“Nnnaah! Itu baru namanya pengantin wanitaku,” senyum Gen sumringah.
“Tapi, aah… rasanya masih canggung.”
Gen mendengus kesal. “Ya, sudah, sa’karepmulah. Wis, ngga papa, panggil saja seperti biasanya. Gentong. Gentayangan. Gentawilan. Biar nanti anak kita pun meniru laku ibunya,” usulan itu bernada serius.
“Haiyah… kok ngambek gitu sih? Ayo dong, Sayangku, jangan merusak suasana malam pengantin kita, malam pertama kita sebagai pasangan suami-istri yang sah.”
Sepasang cicak saling mengerling genit. Tokek berbintik menggoyang ekornya tanda gairah. Sedang para hantu hanya dapat berharap sepasang manusia itu sikit cakap banyak kerja sebab sudah larut malam pula.
“Now, what are going to do?” tanya si bodoh Gen.
“Uhm? Entahlah…,” jawab pengantinnya tertunduk bingung. “Ini kan pertama kalinya aku menjadi pengantin, manalah kutahu, Gen?”
“Idem ditto, Rin. Ini juga pengalaman pertamaku sebagai pengantin pria,” ujar Gen seperti tengah menjual petai hampa.
“Ah, bicaramu bagai menjual tangkai cangkul sekah,” Rin, si pengantin wanita berperibahasa. “Yang kudengar kau ini Arjuna, dimana singgah pasti punya pacar.”
“Tapi Rin, di sini, di kamar sakral ini, menjadi Arjunamu dalam ikatan yang halal, malah membuatku mati kutu. Tak tahu aku harus berbuat apa atau memulai darimana…,” Gen dengan suara baritone yang meyakinkan.
“Halaah… gombal amoh!” cibir Rin manis.