Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Potret Kala Itu

11 Maret 2019   13:43 Diperbarui: 13 Maret 2019   18:24 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku diam tak berkutik. Terpaku dan tak tahu hendak menjawab apa. Dan tepat saat itu juga, sosok bapak yang berbeda muncul saat itu juga. Tak ada bapak yang penuh kasih yang aku lihat hari itu. Hanya bapak yang membentakku keras dan berubah menjadi dingin yang aku saksikan detik itu. Tangannya yang kasar mengambil rotan dan melayangkannya pada dirinya sendiri.

Aku menangis sejadi-jadinya menyuruh bapak untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri. Karena itu adalah salahku. Tak seharusnya aku berbohong selama ini. Ibu keluar menggendong adikku yang masih kecil dan menyuruh bapak untuk berhenti.

Ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk memeluk ayah. Aku kemudian memeluknya dan memintanya untuk berhenti.

Keesokan harinya, semuanya berlanjut seperti biasa seakan tidak ada yang terjadi hari sebelumnya. Seperti biasa aku bekerja di toko Koh Han dan melanjutkan kegiatanku. Mahesa menghampiriku di toko kami dan mengajakku ke kota. Aku menolaknya. Aku harus tetap bekerja demi keluargaku. Mahesa kemudian pergi dengan dibuat bingung oleh sikapku.

Begitu sore tiba, dan aku telah selesai melakukan pekerjaanku di toko Koh Han, bapak mengajakku ke pelabuhan. Menyaksikan matahari terbenam bersamanya. 

Aku merasakan hal yang berbeda kala aku bersama bapak kala itu. Perasaan bersalah yang besar yang aku rasakan dan tak berani aku katakan pada bapak. Padahal aku tahu jelas itu kesalahanku. Namun bapak bersikap biasa saja seakan tak terjadi apa-apa kemarin.

Bapak mengajakku duduk di tepi kapal.

Aku terbelenggu saat itu. Bapak hanya terus mengajakku berbincang mengenai keadaan laut yang tenang kala itu. Tentang ikan hasil tangkapan bapak yang sedang banyak-banyaknya. 

Yang membuat bapak dan ibu mendapat rezeki lebih dari hasil memancing bapak. Aku hanya diam. Tertawa kecil saat bapak bergurau, dan tak menanggapi bapak sama sekali. Sebenarnya aku tidak menginginkannya. Aku hanya merasa bersalah pada bapak. Hal itu yang membuatku tak tahu harus berkata apa pada bapak.

"Bapak, maafkan Sagara." Bapak terdiam. Aku tak menyangka bapak malah merangkul pundakku.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Bukan kenginginan bapak untuk kamu dan adik-adikmu tidak sekolah. Tetapi bapak belum memiliki cukup rezeki untuk menyekolahkan kalian. Seharusnya bapak yang meminta maaf. Salah bapak menyamakan dirimu dengan bapak. Padahal bapak tahu kau sama sekali berbeda dengan bapak. Sejak kemarin bapak tahu kau punya keinginan besar untuk bersekolah. Maka bapak berjanji tidak akan menghalangimu lagi untuk menimbah ilmu. Bapak mungkin hanya seorang nelayan kampungan yang tidak berpendidikan, tetapi bapak telah berjanji tidak akan membiarkan kamu dan adik-adikmu menjadi seperti bapak, Sagara. Jadilah orang hebat dengan hati yang besar. Tetapi jangan lupakan dari mana kau berasal."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun