Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lingkaran Belis

25 Februari 2015   05:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Darsiti.

Mungkin hanya Dar yang pantas disebut pembantu teladan. Berpenampilan agak misterius tapi ia tak seperti pembantu kebanyakan yang acap mengeluhkan gaji, banyaknya pekerjaan dan suka curi-curi waktu bermalas-malasan. Ia juga tak pernah membicarakan keburukan majikan, ga rempong kata Alay. Pendek kata Dar adalah tipikal pembantu idaman para majikan walaupun karena itu boleh jadi ia telah kehilangan identitas dirinya, tapi bukankah selalu ada resiko dari pekerjaan yang dilakoni?

Dar sangat tekun bekerja, ia hanya akan mengangkat kepalanya ketika dipanggil, seterusnya kepala berkuncir buntut kuda itu akan tertunduk menekuni pekerjaannya. Mulut Dar hanya akan terbuka ketika ditanya, sesudahnya katup bibir mungil itu terus tertutup rapat bahkan saat mengunyah makanannya pun tak tampak membuka, entahlah bilaku silap mata. Dar tak pernah tidur siang, katanya ia tak biasa, begitu yang kudengar saat ditanya nyonya majikan yang dipanggilnya Nyonya Ibu dan akupun mengekor panggilan itu, habis bingung mau panggil apa. Sesiangan ada saja yang ia kerjakan. Namun usai corong musholla di dekat rumah berteriak waktunya shalat Isya, kurasa sekitar jam tujuh-an lewat sekian menit, Dar akan mengunci pintu kamarnya di ruang belakang berdampingan dengan kamar yang pintunya digerendel dari luar dengan sebuah gembok. Gembok buto demikian kusebut karena ukurannya jumbo. Kamar Dar hanya terang sesaat, lalu gelap seketika. Adakah ia segera beristirahat dalam senyap, melarung penat dalam lelap? Siapa yang tahu, tapi begitulah yang telah terjadi sejak hari pertama ia datang ke rumah ini bersama seorang wanita yang mengaku sebagai penyalur pembantu mandiri bukan dari PT. Itu sepuluh tahun yang lalu, umur Dar baru sepuluh di bulan ke sepuluh. Nyonya Ibu selalu mengatakan tak akan pernah lupa sosok bocah perempuan yang buah dadanya masih sebesar bluluk tersembunyi di balik longdres biru buluk. Dan bagi Nyonya Ibu, pengabdian sepuluh tahun itu sungguh nyaris tanpa cela andai tak datang keputusan Dar yang amat mendadak dan tanpa alasan pasti. Dar minta berhenti.

"Coba jelaskan sejujurnya Dar. Ibu janji tak akan marah, kecewa atau sedih mendengarnya. Ibu ingin tahu saja mengapa kau tiba-tiba ingin berhenti. Kau itu kan sudah Ibu anggap keluarga toh?"

Nyonya Ibu terlihat menelan ludah saat bujuk rayunya itu tak mengguncang keteguhan hati Dar. Pandang matanya segera beralih pada Sandy, pemuda kosmo yang amat berpenampilan. Lalu dengan isyarat mata Nyonya Ibu memohon bantuan pada putra tertuanya itu. Tapi mata Sandy lekat pada I-phonenya. Tak ingin mendapatkan tatapan mata yang sama, Windy, si putri kedua, berpura menekuni smartphone-nya. Sedang Cindy, sejak awal telah menyibukkan diri dengan Al Caphone, Malamute separuh serigala yang tak pernah akur denganku, grrr, grrr, selalu menggeram galak bila mata kelabunya itunya melihatku, tantangan kelahi yang mustahil dimenangkannya. Mungkin anjing bodoh itu geram karena tak pernah berhasil meraih kepalaku yang pasti dikiranya bola. Weekk! aku meleletkan lidahku yang jelas kalah panjangnya. Dan anjing itu segera membalas dengan lolongan khas saudara sepupunya.

Bila hati Nyonya Ibu sangat terluka dengan kepergian Dar. Aku lebih menanggung perih mendalam. Aku benar-benar sangat kehilangan Dar. Dan sepi yang telah lama mengelilingi kian pun memerangkapku di sini. Takkan ada lagi yang bisa kuperhatikan di rumah ini, mondar-mandir tak henti kerjakan itu-ini. Selain Dar, tak ada yang asyik, karena semua penghuni bergiat diri mengejar pelariannya masing-masing. Suami Nyonya Ibu sesekali saja muncul di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan di luaran. Yang kudengar pria flamboyan itu perempuannya banyak. Tak peduli anaknya juga perempuan. Padahal karma bisa saja ada. Sedang Nyonya Ibu yang dikenal berhati baik sibuk pergi mengaji ke majelis sana-sini. Entah upaya membutakan hati pada suami yang tua-tua keladi ataukah itu wujud pelariannya dari ketiga anak dewasa manja yang gagal dikelolanya. Meski pada akhirnya Dar pun turut berlomba menemukan pelariannya. Namun entah kemana ia kini tengah berlari. Manusia memang selalu butuh pelarian. Bukankah pelarian membuat manusia tak kesepian? Karena manusia sangatlah takut sepi. Terutama sepi membujur sendiri di kediaman abadi.

Belum genap sebulan masa magangnya, Marwati, si pembantu baru, sudah memecahkan rekor yang tak pernah dicapai Dar. Rangkaian anggrek yang terbuat dari pualam Tiongkok, hiasan rumah yang paling disukai Nyonya Ibu, kini menjadi barang antik yang tak laku dimusiumkan. Aku penasaran apakah mahakarya desainer ternama itu masih laku ditukar dengan sebuah gelas belimbing dari Tukang Beling?

"Duuh, hati-hati ya Mar?" Nyonya Ibu lembut menegur. "Bagaimana kalau tanganmu terluka? Kan nanti ngga bisa kerja?" lanjutnya dengan kekhawatiran yang tulus. Majikan lain mungkin akan segera mendeportasi Mar ke kampungnya saat itu juga. Tampaknya Nyonya Ibu tak ambil pusing dengan kehancuran porselen itu. Kehilangan Dar masih disayangkannya daripada sebuah benda kesayangan. Tapi tidak demikian dengan para tuan muda yang kerap mengomel apa saja yang bisa diperkarakan.

"Waktu ada Dar ngga ada debu sesentipun!" begitu jeritan Windy saban hari. Sedang Cindy tak henti mengeluhkan sprei yang telat diganti, harus seminggu dua kali atau lengkingannya akan mengundang tetangga bersomasi. Sementara Sandy tak mau kalah hanya dengan tiga oktaf saja, pemuda itu terus menuntut cubic-food dua pintu di kamarnya tak boleh kosong dari minuman berkarbonasi. Berharap mati muda rupanya, aku menduga.

Lalu suami Ibu yang dipanggil Tuan Bapak oleh Mar, ikut menyumbang suara. Masakan Mar selalu diserupakan paluh, kubangan kerbau. Aku kerap bertanya apakah Tuan Bapak pernah menyecap paluh hingga tahu macam mana rasanya? Di penghujung kekacauan, Nyonya Ibu selalu tampil sebagai morfin yang menenangkan. Hanya sementara karena keributan itu tak kenal final. Namun Nyonya Ibu tak bosan mengingatkan agar masing-masing menahan diri dan mengajak untuk terus bersyukur dengan kehadiran Mar yang tenaganya banyak dibutuhkan untuk membantu pekerjaan di rumah besar ini.

Aku tertawa. Auh, auh, adalah mustahil berharap Mar bisa meniru Dar, sebab keduanya sangatlah berbeda kepribadian. Lihatlah hari-hari si Mar yang semarak dengan caci maki tiada henti. Tapi rumah jadi terasa lebih hidup, tak seperti dulu bersama Dar yang super irit bicara. Mar bukan Dar yang akan tunduk menyembah benar atau salah. Bila merasa benar, Mar sangat vokal, berani membela apa saja yang dianggapnya kebenaran. Bila salahpun, alih-alih mengakui atau minta maaf, perempuan berkulit sawo kematangan itu tetap akan bersilat lidah, tak mau kalah.

“Mestinya mulut ember si Mar itu disumpal dengan sarang lebah!” Sandy mendengus kesal.

“Atau sekalian saja dijejali dengan tong sampah!” timpal Windy gemas.

“Paling pas kalau mulutnya itu dicekok dengan pembalut bekas mensku!” sahut Cindy ganas.

Lalu suatu hari, tak jelas siapa yang memercik api, terdengar kegaduhan luar biasa. Mungkin si Mar telah menelan TOA masjid, bicaranya keras sekali, mulutnya mencuat sekian senti. Yang membuatku senang adalah saat melihat Mar berpose garang, tangan kacak pinggang dan sepasang kaki yang tampak siap menendang. Telunjuk yang biasa dipakai mencolek belacan, kini mengarah kaku pada para majikannya. Hihihi, Mar, beraninya kau itu!

“Ada apa ini Mar?” tergopoh Nyonya Ibu datang. Jari lentiknya tak henti menggulir biji tasbih. Selain baik hati, kesan salih juga menjadi citra wanita anggun bersanggul ini.

“Bu, Ibu!” nafas Mar terengah-engah. “Kelewatan sekali anak-anak Nyonya Ibu ini. Hanya karena salah sedikit, caci maki mereka melejit setinggi Merapi,” sambung Mar berapi-api.

“Mar!”

Itu suara terkeras yang pernah kudengar dari Nyonya Ibu selama ini. Bahkan ketiga anaknya pun serempak menoleh tak percaya.

Sambil menyeringai jijik, tangan Sandy beringas hendak menampar Mar. Malangnya si Sandy, tangan halusnya itu hanya melukai angin, karena Mar tak sedungu Dar yang diam mematung menampung segala macam bentuk qishash.

“Yiha, akhirnya hari ini tibalah! Hari yang sudah saya tunggu-tunggu!” jerit Mar seraya berkelit dari tamparan sengit Sandy yang pastikan terasa pahit. “Sekarang tiba saatnya saya buka topeng kamu!” telunjuk Mar menuding ke wajah Sandy, rahang bagusnya itu tengah naik turun dengan warna besi-tembaga. “Kamu juga! Dan kamu!” bergantian telunjuk Mar mengarah pada Windy dan Cindy, bahkan Tuan Bapak pun ikut dituding-tudingnya.

Wajah Nyonya Ibu seputih kembang klungsu. “Kau sangat tidak sopan, Mar. Kau jauh dari yang dijanjikan,” bibir merahnya bergetar hebat. Aku senang melihat huru-hara ini. Pasti akan lebih seru dari drama yang diatur-atur, aku bertaruh.

“Ibu mah terlalu naif, terlalu mudah ditipu agen penyalur pembantu yang memangnya terlatih untuk bermulut manis, Buuu!” Mar menjawab tanpa dosa. “Apakah Ibu masih tidak sadar telah dibodohi sales-sales itu, tahu ngga Bu, mereka itu hanya jualan janji saja. Sama seperti semua pemimpin negeri ini. Janji, janji, siapa beli, hihihi, lah kok ngelantur ya saya?” terkikik Mar menyadari ucapan ngawurnya. Tingkahnya tampak seperti orang berlebih bahagia, atau tengah menggila sesaat?

“Ibarat mayapada dan nirwana, kau dan si Dar itu,” cetus Nyonya Ibu. “Sangat tak sebanding! Tak seujung kuku pun!” tandasnya.

“Lah, ya tentu saja dong, Bu! Semisal dilahirkan kembar dengannya pun tak maulah saya disamakan,” Mar semakin berani. Seisi rumah kian melongo. Mereka mungkin mengira Mar telah kesurupan. Aku tepuk tangan, suka cita melihat para aktris reality show ini.

Sandy beranjak menghalangi niat Cindy melempar sendalnya. “Jangan dulu Cin, kita lihat mau sampai dimana ulah pembantu kumuh ini!” tukas Sandy.

Merasa diberi keleluasaan Mar tak gentar mengumbar. “Hingga laut digulung, bumi dibelahpun Nyonya Ibu selamanya tak akan menjumpai seseorang macam si Darsiti bodoh itu. Dan kalau bukan karena Dar, saya pun tak sudi jejakkan kaki di rumah terkutuk ini!”

“Diam! Sekarang juga kau angkat kaki dari rumah ini. Brengsek, kau itu digaji untuk tenagamu bukan untuk mulutmu yang bau busuk itu. Cepat pergi, sebelum kupanggil polisi!” gertak Tuan Bapak tak main-main.

“Silahkan panggil polisi. Se-Komdak pun saya tak takut!! Justru polisi nantinya yang akan memborgol Tuan Bapak bukan saya!” ejek Mar.

Aku tertawa dengar cemoohan itu. Si Marwati pasti tak tahu pria-pria berseragam bisa sangat oportunis, borgolnya bukan lagi terbuat dari besi tapi dari gulungan money, money.

“Maaar!” Nyonya Ibu sudah kehilangan kesabaran.

Mar melompat ke samping meja makan, lalu berlari kecil menghindari manuver sendal Cindy, tangannya sigap menangkap sendal bernoda mani eks hotel melati tepat sebelum mendarat di jidatnya yang jenong menongnong.

“Ibu tahu ngga?! Tangan si Tuan Bapak tuh, yang mestinya dipakein gari besi berduri biar ngga ngoprek kamarnya si Dar. Tiap kali Ibu mengaji Tuan Bapak menyelinap masuk rumah dan langsung menyeret Dar masuk kamarnya. Buang hajat, Bu!”

Sudah barang tentu penuturan Mar kali kian ini sukses membuat setiap mulut ternganga lebar. Tak ada yang berusaha menghentikan Mar, semua orang masih terguncang dengan efek kejut dari mulut Mar. Bapak menyumpah-nyumpah kasar, sangat, sangat, kasar. Nyonya Ibu menitikkan airmata. Sedikit iba melihat itu, tapi tak kuhalangi rasa senang demi mendengar rahasia bertahun-tahun yang kini tengah dibedah Mar.

“Sudah cukup Mar, cukup. Bisakah sekarang kau pergi saja, ya?” tatapan Nyonya Ibu sememelas wajahnya yang pias.

“Ibu, kalau saya pergi tanpa bicara apa-apa, nanti saya berdosa sama Dar, Bu,” jawab Mar. “Dan selamanya Ibu takkan pernah tahu topeng macam mana yang telah mereka pakai selama ini di depan Ibu. Mereka itu keluarga Ibu loh,” papar Mar lebih jauh.

“Wis Mar, uwis, uwis,” kini nada Nyonya Ibu terdengar memohon. Pada seorang pembantu?

“Windy itu loh Bu. Perawan tapi ngga jelas. Anak gadis macam dia kalau di kampung saya sudah dipasung. Saban hari pulang pagi dengan langkah kaki antara khayangan dan bumi. Mabuk tuak, mendem dugem. Nggendhak sak lanang-lanang cuman buat puyer yang bikin ngawang-awang,” cerocos Mar seperti ban nggembos. Aku mesem mendegar ucapan Mar. Pembantu abad 21 memang beda dengan mereka di masa lalu.

“Dan Ibu kok ya percaya saja, puas hanya dengan penjelasan Cindy yang selalu mengatakan kerjaan di kantor banyak dan sangat menuntut. Dia malah linglung, si Dar kok diambungi,” lanjut Mar.

“Kamu semakin ngawur saja, Mar! Sudah cukup, hentikan!” hardik Nyonya Ibu.

“Dar sudah mencoba mengganti kunci kamarnya. Tapi malah Sandy mengancam akan mengadukan aib itu pada Ibu,” lagi Mar menambahkan.

“Sssan, Sandy-ku?” diantara linangan airmatanya Nyonya Ibu kembali terkejut.

“Lah iya Sandy putra Ibu! Bapak dan anak sama saja kok Bu. Saya heran kok ya pemuda ngganteng seperti dia mauuuu gitu sama si Dar kampung. Hingga suatu hari Dar mendapati dirinya berbadan dua dan ia telah dua kali meluruhkan jiwa-jiwa malang yang sempat bermukim di rahimnya,” beber Mar lebih lanjut.

“Mustahil! Nyebut Mar, nyebut!” Nyonya Ibu merintih pilu. “Jangan bicara sembarangan Mar, dosa Mar! Ngomong kalau tak ada bukti fitnah itu namanya Mar!”

“Ada kok buktinya, Bu, tapi Windy dan Cindy telah menghilangkan bukti itu! Dua putri Ibu itu memborbardir Dar dengan beragam obat. Hingga akhirnya janin 6 bulannya menyerah kalah. Jabang bayi itu pasrah dibenamkan di halaman belakang rumah. Yang ngubur si Sarkun tukang kebun setelah diupahi semalam bersama si Dar yang diikat sama kakak beradik itu. Heran, heran, lah wong ibunya alim kok anaknya bisa bejat begitu?” Mar bergumam seperti berkata kepada dirinya sendiri. “Dan selama ini si Thole ngga kemana-mana kok, Bu, bayi tak berdosa itu ada bersama kita, kalian saja yang tak bisa melihatnya.” Lalu Mar menatapku yang tengah asyik bermain singkap selinap di antara kain hordeng bersama saudaraku.

.,,,.

Aku tengah meringkuk. Di kamar tempat si Mar ditemukan lehernya terlilit tali, kamar yang juga bersebelahan dengan bekas kamar Dar, kamarku. Gerendel pintu perlahan tengah dibuka. Seberkas pelita menyelinap dalam senyap. Dan akupun bergegas bangun. Ini jam makanku. Dari celah pintu yang dibiarkan terbuka sedikit, sudah kuendus kepul dupa dan senyiru aneka makanan. Wanita berkulit putih bersih itu sangat tahu kesukaanku. Tapi dia juga sangat penuntut. Padahal aku hanya seorang anak kecil, tapi selalu disuruhnya mencari uang sebanyak-banyaknya.

“Ayo Thole, makan yang banyak. Nanti malam kerja lagi yang tekun seperti mbokmu itu loh,” katanya sambil menata hidangan di depan rumah-rumahan kecil yang diletakkan di atas meja tinggi. Lalu pergi dengan langkah gemulai sambil menggendong tangan tepat di belakang pinggulnya. Dan akupun nyemplak dengan riang. Sekarang ini Nyonya Ibu lebih betah berdiam di rumah. Majelis sana-sini tak lagi dikunjungi.

“Hihi, Le, Thole, majelis opo toh, Le, isin ah,” Nyonya Ibu tersipu. “Ibu ngga pernah ke majelis sana-sini. Si Sarkun tukang kebun gemblung itu selalu salah arah. Heran, katanya pernah jadi supir taksi, tapi majelis saja tak tahu tempatnya, motel melulu yang ditujunya. Tapi Ibu bukannya sengaja gendhakan sama jongos Sarkun, Ibu itu kepekso loh, Le, biar aib keluarga ngga diumbar sama si Kalkun itu.”

Aku tak peduli apa yang tengah dikatakan Nyonya Ibu. Aku hanya sedang senang karena sekarang akhirnya diperhatikan. Dipondong tiap hari mengitari tiap liku ruangan rumah yang kini sunyi ditinggalkan seluruh penghuni, Nyonya Ibu terkecuali.

“Ini semua berawal dari si Darsiti.Kamu tahu ngga, Le, siapa sebenarnya si Dar itu?” Setelah lama tak dengar namanya tiba-tiba Nyonya Ibu mengungkit nama Dar lagi.

“Ya-ya, kamu benar. Hihi, kok bodoh Ibu ya, lah kamu kan anaknya, masak sih, ngga kenal mbokne dhewe. Iya, Le, Darsiti itu ibumu. Kamu yang pertama kali dikandung Dar, Ibu yang menolongnya menggugurkan, lah piye, daripada wirang? Si Mar itu memang lambe wese, beraninya dia buka rahasia! Semua kerja keras Ibu memendam rahasia puuhan tahun berakhir sia-sia! Rugi, rugi, rugi tenan raga ini dijamah si Kalkun bau. Dan Ibu juga bukannya ngga tahu kalau suami Ibu suka nyusup ke kamarnya si Dar. Hihi, bajingan peyot itu tak ubahnya hewan, tega makan darah dagingnya sendiri,” Nyonya Ibu mengikik seraya membelai rambutnya yang kini panjang terurai, diselanya ada helai-helai putih bukan uban tapi laba-laba tengah memintal.

“Dasar si Mar ora waras, bilang Cindy ngga jelas, yang ngga jelas kuwi sejatine yo kowe, benar kan, Le?” Nyonya Ibu sedikit mengguncang tautan tangannya, biarku tak tertidur rupanya. Mungkin supaya ada yang diajaknya bicara dan tak disangka gila. “Kalau kamu anaknya Bapak sama perempuan yang ngaku-ngaku penyalur rewang itu, ya boleh kamu manggil ibu ini, Ibu. Lah nek, kamu anaknya si Sandy, yo jangan ibu toh, tapi eyang putri gitu, hihi.”

Aih, sekarang Nyonya Ibu banyak tertawa, bahkan terlampau banyak kukira. Nampaknya Nyonya Ibu lebih bahagia setelah tak ada sesiapa.

“Rumah sekarang sepi, ya, Le? Semua orang pergi memilih jalan masing-masing, suka-suka sendiri. Bapak mah dari dulu memang jarang di rumah. Ndilir ae dari satu gendhakan satu ke satunya, lalu satunya lagi, wis tak tahu berapa perempuan. Sekarang rasain lonthe-lonthe itu, pasti kebingungan karena pemasok uangnya sudah di-Nusa Kambangan-kan. Lah Bapak kok ya masih cemburu sama si Kalkun? Hihi, tapi Ibu senang burungnya jongos itu ditembak sama Bapak.”

Berlalu dari kamar utama yang masih menyisakan sedikit kemegahannya di masa lalu, Nyonya Ibu berhenti di depan kamar Sandy.

“Oiya, si Sandy itu kok ya milih tidur di bui, padahal kurang apa Ibu memberinya materi, sampai ngga kurang-kurang Ibu nyuruh kamu gelatakan malam-malam ke brangkas orang. Ya, Le, ya?” Nyonya Ibu bertanya.

Kamar Sandy terbuka lebar namun berpenghalang pita kuning milik polisi. Tirainya banyak sobek dan lubang bekas gigitan tikus, sisa kainnya melambai kian-kemari seakan mengundang siapapun tuk memasuki. Tempat tidur dan isi lemari terburai kesana-sini.

“Duh, anak itu kaliren apa ngga ya?” Nyonya Ibu menatap sedih pada cubic-food yang kosong melompong. “Lah padahal katanya seumur hidup si Sandy itu ngga bisa keluar dari kerangkeng, lah-lah, duh, bagaimana ini, Le?”

Langkah gontai Nyonya Ibu mengantarkannya ke kamar Windy dan Cindy yang berseberangan. Seperti halnya kamar Sandy, kamar dua kakak beradik inipun berhiaskan pita yang sama. Masing-masing kelambunya banyak yang terlepas dari kait dan besinya. Tak berbeda dengan tempat tidur Windy, sprei di kasur Cindy pun nampaknya menahun tak diganti, beragam noda di atasnya telah mengubah corak dan warna asli.

“Windy, anak nakal itu juga ngga mau pulang. Bukan, Le, bukan bui, tapi rehabilitasi karena ngga doyan nasi maunya puyer saja. Orang kok ngga umum. Kecilnya makan nasi, gedenya makan roti, lah itu baru umum. Sakit po piye Windy kuwi?”

Di depan kamar Cindy, Nyonya Ibu nampak tertegun sejenak. Di dinding kamar masih terpajang foto Cindy kecil berseragam bintang-bintang dengan senjata di tangan seperti Tuan Bapak.

“Itu si Cindy waktu TK-nya dulu, Le. Manis dan lucu. Selalu ingin seperti bapaknya. Tapi karena kecewa sama bapak malah jadi begitu, hidung, mata, semua maunya dibuat seperti bapak. Owala Cin, cin, Nduk-genduk cah ayu, jakun sama penis opo yo iso thukul sak karepmu dhewe? Ngga toh? Banyak perempuan yang menginginkan payudara montok, sampai disumpal-sumpal, lah kowe ki kok malah dipapral? Tibak’e yo fatal! Beraninya kamu itu melawan kodrat, Cin?”

Reraungan Nyonya Ibu makin terdengar menggema di tengah kesenyapan yang mencekam. Dukanya tak henti saat menangisi kepergian tragis Cindy. Kelamin yang susah payah ditumbuh-kembangkan melalui operasi demi operasi yang menyakitkan, berakhir di mulut Al Caphone. Entah apa yang dilihat anjing itu pada kelamin baru sang majikan. Tangis Nyonya Ibu mendadak berhenti, seperti tersadar akan sesuatu lalu berkeliling mencarinya.

“Eh, iya, mana si Dar? Kok ngga pulang-pulang? Apa takut barangkali ya setelah bocorin rahasia keluarga Ibu ke si Mar. Huh, ngga taunya si Dar itupun tak ubahnya para pembantu kebanyakan, ngga bisa ngerem mulutnya. Diam, manut, patuh, ngga taunya anak itu sudah tahu sejak awal kalau dirinya sengaja dititipkan kemari oleh ibunya sendiri. Cah opo kuwi?”

Nyonya Ibu berdarah raja selamanya tak pernah bebenah hanya memberi sabda saja. Maka sejak tak menggaji sahaya, rumah ini dibiarkan menderita. Panas, hujan, angin dan debu bebas keluar masuk bertandang, menginap lalu menetap. Nyonya Ibu membuka pintu depan. Tak sulit karena siang malam memang tak pernah ditutup apalagi dikunci. Dan ini untuk pertama kalinya Nyonya Ibu membawaku keluar dari rumahnya, sebuah hunian luas yang lebih kutengarai pada hiasan dinding berupa topeng-topeng beragam emosi dari para penghuni. Aku tak tahu topeng mana yang lebih mirip denganku. Sebab Tuan Bapak sangat gagah dengan seragam berpangkat lipat-lipat. Nyonya Ibu anggun nan cantik dengan senyum kesalihan yang melelehkan. Ketiga putra-putrinya pun menawan laiknya keturunan yang diagungkan. Mungkin aku lebih mirip Dar, ah, entahlah, yang jelas aku lebih menakutkan bagi si Al Caphone yang kini terkapar kelaparan, terhukum di balik pintu kandangnya yang disegel dengan papan karena gerigi tajamnya telah dihujamkan ke tubuh sang majikan tersayang.

“Tenan itu, Le. Dulu sekali, perempuan lenjeh itu, si Lasmini, memohon ke Ibu, tolong diterima anak ini mau kerja sebagai pembantu di rumah Ibu. Tapi di belakang anaknya sendiri, dia berbisik licik, kalau ini anaknya Tuan Bapak dan Ibu harus kasih uang sekian atau lonte itu akan bilang ke semua tetangga kalau si Dar anak haramnya Bapak. Ihh, tak tahu malu! Dasar rendahan! Tak seperti Ibu yang bangsawan. Eh, tapi wedokan itu juga kan nenek kamu ya? Lah, piye iki toh, Le.” Lalu Nyonya Ibu terbahak-bahak tak peduli jalanan dipenuhi orang yang menatapnya dengan mata terbelalak.

Kami tiba di sebuah tempat peristirahatan. Nyonya Ibu lalu menidurkanku di sebuah cungkup. “Bobok sik, jangan rewel ya, Ibu mau ketemu musuh bebuyutan yang darinya semua lingkaran belis ini berawal, ya mbokne si Dar itu! Sst, sst, tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya, Le? Sampai hari ini ngga ada yang tahu kalau oleh-oleh gula, teh dan kopi yang dulu Ibu berikan kepada si Lenjeh sudah dicampuri racun, hihi,” Nyonya Ibu setengah berbisik sambil melangkah lunglai. Ditujunya sebuah pusara, ah, tiga ternyata, yang saling sejajar berdampingan.

“Dar! Darsiti, tangiyo, Dar! Itu loh anakmu kana mbok cangking, gawanen, aku capek nggendong seharian! Kamu itu selamanya ngga pernah tidur kok sekarang males-malesan tidur di kuburan! Bangun, jangan mau dempetan sama si Mar sialan!”

Tubuh semampai itu meliuk-liuk bahkan ketika tak ada angin semilirpun. Peristirahatan tetap senyap. Beberapa peziarah sesekali nampak menyelinap. Nyonya Ibu sungguh terlihat kelelahan. Gerimis kian menambah kesengsaraan. Mengapa tak berteduh di cungkup ini bersamaku? Namun lambaian tanganku tak diindahkan Nyonya Ibu. Diskusinya bersama tiga pusara itu belum usai.

“Kuncen itu pasti sudah salah meletakkan kijing jelek si Mar di sebelahmu! Ayo, bangun, Dar! Ibu ngga akan marah sama kamu! Tapi Ibu memang mau marahin si Mar! Mana si Mar? Suruh dia bangun, kok enak banget tidur-tiduran jugak! Ayo bangun Dar, Ibu mau masthek’ke apa benar si Mar menor itu sedulur kembarmu?? Haduh, haduh, jaman edan opo iki? Pembantu nekat oplas sana-sini, biar ngga konangan kembar, dasar niat jahat mau bales dendam! Semua itu ngga mungkin kan Dar, iya kan, Dar? Lah nek tenanan kok iso ngonoh loohh?? Hahaha…!”

Nyonya Ibu jatuh tertelungkup di antara tiga batu. Satu nisan hanya nampak separuh badan karena sudah terlampau lama terpendam. Ketiga batu masing-masing berukir nama Dar, Mar, dan Las. Gerimis masih menangis, luhnya berebut membasahi tubuh letih, dingin, dan putih yang perlahan membiru, tubuh Nyonya Ibu. Halimun senja kian menebal, geliatnya serupa kapas berlayar di atas samudera kegelapan. Dan aku masih bersabar meringkuk di dalam cungkup ini, menunggunya kembali untuk menjemputku, sesekali menggendongku, lalu memerintahku mengutil uang, harta yang paling disuka manusia…

.,,,.

Note:

Bluluk : bakal buah kelapa…Malamute : jenis anjing…Cubic food : kulkas…Klungsu : biji kapuk randu…Wis, uwis : sudah, sudah…Mendem : mabuk…Nggendhak sak lanang-lanang : berzina dengan sembarang pria…Diambungi : diciumi…Nyemplak : membonceng…Opo toh : apa sih

Isin ah : malu ah…Gemblung : gila…Gendhakan : berzina…Kepekso : terpaksa

Mbokne dhewe : ibunya sendiri…wiring : malu…Lambe wese : mulut bau wc

Kuwi yo sejatine kowe : sebenarnya ya kamu itu…Rewang : pembantu…Ndilir : bergilir

Kaliren : kelaparan…Opo yo iso thukul sak karepmu dhewe : apakah bisa tumbuh sesuka hatimu sendiri…Dipapral : dipangkas habis…Tibak’e yo fatal : akhirnya fatal

Tenan : benar…Wedokan : perempuan…Belis : setan…Tangiyo : bangulah

Kana mbok cangkingen, gawanen : bawalah sana…Masthek’ke : memastikan

Oplas : operasi plastik… Lah nek tenanan kok iso ngono loh : kalau memang benar loh kok bisa gitu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun