“Mustahil! Nyebut Mar, nyebut!” Nyonya Ibu merintih pilu. “Jangan bicara sembarangan Mar, dosa Mar! Ngomong kalau tak ada bukti fitnah itu namanya Mar!”
“Ada kok buktinya, Bu, tapi Windy dan Cindy telah menghilangkan bukti itu! Dua putri Ibu itu memborbardir Dar dengan beragam obat. Hingga akhirnya janin 6 bulannya menyerah kalah. Jabang bayi itu pasrah dibenamkan di halaman belakang rumah. Yang ngubur si Sarkun tukang kebun setelah diupahi semalam bersama si Dar yang diikat sama kakak beradik itu. Heran, heran, lah wong ibunya alim kok anaknya bisa bejat begitu?” Mar bergumam seperti berkata kepada dirinya sendiri. “Dan selama ini si Thole ngga kemana-mana kok, Bu, bayi tak berdosa itu ada bersama kita, kalian saja yang tak bisa melihatnya.” Lalu Mar menatapku yang tengah asyik bermain singkap selinap di antara kain hordeng bersama saudaraku.
.,,,.
Aku tengah meringkuk. Di kamar tempat si Mar ditemukan lehernya terlilit tali, kamar yang juga bersebelahan dengan bekas kamar Dar, kamarku. Gerendel pintu perlahan tengah dibuka. Seberkas pelita menyelinap dalam senyap. Dan akupun bergegas bangun. Ini jam makanku. Dari celah pintu yang dibiarkan terbuka sedikit, sudah kuendus kepul dupa dan senyiru aneka makanan. Wanita berkulit putih bersih itu sangat tahu kesukaanku. Tapi dia juga sangat penuntut. Padahal aku hanya seorang anak kecil, tapi selalu disuruhnya mencari uang sebanyak-banyaknya.
“Ayo Thole, makan yang banyak. Nanti malam kerja lagi yang tekun seperti mbokmu itu loh,” katanya sambil menata hidangan di depan rumah-rumahan kecil yang diletakkan di atas meja tinggi. Lalu pergi dengan langkah gemulai sambil menggendong tangan tepat di belakang pinggulnya. Dan akupun nyemplak dengan riang. Sekarang ini Nyonya Ibu lebih betah berdiam di rumah. Majelis sana-sini tak lagi dikunjungi.
“Hihi, Le, Thole, majelis opo toh, Le, isin ah,” Nyonya Ibu tersipu. “Ibu ngga pernah ke majelis sana-sini. Si Sarkun tukang kebun gemblung itu selalu salah arah. Heran, katanya pernah jadi supir taksi, tapi majelis saja tak tahu tempatnya, motel melulu yang ditujunya. Tapi Ibu bukannya sengaja gendhakan sama jongos Sarkun, Ibu itu kepekso loh, Le, biar aib keluarga ngga diumbar sama si Kalkun itu.”
Aku tak peduli apa yang tengah dikatakan Nyonya Ibu. Aku hanya sedang senang karena sekarang akhirnya diperhatikan. Dipondong tiap hari mengitari tiap liku ruangan rumah yang kini sunyi ditinggalkan seluruh penghuni, Nyonya Ibu terkecuali.
“Ini semua berawal dari si Darsiti.Kamu tahu ngga, Le, siapa sebenarnya si Dar itu?” Setelah lama tak dengar namanya tiba-tiba Nyonya Ibu mengungkit nama Dar lagi.
“Ya-ya, kamu benar. Hihi, kok bodoh Ibu ya, lah kamu kan anaknya, masak sih, ngga kenal mbokne dhewe. Iya, Le, Darsiti itu ibumu. Kamu yang pertama kali dikandung Dar, Ibu yang menolongnya menggugurkan, lah piye, daripada wirang? Si Mar itu memang lambe wese, beraninya dia buka rahasia! Semua kerja keras Ibu memendam rahasia puuhan tahun berakhir sia-sia! Rugi, rugi, rugi tenan raga ini dijamah si Kalkun bau. Dan Ibu juga bukannya ngga tahu kalau suami Ibu suka nyusup ke kamarnya si Dar. Hihi, bajingan peyot itu tak ubahnya hewan, tega makan darah dagingnya sendiri,” Nyonya Ibu mengikik seraya membelai rambutnya yang kini panjang terurai, diselanya ada helai-helai putih bukan uban tapi laba-laba tengah memintal.
“Dasar si Mar ora waras, bilang Cindy ngga jelas, yang ngga jelas kuwi sejatine yo kowe, benar kan, Le?” Nyonya Ibu sedikit mengguncang tautan tangannya, biarku tak tertidur rupanya. Mungkin supaya ada yang diajaknya bicara dan tak disangka gila. “Kalau kamu anaknya Bapak sama perempuan yang ngaku-ngaku penyalur rewang itu, ya boleh kamu manggil ibu ini, Ibu. Lah nek, kamu anaknya si Sandy, yo jangan ibu toh, tapi eyang putri gitu, hihi.”
Aih, sekarang Nyonya Ibu banyak tertawa, bahkan terlampau banyak kukira. Nampaknya Nyonya Ibu lebih bahagia setelah tak ada sesiapa.