“Maksudnya koper orang yang terbawa situ, gitu?” Tijah bertanya tidak sok lugu.
“Itu kopor-kopor saya juga, tapi isinya penuh narkoba, hehe,” si rambut jagung pamer giginya yang sekuning rambutnya.
“Haduh biyung, yo jelas di bui, lah wong itukan barang haram,” tukas Tijah.
“Granny mau coba saya punya narkoba?” tawar riang si rambut jagung kepada Tijah.
“Terima kasih, nyah londo, simbah ngga usah dikasih begituan juga sebentar lagi tidur panjang, selama-lamanya,” dan Tijah pun berlalu.
Lambat-laun kurungan ini memberinya banyak cerita. Kisah-kisah yang menggugah atau yang membuatnya ingin muntah diperoleh Tijah dari anjangsana ke tiap kurungan atau di sela waktu makan, istirahat, senam pagi, atau kapan saja ia bertegur sapa dengan penghuni bangunan yang konon bertembok beton dan mustahil dibobol. Mungkin Tijah perlu berterima kasih kepada kerentaannya, hingga sipir penjara pun memberinya kebebasan lebih dibanding tahanan lain, dengan pertimbanganusia dan kesehatan Tijah yang dianggap tak akan mungkin melarikan diri.
“Suami saya selingkuh, Mbah, saya cemburu dan samber nggelap terus membunuhnya,” aku si napi tanpa pretensi sewaktu ditanya Tijah.
“Gusti, gusti,” Tijah tergugu, tak pernah bermimpi akan sebuah ‘hotel’ berpagar baja berpenjaga serupa buta, dan berkesempatan bertatap muka, bincang-bincang bersama bermacam wanita dengan ragam permasalahannya. Siapa nyana di usia senja bertambah teman, tak hanya melulu tetangga kiri kanan, pedagang di pasar dan sato kewan di tengah alas roban .
“Suruh anakmu kasih uang tebusan biar simbah lekas keluar dari neraka ini,” saran seorang napi.
“Simbah ngga pernah menganggap ini serupa neraka, simbah sudah pernah merasakan yang lebih daripada kurungan ini. Malahan di sini simbah dijaga, ngga takut disamperin macan kumbang, babi hutan, dan lain-lainnya. Di sini simbah makan dengan rutin, ngga perlu nempur raskin, ngga perlu ngupas singkong, ngga perlu ngalas, capek itu, Nduk. Lagipula si Kuntarsih itu hanya dagang sayur-mayur, uang darimana? Biarlah simbah di sini untuk sementara biar anak cucu ngga bingung ngempanin simbah,” urai Tiijah tanpa air mata berurai.
“Tapi kan malu, Mbah, sudah tuwek dikerangkeng seperti kethek ogleng.”