Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis content untuk bidang manajemen dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Telentang di Ranjang

14 September 2024   06:10 Diperbarui: 14 September 2024   06:14 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesadaranku berangsur pulih selembar demi selembar. Suara percakapan terdengar sayup-sayup. Aku tak paham isi percakapan itu. Aku berada di mana?

Aku dalam posisi terbaring. Sebuah lampu neon menyala tepat di hadapanku. Bau yang khas mulai aku kenali. Kepalaku sulit aku gerakkan. Ada sesuatu di bagian leher yang membuatnya susah bergerak.

Karena kepalaku susah bergerak, maka ku putar bola mataku menjelajahi dunia di sekitarku. Sebuah tabung plastik tergantung di sisi ranjangku, dengan sejalur selang tertuju ke tanganku. Ah, rupanya aku diinfus.

Baca juga: Gila Jabatan

Berarti harusnya aku berada di rumah sakit.

Tubuhku terasa remuk dan sakit di mana-mana. Pakaian yang aku kenakan juga pakaian yang asing di mataku.

Aku mencoba mengaduk-aduk isi kepalaku, mencari kabar berita dari kesadaranku. Apa yang terjadi sebelum aku berada di tempat ini.

Waktu itu sekitaran siang sampai sore hari aku berada di atas motorku. Aku melaju di jalanan ramai. Dunia di waktu itu seolah semuanya bergerak lambat. Hanya aku sendiri yang bisa bergerak cepat. Atau mungkinkah kebalikannya? Justru aku yang bergerak terlalu cepat?

Lalu segalanya tiba-tiba gelap. Ada loncatan skenario setelah waktu itu dan di saat ini. Aku kebingungan dengan alur waktu.

Aku aduk-aduk lagi isi kepala ini. Apa yang aku lakukan sebelumnya lagi?

Ah, aku berada di warung Pak Joko yang biasanya aku kunjungi. Warung kopi yang sekaligus menjual minuman yang melenakan yang harusnya tidak boleh dijual bebas.

Waktu itu aku bersama dua orang teman. Tapi, apa iya dua orang? Aku kesulitan memilah-milah alur peristiwa yang satu ini. Seingatku lebih dari dua orang, tapi aku tak bisa mengingat siapa saja mereka ini.

Waktu itu aku sudah tak bisa lagi menghitung jumlah botol yang isinya aku tenggak. Minuman melenakan merk murahan itu memang sering menemani aku di saat suntuk.

Oh iya, aku waktu itu merasa suntuk. Itu karena sebuah pesan dari kekasihku yang ingin memutuskan hubunganku dengan dia.

Aku nggak suka kalau dia bertemu laki-laki lain. Tapi mengapa dia malah bertemu laki-laki lain di belakangku. Aku pun memarahi dia. Tapi katanya di sela-sela omelanku waktu itu, dia hanya seorang teman kerja yang bagaimanapun harus terjadi pertemuan di antara mereka.

Maka seperti biasa, untuk menyalurkan kekesalanku, aku menenggak minuman melenakan yang dijual di warung Pak Joko.

"Nak, kamu sudah bangun?" Sebuah suara terdengar di dekatku.

Corak suara itu tidak asing bagi ingatanku. Aku memutar mataku ke sisi. Ternyata pemilik suara itu adalah seorang lelaki paruh baya dengan rona muka yang teduh. Fitur mukanya telah lama aku kenali. Ia Pak Dono tetanggaku.

"Pak Dono?" Aku keheranan, "Bagaimana Pak Dono bisa ada di sini?"

Pak Dono menggeser sebuah kursi plastik, mencari posisi yang paling pas sebelum ia duduk.

"Kamu ingat? Sebelum kamu di tempat ini, kamu di mana?"

"Iya Pak," ujarku pelan, "Aku harusnya terjatuh dari motorku."

"Baguslah kalau kamu mengingatnya," Pak Dono menghela nafas panjang, "Bapak kebetulan lewat di lokasi tempat kamu terjatuh. Lalu bapak membawamu ke sini."

"Ah, terima kasih, Pak," jawabku lirih.

Mataku terasa memanas. Pandanganku tersaput air. Buliran air mata tiba-tiba terasa mengalir menelusup di sela-sela rambutku. Mulutku bergetar menahan ledakan emosiku. Ternyata orang baik ini kini benar-benar menjadi malaikat penolongku.

Teguran lemah lembut Pak Dono tentang kegemaranku menenggak minuman melenakan sering kali aku anggap semilir angin lembab sebelum hujan, cepat berlalu digantikan rinai hujan atau digantikan terik sinar mentari. Walau sering tak aku gubris, di saat seperti ini sekalipun Pak Dono masih bersedia mengeluarkan sayap malaikatnya untuk aku.

Emosiku berkecamuk. Aku benar-benar tidak tahu aku harus bagaimana menghadapi Pak Dono. Entah berapa lama kekacauan batinku berlangsung hingga emosiku kehabisan energi.

Hingga badai lautan emosiku mereda, suara lembut itu terdengar lagi.

"Kamu sudah benar-benar tenang, Nak?"

"Iya Pak."

"Nggak usah terlalu mikir banyak-banyak. Semuanya sudah bapak urusi. Yang penting kamu sekarang berusaha tetap bersemangat memulihkan dirimu."

"Iya Pak."

Saat pandanganku jatuh ke sosok Pak Dono, ia tersenyum memberikan kedamaian yang saat ini aku butuhkan.

"Bagaimana dengan ibu saya, Pak?" Aku teringat sosok perempuan satu-satunya orang tuaku yang tersisa saat ini.

"Ibumu belum saya kasih kabar. Mungkin untuk sementara ini ibumu tidak perlu diberi tahu dahulu. Saya takut dia kaget dan terjadi apa-apa padanya. Bukankah kamu tahu sendiri kan kondisi ibumu?"

"Iya Pak," perkataan Pak Dono benar juga. Tapi aku masih kebingungan, pada akhirnya ibu pastinya akan tahu kondisiku yang lagi kacau seperti ini.

Seolah tahu isi pikiranku, Pak Dono berkata, "Tenang saja, Nak. Nanti Bapak pikirkan cara mengabari ibumu."

"Bagaimana Pak Dono bisa menemukan saya waktu itu?" Rasa penasaranku membuat aku menanyakan hal ini.

"Waktu itu saya baru saja balik dari lokasi kerja. Untung saat itu saya dapat kerjaan di sekitaran lingkungan itu. Lalu saya melihat kamu tergeletak di jalan. Kata seorang pedagang kaki lima di situ, orang-orang tidak ada yang mau mendekati kamu. Katanya kamu sudah tergeletak agak lama." Pak Dono sejenak menjeda ceritanya.

"Saya heran kok bisa seperti itu kejadiannya," Pak Dono kembali menjeda ceritanya. Tapi wajahnya sedikit melukiskan kebingungan. "Lalu saya hubungi teman saya yang bagian pegang mobil pick up, meminta tolong dia membantu saya mengantarmu ke rumah sakit sambil membawa motor kamu."

"Sekali lagi terima kasih, Pak Dono," ucapku kembali. Saat ini tak ada yang bisa aku lakukan untuk orang baik ini selain mengucap terima kasih.

Pak Dono hanya tersenyum, "Yang penting, kamu renungkan peristiwa ini. Jangan sampai terulang lagi."

"Pikirkan bagaimana perasaan ibumu yang di rumah? Pikirkan bagaimana jika kamu waktu itu menabrak orang lain? Mungkin ini pertanda dari Yang Maha Penyayang untuk kamu renungkan."

Pikiranku menerawang mencoba benar-benar meresapkan ucapan Pak Dono ke alam pikiran dan alam emosiku.

Tapi suara langkah kaki mengganggu pemikiranku. Seorang ibu perawat mendekati ranjang tempat aku berbaring.

"Bapak ini keluarga pasien kan?"

"Iya Bu Perawat."

"Bisa ke kantor administrasi sebentar?. Ada yang perlu diurus, Pak."

"Baik Bu Perawat, saya segera ke sana," Pak Dono sejenak memandangku dan berkata, "Bapak tinggal dulu ya, Nak. Kamu istirahat saja baik-baik."

"Iya Pak. Terima kasih," jawabku.

Suasana hening mendominasi ruangan. Aku kembali merenungkan kisah Pak Dono saat menemukanku di jalan.

Ternyata aku tergeletak lama di jalanan. Apakah tidak ada yang bersedia menolong aku? Seingatku biasanya orang-orang langsung bertindak bila menemui adanya kecelakaan. Apa mereka tahu kalau yang jatuh saat itu adalah seorang pemabuk? Lalu dibiarkan supaya tahu rasa.

Ah, betapa aku waktu itu seperti hewan liar yang tertabrak kendaraan. Tidak ada yang merasa kehilangan. Sesuatu yang menjijikkan. Seperti sampah yang mengotori jalanan.

Minuman itu memang melenakan. Segala persoalan sejenak bisa terlupakan. Namun permasalahan lain yang lebih besar akan berdatangan. Di saat tersadarkan semuanya sudah hancur berantakan.

Sebuah cerita yang terinspirasi oleh kisah titik balik seorang teman ketika gemar mabuk-mabukan dan bersahabat karib dengan miras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun