Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Hotel Impian Tijah

31 Maret 2015   15:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


“Sidang pengadilan negeri nan adil ini, memeriksa perkara pidana nomor sekian, atas nama terdakwa Kartijah, pada hari ini, tanggal sekian, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”, sambil mengetuk palu sebanyak 3x, tuan hakim ketua membuka sidang.

Ketuk palu itu bagai gelegar petir yang tumbangkan pokok-pokok jati meranggas di hutan panas. Tijah tertunduk antara malu dan bingung. Mata rabunnya bergulir kanan kiri, namun tiada kerabat, anak dan cucu dijumpai, hanya penampakan seram dari para pria berjubah hitam yang tak satupun dikenal Tijah, nama apalagi pangkat.

“Apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa?” hakim ketua kembali bertanya.

Pangestunipun, Pak Hakim, saya sehat,” Tijah menjawab. “Nggih, leres, saya Kartijah, umur kurang lebihnya 65 tahun, gubuk saya beralamat di Grumbul Alaspogpogan.”

Hakim segera menenangkan beberapa pengunjung sidang yang tak kuasa menahan –dan entah apa yang membuat mereka mengeluarkan suara– tawa.

“Saudara didakwa mencuri gelondongan kayu jati pada hari Rabu Legi!”

“Itu tidak benar. Saya berkata jujur, Pak Hakim, saestu, panjenengan itukan wakil Tuhan di dunia, tak mungkin saya berani berbohong, takut nanti kuwalat. Lagipula manalah saya sanggup menggotong atau menyeret kayu jati gelondongan itu,” titik-titik airmata menggenang di sudut keriput mata Tijah.

Tijah sungguh tak mengerti bagaimana kayu jati yang sudah ada sejak mendiang suaminya masih hidup itu sekonyong-konyong menjadi sebab perkara. Jumlahnya sekitar lima gelondong, diam membujur di pekarangan rumahnya, dimana bagian terbawahnya bahkan nampak sudah menyatu dengan tanah karena tak terusik dalam kurun waktu lama. Tak terpikir sekalipun menjadikannya bahan bakar pawon karena hanya jati itu saja peninggalan Kang Timan, kayu yang bahkan Tijah sendiri tak tahu kapan dan bagaimana Sutiman dulu memperolehnya.

“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa…” dan ketuk palu hari itu tak kenal hiba pada sepasang mata tua yang tergenang airmata, teguh memutuskan bahwa Tijah harus mendekam di penjara atas dakwaan mencuri kayu jati yang berharga tinggi.

Selamanya Tijah tak pernah bermimpi. Hidup separuh abad lebih telah dijalani apa adanya. Sederhana dan bersahaja. Subuh ia berangkat ke pasar demi upah mengupas singkong, bawang atau jagung yang akan ditukar dengan seliter raskin. Sorenya sambil menyusuri setapak berpagar rimbun pepohonan, ia mengumpulkan ranting, dahan, dan kekayu kering. Jikalau waktu masih memberinya keluangan, ia ke tetangga, berharap ada yang membutuhkan tenaga rentanya, kalau tidak ia akan tertatih mendaki bukit kecil mengalap pelbagai daun yang bisa diolahnya sebagai pendamping nasi. Namun suatu hari –dari gambar-gambar di koran dan majalah, dagangan milik Kuntoro, cucunya– Tijah mendadak punya mimpi. Sebuah hotel impian lantas menjadi serum pemberi kekuatan baru yang sulit bagi siapapun untuk halangi bahkan diri Tijah sendiri. Nenek itupun berupaya lebih keras lagi agar terkumpul sekian rupiah bergambar pria-pria berkopiah, para pendiri negeri ini.

Seperti berpuluh tahun yang telah menjadi kebiasaannya, hari itu Tijah ngalas. Teriknya siang terhalang dedaun jati nan lebar memayung, Tijah baru pun hendak memanggul ‘harta’ yang dihadiahkan alam kepadanya –reranting, dahan, daun-daun, dan sekantung kecil dhuwet yang dikumpulkannya dari lantai hutan– ketika tuan sinder yang didampingi dua mantri hutannya datang mencokok hingga mata kakinya terpelecok. Dan Tijah pun shok, pasrah manakala pentungan dan dorongan menjebloskan dirinya ke dalam kurungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun