“Sugeng rawuh, Mbah, selamat datang di hotel,” ucapan itu disusul tawa meriah, ada yang mengakak, yang lain mengikik, dan senyum mencibir menyambut kedatangan Tijah. Orang memang cenderung bersorak atas kemalangan orang lain.
Kartijah tua berjalan terhuyung walau telah didukung. Pergelangan tangannya yang kurus keriput nampak kepayahan menanggung beban gelang bukan emas sekian karat namun rantai besi berkarat. Kain dan kebaya lusuhnya pasti telah dilipat, disimpan rapat hingga tahun kabisat. Tijah bertukar dengan baju baru, celana panjang dan kemeja yang kedodoran, dalam warna jingga menyilaukan. Permohonannya agar tudung boleh tetap menutupi kepalanya, dikabulkan hakim, mungkin berdasar iba pada rambut putih yang tinggal beberapa helai, diukel menjadi cepol yang tak aduhai .
“Bukan hotel seperti ini sebenarnya yang simbah mau,” sahut Tijah dengan senyum getir.
“Ini juga hotel, Mbah,” celetuk seorang tahanan. “Hotel prodeo namanya.”
“Berapa tahun, Mbah?” tanya seorang napiwati berparfum aroma melati.
“Kurang lebih enampuluh lima tahun, Nduk,” Tijah memaksakan senyum ramah di lingkungan yang berselubung atmosfer gerah, nyata tidak sumringah.
“Maksud saya berapa tahun masa hukuman simbah karena tuduhan mencuri kayu jati itu?” si napiwati cantik berkulit putih bersih mengulum senyum geli. Dasar nenek-nenek, umpatnya dalam hati.
“Eh, takira panjenengan ini bertanya umur saya,” Tijah memamerkan kejarangan gigi-geliginya. “Lima tahun kalau tak berubah.”
“Hmm, tak beda jauh dengan saya kalau begitu,” napiwati cantik itu menukas.
“Lima tahun juga ukumanmu tho, Nduk? Kamu cantik dan tampak seperti bendara yang banyak duit, memangnya mencuri apa?” Tijah heran melihat kesia-siaan yang tersampir pada tetangga barunya itu. Dengan segala kelebihan yang bahkan tak pernah dimiliki Tijah semasa muda, mengapa perempuan ini nekat melanggar hukum?
“Bagaimana dengan simbah sendiri, sudah bau tanah, tinggal matinya kok ya masih mencuri juga?” napiwati cantik sedikit tersentil.