Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Potret Kala Itu

11 Maret 2019   13:43 Diperbarui: 13 Maret 2019   18:24 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pinterest.com/rosameliarivas

Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Kumpulan anak-anak tengah asyik berlari menendang bola kesana kemari di tepi pantai di kala senja. Suatu pemandang indah yang sudah tidak asing lagi di penglihatanku.

Melihat tawa indah yang terpancar di mata mereka, dan jiwa bebas yang melekat dalam raga mereka membuatku terbawa kembali kepada kenangan masa kecilku. Kala aku dan keluarga kecilku menghabiskan waktu kami di kampung itu sebelum akhirnya hari itu tiba dan aku memutuskan untuk melalang buana ke kota.

Aku ingat, usiaku belum genap satu dasawarsa ketika aku mendengar kabar tersebut. Sekolah dasar di perkampungan kami hanya satu. Dan satu sekolah dasar itulah yang menjadi harapan seisi kampung untuk mendapat ilmu. 

Walau hanya belajar untuk mengenal huruf dan angka, setidaknya bagi warga kampung kala itu, hal itu sudah lebih dari cukup untuk kata belajar. Sekolah tempat bapak dan ibu mengirimku menimbah ilmu hanya memiliki empat tingkatan kelas. 

Oleh karena itu, ketika ibu mengabariku bahwa semester depan aku sudah tidak bisa bersekolah, aku bertekad untuk pergi ke kota dengan usia yang masih muda itu sendirian. Tetapi ibu dan bapak melarangku keras. Kata mereka, orang kota tak sebaik apa yang aku kira. Belum juga aku harus bekerja keras hanya untuk belajar, maupun makan.

Pikir bapak, lebih baik aku bekerja dan menghasilkan uang sendiri daripada mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bagi warga kampung sepertiku. Kalo kata ibu, pendidikan tinggi tak lagi penting bagi kami. "Toh, sekolah tinggi juga ujung-ujungnya susah cari kerja dan balik ke kampung." 

Aku sejujurnya kecewa kala mendengar apa yang orangtuaku pikirkan kala itu. Bagiku, itu bukanlah aku. Yang aku inginkan adalah mengenal lebih banyak tentang dunia ini dan menjelajah dunia dengan ilmuku. Dan setidaknya, memperbaiki hidup ibu dan bapak di masa tua mereka. Tapi apalah daya diriku yang belum genap satu dasawarsa. Pikiranku tak pernah sejalan dengan mereka. 

Dan aku tidak bisa membantah selain menuruti apa kata bapak dan ibu. Lagipula bapak dan ibu memiliki lima anak untuk ditanggung biaya hidupnya. Bukan hanya aku seorang.

Setahun kemudian, aku bekerja di toko kelontong milik Koh Han. Bekerja seminggu lima hari, dan diupahi dua puluh ribu rupiah tiap minggunya. Dan setiap akhir pekan aku membantu ayah memancing ikan atau membantu pekerjaan siapapun di kampung dengan sukarela. Terkadang jika mereka bersimpati padaku, mereka akan memberikan upah sedikit.

Aku ingat, saat itu sudah dua bulan aku bekerja di toko kelontong Koh Han. Yang pada papan depannya tertulis "TOKO SERBA ADA" berukuran besar. Saat itu kami sedang sepi pengunjung. 

Biasanya pada hari kamis dan jumat toko-toko kecil di pasar akan mengambil barang di Toko Serba Ada dan meramaikan toko kelontong Koh Han yang menjadi satu-satunya pusat perbelanjaan utama di kampung kami kala itu.

Tapi kamis itu berbeda. Aku bertanya-tanya mengapa demikian. Begitu juga Bang Anek yang bekerja bersamaku di sana. Kami menerka-nerka apa yang akan dipikirkan Koh Han jika datang ke toko dan tidak ada pengunjung sama sekali. Biarkan aku menceritakan sedikit tentang Bang Anek. Dia bukan orang biasa seperti remaja pada umumnya. 

Bang Anek memiliki keterbelakangan mental yang membuatnya tidak sekolah sejak kecil. Umurnya lima tahun lebih tua dariku. Tetapi akulah yang merasa paling dewasa di tempat itu. 

Aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu. Dan begitu pula Koh Han. Ibu Bang Anek sendiri keheranan ketika Koh Han mau mempekerjakan dia di toko kelontong miliknya. Padahal pedagang kecil di pasar saja menolak Bang Anek bekerja bersama mereka.

Mungkin itulah yang menjadi keistimewaan Koh Han. Yang membuat dirinya sulit dilupakan sekian banyak orang yang berhasil dia sekolahkan. Dengan nada bicaranya yang dingin dan selalu tampak sibuk serta serius, dia memiliki hati yang luar biasa dermawan.

Saat aku dan Bang Anek hampir tertidur karena saking sepinya toko hari itu, kami dikejutkan dengan Koh Han yang datang dan mengetuk meja tempat kami menyandarkan kepala kami. "Waktunya kerja, kerja. Jangan tidur." Aku dan Bang Anek mengangguk pelan kemudian melanjutkan kegiatan kami mengecek perlengkapan di toko yang sebenarnya tidak perlu.

"Sagara?" suara berat Koh Han memanggilku. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa. Koh Han menyuruhku ke kota dan membeli beberapa perlengkapan yang kurang di toko kami. Aku dengan semangat mengiyakan apa yang Koh Han katakan.

Aku segera berlari ke depan toko begitu Koh Han telah memberiku secarik kertas yang akan aku berikan pada toko di kota untuk aku beli. Aku mengayuh sepedaku dengan terlalu semangat. Sudah lama sejak aku terakhir kali aku ke kota. Aku ingat terakhir aku kesana bersama bapak untuk membeli sepeda dan perlengkapan sekolahku. Betapa itu menjadi hari paling bahagia bagiku.

Sudah sejam sejak aku mengayuh sepedaku ke kota dan akhirnya tiba di toko yang dimaksudkan Koh Han. Aku menunggu beberapa menit untuk akhirnya barang-barang itu ada di tanganku. Aku membawa mereka ke atas sepedaku, mengikatnya agar tidak jatuh, dan kembali mengayuh sepedaku ke kampung.

Namun aku menemukan sesuatu yang asing di sana. Anak-anak seusiaku mengenakan seragam sekolah dan berlarian ke sana ke mari di depan halaman sekolah. Hal sederhana yang mampu membuatku merasa iri hati, sejujurnya. 

Seorang Sagara kecil yang merasa dirinya harusnya berada di sana, menjadi bagian dari mereka. Tapi nyatanya tidak. Dengan mengenakan pakaian kumuh, dan beralaskan sendal yang tidak layak pakai, aku hanya berdiri di sana. Menyaksikan kebahagiaan anak-anak itu.

Tanpa sadar aku turun dari sepeda dan berjalan mendekati pagar sekolah. Tanganku yang kecil menyentuh pagar itu dengan penuh harapan. Begitu bel dibunyikan, anak-anak itu berhenti melakukan kegiatan mereka dan kembali ke kelas.

Aku keheranan sendiri. Aku masih ingin melanjutkan pemandangan ini, pikirku.

Maka aku menggerakkan kedua kakiku dan berlari mengikuti anak-anak itu ke ruangan kelas. Tapi nyatanya aku tidak bisa. Maka aku memutuskan untuk memanjat pagar tersebut dan mengintip melalui jendela, apa yang mereka pelajari.

Seseorang menepuk pundakku dari belakang kala aku tengah serius mendengar apa yang dipelajari anak-anak itu. Aku terkejut dan berharap aku tidak diusir dari tempat itu. Maka aku menoleh ke belakang dengan penuh hati-hati, dan akhirnya bisa bernafas lega.

"Apa yang kau lakukan disini, Sagara?" ternyata itu adalah Mahesa. Temanku di kampung. Aku tidak menyangka dia berada di sana juga denganku. 

Berdasarkan ceritanya, telah dua bulan sejak kami diberhentikan dari sekolah dan dia belajar dengan sembunyi-sembunyi seperti ini. Mahesa lah yang memperkenalkanku tentang hal ini.

Dan setelah hari itu, aku dan Mahesa sering ke kota untuk belajar secara diam-diam.

Aku tahu hal ini sangat tidak disetujui oleh bapak dan ibu. Maka aku tidak pernah bercerita kepada mereka apa yang aku lakukan tiap kali ke kota. Aku terpaksa berbohong bahwa aku dikirim Koh Han untuk melakukan pekerjaan di kota. Aku mulai menikmati kebohongan yang aku jalani sejak hari itu.

Namun setiap kebohongan pasti tetap akan terbongkar.

Hari itu pertengahan bulan Oktober. Toko Koh Han tutup lebih awal. Dan aku berpikir itu menjadi kesempatan yang bagus untuk aku belajar di kota. Sepulang dari sekolah, aku langsung menuju rumah. Kala itu sudah tengah hari. Dan aku kira semua akan baik-baik saja.

Aku menghampiri bapak yang duduk di bangku depan rumah dan mencium tangannya. Bapak tidak seperti biasanya kala itu. Dia diam dan dingin. Ketika aku hendak masuk melalui pintu rumahku, bapak bertanya aku darimana. 

Aku menjawab bahwa aku tentu saja dari toko Koh Han seusai bekerja. Bapak berdiri. Dia mengatakan bahwa dia tahu toko Koh Han telah tutup sejak pagi. Dan memaksaku untuk mengatakan yang sejujurnya.

Aku diam tak berkutik. Terpaku dan tak tahu hendak menjawab apa. Dan tepat saat itu juga, sosok bapak yang berbeda muncul saat itu juga. Tak ada bapak yang penuh kasih yang aku lihat hari itu. Hanya bapak yang membentakku keras dan berubah menjadi dingin yang aku saksikan detik itu. Tangannya yang kasar mengambil rotan dan melayangkannya pada dirinya sendiri.

Aku menangis sejadi-jadinya menyuruh bapak untuk berhenti menyakiti dirinya sendiri. Karena itu adalah salahku. Tak seharusnya aku berbohong selama ini. Ibu keluar menggendong adikku yang masih kecil dan menyuruh bapak untuk berhenti.

Ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk memeluk ayah. Aku kemudian memeluknya dan memintanya untuk berhenti.

Keesokan harinya, semuanya berlanjut seperti biasa seakan tidak ada yang terjadi hari sebelumnya. Seperti biasa aku bekerja di toko Koh Han dan melanjutkan kegiatanku. Mahesa menghampiriku di toko kami dan mengajakku ke kota. Aku menolaknya. Aku harus tetap bekerja demi keluargaku. Mahesa kemudian pergi dengan dibuat bingung oleh sikapku.

Begitu sore tiba, dan aku telah selesai melakukan pekerjaanku di toko Koh Han, bapak mengajakku ke pelabuhan. Menyaksikan matahari terbenam bersamanya. 

Aku merasakan hal yang berbeda kala aku bersama bapak kala itu. Perasaan bersalah yang besar yang aku rasakan dan tak berani aku katakan pada bapak. Padahal aku tahu jelas itu kesalahanku. Namun bapak bersikap biasa saja seakan tak terjadi apa-apa kemarin.

Bapak mengajakku duduk di tepi kapal.

Aku terbelenggu saat itu. Bapak hanya terus mengajakku berbincang mengenai keadaan laut yang tenang kala itu. Tentang ikan hasil tangkapan bapak yang sedang banyak-banyaknya. 

Yang membuat bapak dan ibu mendapat rezeki lebih dari hasil memancing bapak. Aku hanya diam. Tertawa kecil saat bapak bergurau, dan tak menanggapi bapak sama sekali. Sebenarnya aku tidak menginginkannya. Aku hanya merasa bersalah pada bapak. Hal itu yang membuatku tak tahu harus berkata apa pada bapak.

"Bapak, maafkan Sagara." Bapak terdiam. Aku tak menyangka bapak malah merangkul pundakku.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Bukan kenginginan bapak untuk kamu dan adik-adikmu tidak sekolah. Tetapi bapak belum memiliki cukup rezeki untuk menyekolahkan kalian. Seharusnya bapak yang meminta maaf. Salah bapak menyamakan dirimu dengan bapak. Padahal bapak tahu kau sama sekali berbeda dengan bapak. Sejak kemarin bapak tahu kau punya keinginan besar untuk bersekolah. Maka bapak berjanji tidak akan menghalangimu lagi untuk menimbah ilmu. Bapak mungkin hanya seorang nelayan kampungan yang tidak berpendidikan, tetapi bapak telah berjanji tidak akan membiarkan kamu dan adik-adikmu menjadi seperti bapak, Sagara. Jadilah orang hebat dengan hati yang besar. Tetapi jangan lupakan dari mana kau berasal."

Aku menangis. Tidak menyangka hari itu akan menjadi saat terakhir aku bersama bapak. Sepulangnya kami dari pelabuhan, Tuhan merindukan bapak untuk berada di sampingnya. Penyakit bapak yang telah tinggal di dalamnya sejak aku masih kecil kembali menyerangnya. 

Baru beberapa tahun setelah itu aku tahu bahwa perengut nyawa bapak adalah kanker. Tak ada yang dapat kami lakukan lagi. Bahkan tenaga medis di kampung. Maka dengan berat hati aku serta keluarga merelakan bapak.

Tak aku sangka bapak menitipku pada Koh Han untuk disekolahkan. Dengan seluruh tabungan yang dia simpan selama hidupnya untuk membantu sekolahku.

Sejak senja itu, aku bertekad akan banyak hal. Bahwa Sagara yang kurus dan kecil tak hanya akan menjadi warga kampung biasa. Dia berjanji kelak akan menjadi orang hebat dengan hati yang besar, dan mengarungi samudera mengelilingi dunia dengan ilmunya.

Magelang,
Maret 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun