Sepasang cicak dan tokek kembali adu gerutu. Sedang para hantu saling meleletkan lidah-lidah panjang yang menakutkan.
Nganten edan! Menyebalkan! rutuk sepasang cicak kompak. Dasar Pecundang! Tokek pun tak mau kalah menyumpah. Berandal tak berguna! Wek! Demikian para hantu mengumpat.
Gen, lalu melunakkan suaranya, jatuh iba melihat wajah berlipat duka Rin, “Mari, kemarilah, Rinku diajeng sayang, mendekatlah pada kakangmas…”
“Mari sini, kau saja yang datang hampiriku. Ayo, kangmas prabu,” tantang Rin tak gentar.
Auh, Gen mendongkol mendengarnya. Sudah cukup ia dipermalukan di hadapan karib-kerabatnya sebagai pengantin yang harus dipapah memasuki kamar istimewanya. Sekarang pula, dengan sengaja dan cara yang menggemaskan, Rin kembali membuatnya malu hati.
“Apa kau benar-benar harus bersikap begini, Rin?”
“Ok.. sori-dori. Baiklah, aku datang. Here I come, Gen sayang. Sekarang, bantu aku menurunkan restleting di punggungku ini, hm?” Rin tergopoh menyodorkan diri.
Kesal Gen hilang seketika manakala hidung herdernya mencium harum mewangi dari tubuh semampai berbalut gaun putih elegan. Nalarnya sontak menggila. Namun sekejap itu pula mereda. Tiba-tiba Gen menyesal tidak bertangan kidal, maka tak hanya menurunkan restleting, merobek-robek gaun berbahan ceruti itupun bukanlah perkara besar. Kini, di saat segala yang ia angankan tinggallah segapaian, auuh…. Gen dirundung geram dan malu. Aksi yang sepatutnya dapat dilakukan dengan mata terpejam dan dengan tenaga seperti menjentik seekor nyamuk itu ternyata butuh lebih dari lima menit baginya.
Sepasang cicak abu-abu, seekor tokek dan para hantu serentak tertawa, dalam nada sumbang namun penuh iba.
“Terima kasih untuk kerja kerasmu, Suamiku,” senyum Rin di bibir menggoda. “Aku tukar pakaian dulu ya?” kali ini dengan kerling lucu sebelum mencelat bak anak menjangan, berlalu secepatnya dari hadapan Gen. Betapapun ia bukanlah bocah tiga tahun yang boleh bertelanjang suka-suka. Tiga miliknya kini sudah ditambah nol. Dan setua itu, tetaplah ini kali pertama auratnya disingkap dan disaksikan pria. Tak peduli bila itu perkara halal, Rin masih tak dapat menyembunyikan rasa malu itu. Entahlah kelak sepuluh tahun mendatang, konon malu-malu itu berubah menjadi malu-maluin.
Sepasang cicak tertawa. Tokek berbintik terbahak-bahak. Para hantu mengikik geli. Mereka sepakat akur menjuluki malam ini sebagai malam pengantin teraneh dengan sepasang mempelai terkonyol dalam sejarah pemantauan mereka.