“Simbah mau ngga saya kasih uang?”
“Bilang mau, Mbah! Jeng Yani itu uangnya buanyaak sekali, tujuh turunan ngga akan habis!” perempuan-perempuan itu berlomba mengompori Tijah, atau cari muka di depan napi cantik yang dipanggil Jeng Yani?
“Matur suwun, tapi tidaklah, lah wong itukan duwit haram, Nduk. Kembalikan saja kepada rakyat,” ujar Tijah.
“Kok enak men dibalikin, nanti kalau saya keluar dari penjara, saya ngga punya uang dong, Mbah?” napi yang dipanggil Jeng Yani cemberut.
“Sampeyan kenapa kok dihukum?” Tijah tak lagi menggubris Jeng Yani, perhatiannya teralih kepada tahanan lain, seorang perempuan yang nampak normal dan berwajah penuh welas asih. Darinya Tijah berharap mendengar cerita yang sama dengan dirinya, tentang ketidakadilan.
“Saya merogol, Mbah,” terang si napi kalem. “Cah wedhok cilik-cilik yang mau saya rayu dengan permen kojek. Wedhokan yang lebih gede, remaja gitu, saya rayu dengan ponsel dan uang.”
“Gusti! Itu dosa besar, apa sampeyan ngga takut dosa? Jaman edan,” Tijah terperangah dengan keterus-terangan yang tidak biasa itu.
“Jangan takut, Mbah, saya ngga doyan kulit kendor, keriput dan bau minyak nyong-nyong,” si napi berkata. “Jaman edan opo, Mbah, ini jaman modern, abad 21, selera sudah mengglobalisasi.”
Mungkin jengah dengan polah hina si tahanan, mata tua Tijah terpikat pada perempuan berambut jagung. Berjalanlah ia terbungkuk-bungkuk menghampiri tahanan dengan kecantikan Eropa.
“Wong ayu, sampeyan kenapa masuk penjara,” tanya Tijah.
“Saya mau mudik ke negara saya, tapi saya salah bawa kopor, Granny,” si rambut jagung menjawab.