Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Artikel Utama

Di Sebuah Kawasan

20 Mei 2015   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432108944645664004

Dan si Udik pun dikaparkan sekelompok penjaga. Digebukin karena berlaku sok suci di kawasan yang nyata telah direstui petinggi. Dijadikan sasak karena sok menjaga martabat lelaki.

Ah, harusnya sejak awal aku mengaku sebagai orang sok suci. Dalam lelehan darah yang menyungai dari mulut dan hidung, si Udik lirih bergumam. Ya, dan akupun terhindar dari ketupat bangkahulu yang meninggalkan jejak ngilu-ngilu. Ugh! Aku memang sok! Sok jagoan karena berani-beraninya memasuki kawasan ini. Kawasan khusus orang-orang yang menjunjung kejujuran.

Baiklah aku pergi. Udik memutuskan. Kawasan ini sama sekali tidak menghormati pikiran dan keinginanku untuk menjadi bukan seperti mereka. Kawasan yang dilindungi bedil, arit, dan undang-undang ini tegas mengatakan tak ingin menghargai keinginanku untuk tidak menjadi serakah pada banyak kenikmatan yang sudah kurambah. Begitu banyak nikmat itu hingga sampai detik ini belum seorang professor pun sanggup mengeluarkan rincian. Mereka tidak punya rasa hormat padaku yang berpenderian bahwa jiwa raga yang kupinjam ini kelak harus kusidangkan, kupresentasikan, kupertanggungjawabkan dihadapan majelis sidang dengan hakim tertinggi Yang Maha Suci. Nanti. Saat para penguasa bumi dipermalukan karena telah ingkar janji. Lalai menyediakan ladang agar umat bisa menuai dan tidak menjajakan diri yang sejatinya tak boleh dijual-gadaikan dengan alasan apapun karena ciptaanNya sungguh bernilai dan diperuntukkan hanya kepada mahluk berakal budi pekerti, berderajat tinggi dan sangat Dia kasihi hingga semua mahluk pun, dari jajaran para malaikat hingga dedemit dan binatang merayap, difirmankan untuk tunduk menghormati.

Udik si manusia gunung, batinnya sakit memerih, tercenung dalam kebuntuan akal sehatnya, dalam ketidakmengertiannya nan tak berkunjung. Merasa diri tak ubahnya para binatang yang tak beranugerah pikir. Sungguh ini suatu masa yang aneh. Ganjil dan nyeleneh.

Maka kembalilah si manusia gunung itu kepada kehampaan gurun dan kesenyapan sabana, kembali menuju kepekatan rimba, dengan hanya bola bundar besar di angkasa dan kelip kekunang saja asal cahaya. Kembali melukis dinding-dinding gersang gua. Berbaju tak. Bercawat kulit dahan oak. Menatap kosong hamparan langit dan mereka-reka tentangnya. Ia kembali pada suatu masa ketika bumi berotasi pada porosnya dengan kecepatan biasa dan kebodohan menjadi naungan manusia??


-o0o-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun