Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hotel Impian Tijah

31 Maret 2015   15:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak yang mengatakan, menua menuai keuntungan. Didahulukan, dihormati, dimudahkan dari banyak hal termasuk merdeka dari banyak kewajiban. Namun Tijah tak menemukan itu di sini. Mungkin latar belakang kehidupan mereka yang keras telah menggilas semua welas dan tata krama. Tijah pun bertanya dalam hati, sekeras apakah itu hingga sanggup melumatkan empati? Adakah yang lebih keras dari kehidupan yang telah ia jalani sampai saat ini?

“Simbah tidak mencuri, Nduk,” sambil mengusap airmata yang meleleh spontan, Tijah berusaha menerangkan, ”tak tahu mengapa tiba-tiba simbah dituduh mencuri. Puluhan tahun simbah memungut dahan, ranting, kekayu kering, tak pernah ada masalah. Kayu-kayu kering itu dari pohon yang roboh karena lapuk atau jatuh sendiri karena angin, mungkin juga ada orang yang menebang tapi terlupa membawanya,” terang Tijah.

Tijah tak pernah tahu ada konversi minyak tanah ke gas. Ia tahunya pabrik latung sudah suwung. Konon nama Tijah sudah didaftar namun saat pembagiannya janda tua itu sedang tidak di tempat, menjenguk Kuntarsih, anaknya yang tengah mencoba peruntungannya sebagai penjual sayur-mayur di daerah Kandanghaur.

Jadi hanya Tuhan dan pemalsu tanda tangan Tijah saja yang tahu kemana raibnya tabung dan gas yang sejatinya menjadi hak milik Tijah. Kuntoro, cucu Tijah, bukannya tak pernah mencoba bertanya, namun RT dan jajaran pengurusnya yang terhormat lantas sibuk berbising, walau sempat saling tuding namun tak sempat keluarkan kata anjing. Daripada terus bertelikung tak ada untung, Kuntoro berhenti mutung, namun tanpa sepengetahuan ibu apalagi neneknya, lelaki itu menerima penggantian berupa dua bungkus kretek yang disembunyikannya di balik sarung.

“Nah itu dedaun jati, simbah mencurinya kan?” tuding napi lain.

“Owalah, Nduk. Simbah bruwun ron jati itu juga sudah sejak jaman cindhil abang. Daun jati itu simbah sengget pakai galah, tapi itupun ngga pernah bermasalah, lagipula alas roban itukan punya pemerintah lah katanya abdning tiyang alit, mosok simbah ngga boleh minta sedikit?” Tijah membela dirinya.

“Memang daun jati itu buat apa, Mbah?”

Dingge mbungkus aren, sedangkan daun jati yang masih basah, ijo royo-royo, untuk membungkus sega mugana,” Tijah memaparkan lebih jauh.

“Pakai daun pisang kan bisa, memang harus daun jati?”

“Harus itu, Nduk, selain daun jati lebih lebar juga agar supaya rasanya lebih resep-sedep,” Tijah lantas bertanya dalam hati kemana perginya orang-orang yang suka memesan sega mugana –nasi kepal nangka muda yang dikukus bersama bumbu pedas dan parutan kelapa– setelah dirinya terkurung di sini.

“Bagaimana dengan daun lompong? Itukan lebar juga.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun