"Ah, terima kasih, Pak," jawabku lirih.
Mataku terasa memanas. Pandanganku tersaput air. Buliran air mata tiba-tiba terasa mengalir menelusup di sela-sela rambutku. Mulutku bergetar menahan ledakan emosiku. Ternyata orang baik ini kini benar-benar menjadi malaikat penolongku.
Teguran lemah lembut Pak Dono tentang kegemaranku menenggak minuman melenakan sering kali aku anggap semilir angin lembab sebelum hujan, cepat berlalu digantikan rinai hujan atau digantikan terik sinar mentari. Walau sering tak aku gubris, di saat seperti ini sekalipun Pak Dono masih bersedia mengeluarkan sayap malaikatnya untuk aku.
Emosiku berkecamuk. Aku benar-benar tidak tahu aku harus bagaimana menghadapi Pak Dono. Entah berapa lama kekacauan batinku berlangsung hingga emosiku kehabisan energi.
Hingga badai lautan emosiku mereda, suara lembut itu terdengar lagi.
"Kamu sudah benar-benar tenang, Nak?"
"Iya Pak."
"Nggak usah terlalu mikir banyak-banyak. Semuanya sudah bapak urusi. Yang penting kamu sekarang berusaha tetap bersemangat memulihkan dirimu."
"Iya Pak."
Saat pandanganku jatuh ke sosok Pak Dono, ia tersenyum memberikan kedamaian yang saat ini aku butuhkan.
"Bagaimana dengan ibu saya, Pak?" Aku teringat sosok perempuan satu-satunya orang tuaku yang tersisa saat ini.