumbang namun penuh iba.
“Terima kasih untuk kerja kerasmu, Suamiku,” senyum Rin di bibir menggoda. “Aku tukar pakaian dulu ya?” kali ini dengan kerling lucu sebelum mencelat bak anak menjangan, berlalu secepatnya dari hadapan Gen. Betapapun ia bukanlah bocah tiga tahun yang boleh bertelanjang suka-suka. Tiga miliknya kini sudah ditambah nol. Dan setua itu, tetaplah ini kali pertama auratnya disingkap dan disaksikan pria. Tak peduli bila itu perkara halal, Rin masih tak dapat menyembunyikan rasa malu itu. Entahlah kelak sepuluh tahun mendatang, konon malu-malu itu berubah menjadi malu-maluin.
Sepasang cicak tertawa. Tokek berbintik terbahak-bahak. Para hantu mengikik geli. Mereka sepakat akur menjuluki malam ini sebagai malam pengantin teraneh dengan sepasang mempelai terkonyol dalam sejarah pemantauan mereka.
“Sekarang ngapain?”
“Nonton tivi aja deh”
Mendengar itu, sepasang cicak terlongong. Si tokek berbintik terbengong-bengong. Dan para hantu menampilkan wajah datarnya yang pias, kekeringan darah.
Lalu, sebagai istri yang baik, Rin menurut patuh. Ia meraih remote. Tapi kotak ajaib yang diharap keajaibannya menyulap kecanggungan ini justru seperti dikebiri. Layar datarnya hanya pamer sekelompok semut dengan suara gemerisik nyelekit yang mencubit gendang telinga sakit.
“Yaah… kok ngga ada gambarnya, Sayangku?” Rin termangu.
“Eeh, iya, lupa bilang kalau signal di sini sulit diterima.”
“Ngga ada tivi kabel gitu?” tanya Rin bernada harapan.
“Jangan lupa, Rin, kita bukan sedang berada di hotel bintang lima.”
“Aih, lupa juga aku, Kanda. Bersama denganmu sedekat ini, benar-benar membuatku terlupa tentang mess di tengah hutan belantara ini. Ngomong-ngomong, bagaimana andainya di tengah malam begini, di antah berantah ini, tiba-tiba perutku mulas hendak melahirkan? Apa yang akan kau lakukan, Suamiku?” Rin menyodorkan pertanyaan tak terduga.
“Berhenti meledekku, Rin! Jangankan melahirkan, sedang menghamilimu saja belum mampu kulakukan. Sudahlah! Sekarang pikirkan saja apa yang akan kita lakukan untuk menghabiskan sisa malam panjang ini..”
“Mau main congklak?” tawar Rin polos.
Mata elang Gen menyorot murka. Alisnya menukik tajam.
“Ya sudah kalau ngga mau, jangan marah gitu dong. Uhm… bagaimana kalau main Ludo? Halma? Monopoli?” sepertinya di kepala Rin penuh dengan ide cemerlang.
Gen meleletkan lidah. Para hantu terlatah menjulurkan lidahnya. Sepasang cicak abu-abu dan seekor tokek berbintik menyengir masam. The secret watchers pun kecewa, lantas memutuskan kembali ke sarang setelah menyakini takkan ada pergulatan seru bertatami nafsu.
“Onde-mande, Gen, setelah bertahun-tahun akhirnya kita pun berakhir di mahligai indah ini. Bukankah sudah sepatutnya kita mengukir sejarah? Tapi ohh, lihatlah betapa menyedihkannya kita berdua malam ini.”
“Sudahlah mari kita bobo saja. Nanti akan tiba waktunya kita mencipta romansa,” saran Gen pasrah.
“Tidak mau! Pokoknya do something!” Rin merepek.
“And what could I possibly do with this… hand?” Gen tak kepalang malu dan bingung.
“Oh Gen, andai kau bersabar hingga kain pembalut luka di sekujur tubuhmu itu dibuka,” Rin tak segan menunjukkan sesalnya.
“Aku hanya takut kehilangan kau lagi, Rin,” ujar Gen sedikit beralasan.
“Yakin ya, kau tak mau memberiku cinta mala mini?” antara mendesak dan separuh mengancam Rin berkata.
“Rin… kumohon, jangan seperti itu?” Gen mulai kehilangan akal. Mengapa pengantin cantiknya perlahan berubah macam monster begini?
“OK. If you can’t give me love, Honey. Then, let me be the one to give you everything you want, Baby,” Rin berkata tanpa ragu. Perlahan beringsut mendekati Gen.
“Rin…?” Gen menegang seketika. Tak percaya dengan semua perkataan Rinainya tercinta.
“Tapi dengan syarat?” berkata begitu, Rin bergerak menyorongkan wajahnya.
“Ok, aku tak peduli apapun syaratmu,” Gen pun tak berpikir lagi.
“Pakai ini…” tangan berinai Rin mengulurkan sesuatu.
“Ini?” kernyit Gen tak paham akan itu.
Tanpa banyak berkata lagi, Rin segera menutup kedua belah mata nyalang Gen dengan sehelai cita… ya, saputangan itu, saputangan berhias bahtera mungil dengan pesan cinta yang tersembunyi dalam setiap alur sulamannya.
-o0o-
Sila simak saputangan sebelumnya:
- Saputangan Genta
- Saputangan Rinai