Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lingkaran Belis

25 Februari 2015   05:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nyonya Ibu berdarah raja selamanya tak pernah bebenah hanya memberi sabda saja. Maka sejak tak menggaji sahaya, rumah ini dibiarkan menderita. Panas, hujan, angin dan debu bebas keluar masuk bertandang, menginap lalu menetap. Nyonya Ibu membuka pintu depan. Tak sulit karena siang malam memang tak pernah ditutup apalagi dikunci. Dan ini untuk pertama kalinya Nyonya Ibu membawaku keluar dari rumahnya, sebuah hunian luas yang lebih kutengarai pada hiasan dinding berupa topeng-topeng beragam emosi dari para penghuni. Aku tak tahu topeng mana yang lebih mirip denganku. Sebab Tuan Bapak sangat gagah dengan seragam berpangkat lipat-lipat. Nyonya Ibu anggun nan cantik dengan senyum kesalihan yang melelehkan. Ketiga putra-putrinya pun menawan laiknya keturunan yang diagungkan. Mungkin aku lebih mirip Dar, ah, entahlah, yang jelas aku lebih menakutkan bagi si Al Caphone yang kini terkapar kelaparan, terhukum di balik pintu kandangnya yang disegel dengan papan karena gerigi tajamnya telah dihujamkan ke tubuh sang majikan tersayang.

“Tenan itu, Le. Dulu sekali, perempuan lenjeh itu, si Lasmini, memohon ke Ibu, tolong diterima anak ini mau kerja sebagai pembantu di rumah Ibu. Tapi di belakang anaknya sendiri, dia berbisik licik, kalau ini anaknya Tuan Bapak dan Ibu harus kasih uang sekian atau lonte itu akan bilang ke semua tetangga kalau si Dar anak haramnya Bapak. Ihh, tak tahu malu! Dasar rendahan! Tak seperti Ibu yang bangsawan. Eh, tapi wedokan itu juga kan nenek kamu ya? Lah, piye iki toh, Le.” Lalu Nyonya Ibu terbahak-bahak tak peduli jalanan dipenuhi orang yang menatapnya dengan mata terbelalak.

Kami tiba di sebuah tempat peristirahatan. Nyonya Ibu lalu menidurkanku di sebuah cungkup. “Bobok sik, jangan rewel ya, Ibu mau ketemu musuh bebuyutan yang darinya semua lingkaran belis ini berawal, ya mbokne si Dar itu! Sst, sst, tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya, Le? Sampai hari ini ngga ada yang tahu kalau oleh-oleh gula, teh dan kopi yang dulu Ibu berikan kepada si Lenjeh sudah dicampuri racun, hihi,” Nyonya Ibu setengah berbisik sambil melangkah lunglai. Ditujunya sebuah pusara, ah, tiga ternyata, yang saling sejajar berdampingan.

“Dar! Darsiti, tangiyo, Dar! Itu loh anakmu kana mbok cangking, gawanen, aku capek nggendong seharian! Kamu itu selamanya ngga pernah tidur kok sekarang males-malesan tidur di kuburan! Bangun, jangan mau dempetan sama si Mar sialan!”

Tubuh semampai itu meliuk-liuk bahkan ketika tak ada angin semilirpun. Peristirahatan tetap senyap. Beberapa peziarah sesekali nampak menyelinap. Nyonya Ibu sungguh terlihat kelelahan. Gerimis kian menambah kesengsaraan. Mengapa tak berteduh di cungkup ini bersamaku? Namun lambaian tanganku tak diindahkan Nyonya Ibu. Diskusinya bersama tiga pusara itu belum usai.

“Kuncen itu pasti sudah salah meletakkan kijing jelek si Mar di sebelahmu! Ayo, bangun, Dar! Ibu ngga akan marah sama kamu! Tapi Ibu memang mau marahin si Mar! Mana si Mar? Suruh dia bangun, kok enak banget tidur-tiduran jugak! Ayo bangun Dar, Ibu mau masthek’ke apa benar si Mar menor itu sedulur kembarmu?? Haduh, haduh, jaman edan opo iki? Pembantu nekat oplas sana-sini, biar ngga konangan kembar, dasar niat jahat mau bales dendam! Semua itu ngga mungkin kan Dar, iya kan, Dar? Lah nek tenanan kok iso ngonoh loohh?? Hahaha…!”

Nyonya Ibu jatuh tertelungkup di antara tiga batu. Satu nisan hanya nampak separuh badan karena sudah terlampau lama terpendam. Ketiga batu masing-masing berukir nama Dar, Mar, dan Las. Gerimis masih menangis, luhnya berebut membasahi tubuh letih, dingin, dan putih yang perlahan membiru, tubuh Nyonya Ibu. Halimun senja kian menebal, geliatnya serupa kapas berlayar di atas samudera kegelapan. Dan aku masih bersabar meringkuk di dalam cungkup ini, menunggunya kembali untuk menjemputku, sesekali menggendongku, lalu memerintahku mengutil uang, harta yang paling disuka manusia…

.,,,.

Note:

Bluluk : bakal buah kelapa…Malamute : jenis anjing…Cubic food : kulkas…Klungsu : biji kapuk randu…Wis, uwis : sudah, sudah…Mendem : mabuk…Nggendhak sak lanang-lanang : berzina dengan sembarang pria…Diambungi : diciumi…Nyemplak : membonceng…Opo toh : apa sih

Isin ah : malu ah…Gemblung : gila…Gendhakan : berzina…Kepekso : terpaksa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun