Waktu itu aku sudah tak bisa lagi menghitung jumlah botol yang isinya aku tenggak. Minuman melenakan merk murahan itu memang sering menemani aku di saat suntuk.
Oh iya, aku waktu itu merasa suntuk. Itu karena sebuah pesan dari kekasihku yang ingin memutuskan hubunganku dengan dia.
Aku nggak suka kalau dia bertemu laki-laki lain. Tapi mengapa dia malah bertemu laki-laki lain di belakangku. Aku pun memarahi dia. Tapi katanya di sela-sela omelanku waktu itu, dia hanya seorang teman kerja yang bagaimanapun harus terjadi pertemuan di antara mereka.
Maka seperti biasa, untuk menyalurkan kekesalanku, aku menenggak minuman melenakan yang dijual di warung Pak Joko.
"Nak, kamu sudah bangun?" Sebuah suara terdengar di dekatku.
Corak suara itu tidak asing bagi ingatanku. Aku memutar mataku ke sisi. Ternyata pemilik suara itu adalah seorang lelaki paruh baya dengan rona muka yang teduh. Fitur mukanya telah lama aku kenali. Ia Pak Dono tetanggaku.
"Pak Dono?" Aku keheranan, "Bagaimana Pak Dono bisa ada di sini?"
Pak Dono menggeser sebuah kursi plastik, mencari posisi yang paling pas sebelum ia duduk.
"Kamu ingat? Sebelum kamu di tempat ini, kamu di mana?"
"Iya Pak," ujarku pelan, "Aku harusnya terjatuh dari motorku."
"Baguslah kalau kamu mengingatnya," Pak Dono menghela nafas panjang, "Bapak kebetulan lewat di lokasi tempat kamu terjatuh. Lalu bapak membawamu ke sini."