-o-
Pada suatu masa ketika poros bumi berputar terlalu kencang hingga melampaui takdirnya. Segala sesuatu menjadi jungkir balik. Dan penindasan manusia atas para binatang yang telah mengabad pun berakhirlah. Keadaan menjadi total berubah. Umat manusia kehilangan kendali, tak lagi berkuasa. Tongkat kekuasaan itu sepenuhnya berada dalam cengkeraman para binatang.
Dalam sebuah pesta pendapat, terpilihlah Jerry si jerapah yang gemulai dan pemalu menjadi raja. Lantas kepadanya diberikan wewenang untuk menentukan sesiapa dari golongan binatang yang pantas menduduki tampuk-tampuk pimpinan. Di beberapa wilayah, hyena, warthog, caiman dan keluarga berang-berang sukses meraih jabatan sebagai kepala daerah.
Adapun sebagian manusia yang menolak kehilangan martabat mulianya itu dan tetap memendam hasrat menduduki beberapa jabatan ditempuhlah segala upaya, seringnya dengan cara yang tidak mulia. Mereka tak sungkan menjilat bahkan tak segan ketika dipaksa mencium pantat para binatang. Mau bagaimana lagi, sebab mereka kini bukan lagi predator tapi hanyalah prey.
Sekejap saja, dan negara pun telah dilanda kemerosotan moral. Sebab para binatang memang tak pernah sekolah, tak pernah belajar pendidikan moral. Jerry jerapah sang raja ternyata tak becus mengurus negara, beliau sibuk berdandan memanjangkan dan menguatkan otot leher. Karena bagi jerapah, leher adalah senjata penentu kemenangan dalam setiap pertempuran memperebutkan teritori dan bini. Jerry sang raja tak peduli arus bawah manusia sudah sangat gerah dengan dekadensi morality yang terjadi di dalam negeri. Tentu saja manusia menjadi sangat gerah, karena mereka dahulunya semasa menjadi penguasa adalah spesies terhormat yang sejak bertumbuh gigi susunya telah diajarkan tentang moral.
Dasar binatang! Demikian makian umum yang kerap dilontarkan mulut rakyat manusia karena ketidakpuasan terhadap pimpinannya para binatang.
Dasar kebo! Tahunya kumpul-kumpul lalu beranak-pinak. Itu juga salah satu makian umat manusia terhadap perilaku golongan buffalo yang ditakutkan berdampak menodai kemurnian gen manusia.
Dasar monyet! Seekor kutu saja menjadi rebutan sampai harus saling bunuh-membunuh. Bertindak territorial bolehlah bila menyangkut soal kedaulatan negeri. Ini perkara harem dan kutu di rambut pun sampai harus menghabisi nyawa satu generasi. Itu juga termasuk salah sekian dari umpatan kekesalan para rakyat manusia.
Tak hanya itu yang diumpat dan dikeluhkan rakyat manusia terhadap para binatang. Mereka juga merisaukan perilaku buaya yang sangat rakus, apa saja dilahap, tak pandang kawan dan lawan. Begitu oportunis hingga banyak rakyat manusia yang tak terciprat rejeki. Padahal merekalah rakyat yang sangat butuh makan. Juga kuda nil, dikarenakan pola hidup vegetariannya, ladang-ladang padi, gandum, kedelai yang menjadi dasar kebutuhan rakyat manusia, habis dilahapnya. Sebagian rakyat terpaksa mengkonsumsi beras pakan unggas atau beras dari plastik yang dibeli secara massif dari negara Naga karena murah tak terkira. Peduli kanker, nyawa mengejang, itu urusan belakang. Yang penting perut kenyang. Daripada kelaparan lalu tak berdaya dan menjadi umpan pemangsa. Jangan lupa, sebagian penguasa sekarang ini berselera besar pada daging manusia yang konon lezatnya melebihi tendon rusa. Sedangkan kebiasaan jorok para hippo itu yang hidup nyaman dalam kubangan kotor juga dikeluhkan karena menjadikan lingkungan sekitar manusia menjadi tak sehat.
Mendengar semua itu, para binatang tak mau kalah, dan balas mengumpat.
"Dasar manusia! Mulut kecil kalian itu memang sangat lihai bicara! Kalau demikian adanya, ayolah ajari kami tentang kehormatan agar kumpul-kumpul kami menjadi sesuai nalarmu itu!" komunitas Cape Buffalo, migran dari sabana Afrika itu berteriak lantang. Tersinggung barangkali dengan istilah kumpul kebo yang selalu menjadi kambing hitam bagi persoalan keturunan di kalangan umat manusia.
Yang kemudian meruncing dan memanas adalah ketika rakyat manusia memprotes perilaku para monyet yang sangat tidak menghormati betinanya. Perilaku yang jelas bertentangan dengan budaya rakyat manusia yang sangat menghormati kaum ibunya, neneknya, bibinya. Protes itu jelas memancing reaksi keras dari sekian etnis monyet; Gelada, simpanse, munyuk, lutung, gorilla, bekantan, orangutan, uwa-uwa, dan banyak lagi.
Para binatang mencurigai protes manusia itu berasal dari kesumat mereka karena kemiripan lahiriah sekian persen yang sulit untuk dipungkiri. Sejujurnya manusia memang sangat tak ingin disamakan. Karena jelas, mereka jauh lebih unggul dalam segala hal.
"Dasar manusia! Otak rumit di kepala kecil kalian itu memang sangat licik! Otak binatang kami memang tahunya makan, kawin, dan kelahi saja. Mengapa kalian tak ajari kami untuk bersikap dan menghormati betina-betina kami?" teriak Pongo, primata dari Borneo.
Di bawah ancaman cakar, taring, gadil, gading nan tajam, bisa-bisa mematikan, dan kamuflase para binatang yang sangat memusingkan rakyat manusia, akhirnya mau tak mau mereka pun bersedia memberikan mata pelajaran kepada para binatang. Tidak secara gratis tentunya, namun dengan perjanjian hitam di atas putih, yang menyebutkan jumlah sekian upeti untuk kinerja mulia itu. Manusia tak pernah mau rugi dan terbukti mereka memang spesies unggul yang lihai mengungguli.
Setelah pelajaran diterima diterima dengan baik. Penghargaan pun diberikan. Para binatang yang selama ini tak kenal dihargai menjadi sangat terharu dan mengakui bahwa rakyatnya benar-benar manusia.
"Selamat Datang di Kawasan Bebas Narkoba" Adalah anugerah plakat untuk komunitas simpanse yang pada masa lalunya jauh sebelum berkuasa sebagai pimpinan, pernah bekerja di sirkus keliling. Setelah mendapat pengajaran dari berbagai LSM rakyat manusia, komunitas itu berhasil meninggalkan budaya candu dalam waktu relatif singkat karena kepatuhan memang sudah menjadi sifat dasar para binatang.
"Selamat Datang di Kawasan Anti Menjarah, Maling, Jambret dan Rampok." Plakat itu dianugerahkan kepada komunitas munyuk macaque yang secara lahiriah berhobi mengambil apa saja yang bukan hak miliknya.
"Selamat Datang di Kawasan Industri Berikat." Anugerah berharga itu dikalungkan ke leher Donnie si donkey dan sepupu-sepupunya, Poo si pony, Zee Zee si kuda belang yang sontak memamerkan gigi tonggosnya sambil menyepak-sepak.
Usai semua itu, kini kedua belah pihak merasa equal. Para binatang berjanji akan menjalankan peran sebagai penguasa dengan arif dan bijaksana, mengabdi dan melayani manusia. Dari pihak manusia sebagai rakyat yang bersahaja berjanji untuk tidak lagi menyebut umpatan "dasar binatang" karena menurut para binatang itu terlalu kasar dan menyakiti. Apalagi kedudukannya saat ini adalah sebagai pimpinan yang harus dihormati tinggi-tinggi.
Namun demikian masih ada yang mengganjal, alot dan keukeuh hingga meruncing menjadi polemik. Hanya soalan sepele saja, bila menurut ranah pemikiran cerdas manusia, iatu perkara kotor dan suci. Tak hanya pendidikan formal saja, bahkan kursus-kursus malam hari sepulang para binatang itu berburu materi, sudahpun diadakan akan tetapi para binatang tetap sulit dibuat mengerti. Tak juga difahami padahal jelas benar perbedaannya.
Dasar bina...! Upss, seorang manusia luput mengumpat. Perjanjian tak boleh dilanggar, nanti hilanglah kehormatan. Padahal jengkelnya tak kepalang sebab bebal nian otak para binatang itu.
"Ouh, ini terlalu, wahai manusia, sungguh terlalu, ubahlah yang lebih halus lagi! Kalau tidak, bisa-bisa feminis nanti menangis dan kau dibuikan atas nama pelanggaran HAM," usul Ellyza, gajah betina tua yang bijaksana. Belalainya gemulai, lembut menunjuk pada plakat berbunyi "Selamat Datang di Kawasan Kotor dan A-moral."
"Ini-nih, pasang ini saja," Hennoy si hyena dan Foxy Lady si rubah menyodorkan sebuah plakat yang telah digaruknya dengan cakar bertinta darah dari moncong mereka, lalu terbacalah: "Selamat Datang di Kawasan Pelangi. Yang Sok Suci Dilarang Masuk."
"Aaah, mengapa tak terpikir oleh kami?" seru salah seorang rakyat manusia. "Bagus, bagus! Anda para binatang, benar-benar telah menunjukkan sisi kebijakan yang selama ini tersembunyi dan luput dari penelitian kami."
"Bagaimana sih? Ngakunya punya banyak professor dan ilmuwan?" ejek Mary Meerkat, sepupu jauhnya bajing loncat yang berbulu cokelat.
"Pffuhh, kalian manusia! Alih-alih gengsi mengakui kotor, lantas memoles habis jiwa dan raga yang dipunya. Palsu menjadi asli tapi palsu. Benar disamarkan. Salah dibuat indah agar mata melihatnya sah. Adapun mata hati, segera dibutakan agar tak melulu resah," ejek Chika si Cucakrawa yang terkenal cerewet itu. Cemoohan yang tak gubris rakyat manusia. Atau pura-pura tuli telinganya?
Akhirnya sidang paripurna dan ajang penganugerahan itu bubar dengan satu anggukan nan anggun dari Jerry sang raja jerapah.
Rakyat manusia kini menjadi lebih tertib dalam kepemimpinan para binatang yang sudah lulus ditatar. Sampai pada suatu hari, seorang manusia dari pedalaman yang selamanya tak pernah tahu menahu kehidupan di luar rimbanya, tersesat di sebuah kawasan dengan plakat itu.
"Selamat Datang di Kawasan Pelangi. Yang sok suci dilarang masuk," eja Udik, si manusia udik.
"Berhenti! Apakah anda manusia suci?" tanya Herderdog penjaga kawasan itu.
"Bukan," jawab si Udik diterpa kebingungan. Dia merasa tak suci walau subuh tadi yakin sudah mandi. Namun sepiring nasi goreng, telur ceplok satu butir, dan secangkir kopi, yang diperolehnya dari kedai di tepi hutan, masih bergumul dalam goa lambungnya. Tak lama lagi menu sarapan itu akan mengendap menjadi kotoran yang akan dibawa kemana dia pergi sebelum ususnya mulas isyarat untuk lekas membuangnya.
"Kok tanya suci segala? Memangnya anda juga suci?" balas si manusia udik. Tampak jelas wajahnya tak senang mendapatkan pertanyaan semacam itu.
Si Herderdog mendengus kesal. Pertanyaan barusan terasa sangat menyikat ulu hati. Sudah jelas najis, kok masih ditanya suci. Alih-alih menjawab, Herderdog itu malah melolong. Tapi tak semerdu lolongan Seline Dion. Mungkin kebanyakan bohong.
"Heh, kalau begitu, anda pastilah orang sok suci?" teman si Herderdog namanya Sergeant Stubby ikut bertanya, dengan seringai curiga yang menonjok relung manusia. Tangannya menyodorkan sesobek kertas kecil, menagih retribusi.
Seketika wajah Udik si manusia itu mengapas. Rahangnya mengeras. Sebisa mungkin dia ingin menghindari dusta. Karena manusia telah diajarkan norma dan agama. Itu yang membedakannya dengan para binatang. Suka atau tidak suka para binatang yang kini tengah berkuasa itu mendengarnya. Kalau mau protes, silahkan layangkan surat kepada Tuhan.
Udik si manusia terdiam. Walau bukan orang suci namun dia enggan dikatakan sok suci. Padahal, ya, dalam hatinya berteriak mengakui adakalanya dia memang sok dalam banyak hal. Dia pernah merasa sok jagoan, sok pintar, sok kuat, sok wibawa, pokoknya semua sok-sokan dia pernah lakukannya. Lalu mengapa kalau dia sok suci? Jadi bagaimana ini? Tanpa pikir panjang, si Udik menyodorkan sekian lembar mata uang dan sekerat daging segar yang sangat disukai punggawa para binatang. Korupsi. Pungli. Agar dia mendapat akses masuk kawasan ini.
Jauh di relungnya Udik dihantui penasaran mengapa dipersulit sekedar memasuki sebuah kawasan. Apakah karena tampangnya serupa teroris? Mungkinkah salah mengenakan pelindung kepala? Perlahan Udik meraba kupluk bulat putih yang menutupi rambutnya. Atau karena surai panjang di dagu? Eeiih, itu Simba si singa juga bersurai dan mereka tampak bebas melenggang dalam kawasan. Jadi??
"Oi, regulasi macam apa ini? Aku sudah bayar retribusi. Lagipula, ada apa dengan manusia sok suci? Aku bukan orang sok suci. Aku anak negeri ini. Negeri yang berpuluh tahun nyaman dalam belitan ular korupsi!" mungkin tersengat bisa Scorta si scorpio, tahu-tahu Udik si manusia itu seperti tengah beretorika.
"Ya, sudah, masuk-masuk deh," mengalahlah Sergeant Stubby setelah diam-diam menelan sogokan. Suap memang selalu mustajab bahkan di kerajaan para binatang. Udik si manusia pun takjub. Hal seperti ini tak pernah dia dapati selama kurun waktu hidupnya di pedalaman yang tak terjamah. Tak salah dia mendengar saran para pengunjung kedai.
"Ngomong-ngomong, yang sok suci itu macam manakah, Bung?" tanya si Udik, pasrah saat pergelangannya ditato. Sebuah tera ungu terbaca: "Bukan orang sok suci. Passed."
"Silahkan masuk saja dan tanyakan kepada ramai dalam kawasan," serempak, Herderdog dan Stubby menolak memberikan penjelasan.
Hm, pintar juga penjaga ini. Loh, Herderdog bukannya memang pintar toh? Kalau tak pintar bagaimana mamalia karnivora itu bisa menggiring dan mengatur domba? Dasar manusia yang bodoh. Dan bukankah sudah jelas bila ramai orang dalam kawasan ini akan memiliki jawaban karena mereka sudah dapat dipastikan bukanlah orang-orang yang sok suci alias bukan orang-orang yang berlagak suci alias lagi orang-orang yang jujur pada dirinya sendiri, pada keluarga, anak dan istri, tetangga, juga pada Tuhannya Yang Maha Suci lagi Maha Mengetahui.
Di dalam kawasan Udik si manusia gunung itu disambut laiknya pengiran. Di sana dia menemukan para penghuninya yang unik dan menarik. Ada beberapa manusia lelaki yang tampak kebingungan seperti dirinya. Bertampang kelingsutan dan malu-malu. Mereka ini pasti orang-orang sok suci yang memaksa masuk lantas terjebak di kawasan ini dengan alasan tak pasti. Batin Udik asal menerka.
"Hai, Sayang...," tegur seorang manusia perempuan membuyarkan lamunan, kerlingnya menggoyahkan iman.
Glek! Bola jakun itu menenggak liur dalam terowongan leher si Udik. Manusia perempuan itu cantiknya macam artis di televisi. Darah bajingan si manusia gunung sontak meletup-letup. Dia mendelik melihat tangan berkuku merah runcing itu merogoh susu lalu memamerkannya tanpa kehilangan muka.
"Silahkaaan...," tawarnya dengan riang. Entah dengan lubuknya di dalam. Adakah keriangan ataukah kehinaan.
Udik, si manusia gunung ingin segera menyambutnya karena merasa sudah bayar di muka, cash, walau tersedia mesin penggesek berbagai jenis kartu di meja jaruman. Lagipula dengan nalurinya dia sangat tahu kelezatan susu yang bernilai gizi tinggi itu. Tapi tidak. Dia tidak menuruti libido yang melolong sengau. Sumpah mati bukan pula karena nafsu binatangnya meloyo. Mungkin karena dialah sok suci sejati. Udik hanya tertegun. Sekelebat di matanya membayang wajah seorang manusia perempuan yang lain. Yang wajahnya polos. Berpupur tak. Bergincu tak. Bercelak tak. Parfumnya beraroma keringat sedap. Tapi susunya sangat kenyal dan nikmat. Inang! Wajah itu Udik punya inang! Dari manusia perempuan itulah dia terlahir. Tumbuh besar menetek sari tubuhnya. Air susu inang.
Dalam kejap, bukit silicon itu tak menarik lagi. Betapapun fenomenalnya kelezatan yang coba mereka jajakan, para manusia perempuan itu. Oi, belum cukupkah gedung-gedung itu, dari yang kelas teri hingga yang berkolam jaccuzi, hingga harus diadakan kawasan ini? Udik sulit dibuat mengerti.
"Dasar sok suci! Bagaimana manusia macam kau bisa masuk kawasan ini! Manusia sok suci dilarang masuk sini!" manusia perempuan itu menjerit histeris. Lalu meludah. Kemudian meninggalkan si manusia gunung untuk berpindah ke dalam kehangatan setelan safari seorang manusia lelaki yang lain. Yang sosoknya sangat menegaskan dari kalangan terhormat dan berpendidikan tinggi. Namun tidak sok suci seperti dirinya yang udik itu.
"Pengecut! Letoy!"
Ya-ya, aku memang pengecut. Aku terlalu takut pada marka-marka yang sejak jaman purba telah disampaikanNya. Tapi letoy? Si Udik nyaris gila dikatai letoy. Jima? Mengadu jiwa dan raga? Enak saja. Udik tak terima. Kerna dia merasa sudah sangat tahu pakemnya. Paham benar nikmat rasanya. Dan rasa kewalahan saat harus menahan nafsu binatang itu. Tapi yaa, aku memang pengecut seperti kau katakan. Sangat pengecut untuk sekedar menyesap sensasi yang konon super berbeda saat bersama istri yang kau gauli dengan persaksian para malaikat.
"Pergi kau banci! Dasar cemen!"
Udik bergegas pergi. Tapi setiap pintu yang dia sambangi semuanya memasang tariff dan sticker bernada peringatan serupa: "Orang Sok Suci Dilarang Masuk". Ketukan demi ketukannya disambut dengan semua maki. Segala caci.
"Munafik!" teriak salah seorang penghuni yang gagal menjajakan buhul pinggul.
"Dasar sok alim!" begitu jeritnya, saat dua pahanya bahkan ia gratiskan. Tak perlu tip.
"Dasar manung! Manusia gunung tak tahu malu! Sudah putus barangkali urat malu dia itu!"
Benar. Aku memang tak tahu malu. Berkhotbah di depan ramai yang tak kenal rasa malu. Seperti para binatang yang memang tak ditakdirkan dengan rasa malu. Udik "Si Manung" tak habis pikir. Semua bea dia bayar tunai. Mengapa masih pula dipandang najis seperti pengemis hina? Apa salahnya memasuki kawasan ini tanpa membeli? Aku kemari untuk mencari adik perempuanku. Dia masih esempe tapi menghilang karena jiwa mudanya yang labil tergiur uang yang bisa diperolehnya dengan sangat mudah. Tak perlu pintar. Tak perlu kerja keras. Lumayan cantik. Cukup merangsang. Nanti dilatih goyang-goyang dan mengangkang. Itu semua cukuplah. Begitu bunyi penawarannya yang marak di semua media social.
"Adikmu mungkin sedang mentraktir gengnya di sebuah restoran cepat saji sambil berselfie," ujar seseorang yang nampak sangat kesepian. Menua menjadikannya jauh dari pelanggan. Entah apa yang membuatnya bertahan di kawasan. Dan mengapa pula Tuhan tak menyeretnya saja ke pengajian?
"Siapa?"
"Aku mencari kakak perempuanku yang gagal memendam rindu pada produk-produk ternama dari designer kondang. Lalu hilang akal saat ditawarkan sekarung uang dalam waktu tak berkurun. Konon di kawasan ini ia dapat kutemukan," Udik menjelaskan.
"Kau bukan hendak membeli tapi sekedar mencari? Siapa yang kau cari?"
"Aku mencari tetanggaku, ibu si Amin, ibu si Bunga. Aku juga mencari budeku, bibiku, keponakan perempuanku, dan semua kerabatku yang sangat dimuliakan derajatnya oleh Sang Pencipta namun dengan berbagai alasan memilih tinggal di kawasan ini. Yang paling klasik adalah alasan penghasilan demi kehidupan yang butuh ditunjang. Untuk apa akal dan kesihatan kalau tak digunakan untuk berupaya sekuat tenaga? Tak ada kerja dan lahan hanyalah ragam alasan dibalik keengganan bermandi keringat halal. Dan kalau benar tak ada kerja, tak ada lahan, mintalah pada para raja karena kewajiban mereka untuk mengupayakan kesejahteraan kalian," si Udik kumat, mulutnya berbuih-buih lontarkan kalimat yang dia percayai penuh azimat.
"Tangkap orang sok suci itu!"
"Kaparkan orang sok benar itu!"
"Bungkam orang sok religius itu!"
Dan si Udik pun dikaparkan sekelompok penjaga. Digebukin karena berlaku sok suci di kawasan yang nyata telah direstui petinggi. Dijadikan sasak karena sok menjaga martabat lelaki.
Ah, harusnya sejak awal aku mengaku sebagai orang sok suci. Dalam lelehan darah yang menyungai dari mulut dan hidung, si Udik lirih bergumam. Ya, dan akupun terhindar dari ketupat bangkahulu yang meninggalkan jejak ngilu-ngilu. Ugh! Aku memang sok! Sok jagoan karena berani-beraninya memasuki kawasan ini. Kawasan khusus orang-orang yang menjunjung kejujuran.
Baiklah aku pergi. Udik memutuskan. Kawasan ini sama sekali tidak menghormati pikiran dan keinginanku untuk menjadi bukan seperti mereka. Kawasan yang dilindungi bedil, arit, dan undang-undang ini tegas mengatakan tak ingin menghargai keinginanku untuk tidak menjadi serakah pada banyak kenikmatan yang sudah kurambah. Begitu banyak nikmat itu hingga sampai detik ini belum seorang professor pun sanggup mengeluarkan rincian. Mereka tidak punya rasa hormat padaku yang berpenderian bahwa jiwa raga yang kupinjam ini kelak harus kusidangkan, kupresentasikan, kupertanggungjawabkan dihadapan majelis sidang dengan hakim tertinggi Yang Maha Suci. Nanti. Saat para penguasa bumi dipermalukan karena telah ingkar janji. Lalai menyediakan ladang agar umat bisa menuai dan tidak menjajakan diri yang sejatinya tak boleh dijual-gadaikan dengan alasan apapun karena ciptaanNya sungguh bernilai dan diperuntukkan hanya kepada mahluk berakal budi pekerti, berderajat tinggi dan sangat Dia kasihi hingga semua mahluk pun, dari jajaran para malaikat hingga dedemit dan binatang merayap, difirmankan untuk tunduk menghormati.
Udik si manusia gunung, batinnya sakit memerih, tercenung dalam kebuntuan akal sehatnya, dalam ketidakmengertiannya nan tak berkunjung. Merasa diri tak ubahnya para binatang yang tak beranugerah pikir. Sungguh ini suatu masa yang aneh. Ganjil dan nyeleneh.
Maka kembalilah si manusia gunung itu kepada kehampaan gurun dan kesenyapan sabana, kembali menuju kepekatan rimba, dengan hanya bola bundar besar di angkasa dan kelip kekunang saja asal cahaya. Kembali melukis dinding-dinding gersang gua. Berbaju tak. Bercawat kulit dahan oak. Menatap kosong hamparan langit dan mereka-reka tentangnya. Ia kembali pada suatu masa ketika bumi berotasi pada porosnya dengan kecepatan biasa dan kebodohan menjadi naungan manusia??
-o0o-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H