Mohon tunggu...
Janet Wakanno
Janet Wakanno Mohon Tunggu... Penulis - janet

Pelajar yang menyukai sastra dan gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Potret Kala Itu

11 Maret 2019   13:43 Diperbarui: 13 Maret 2019   18:24 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi kamis itu berbeda. Aku bertanya-tanya mengapa demikian. Begitu juga Bang Anek yang bekerja bersamaku di sana. Kami menerka-nerka apa yang akan dipikirkan Koh Han jika datang ke toko dan tidak ada pengunjung sama sekali. Biarkan aku menceritakan sedikit tentang Bang Anek. Dia bukan orang biasa seperti remaja pada umumnya. 

Bang Anek memiliki keterbelakangan mental yang membuatnya tidak sekolah sejak kecil. Umurnya lima tahun lebih tua dariku. Tetapi akulah yang merasa paling dewasa di tempat itu. 

Aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu. Dan begitu pula Koh Han. Ibu Bang Anek sendiri keheranan ketika Koh Han mau mempekerjakan dia di toko kelontong miliknya. Padahal pedagang kecil di pasar saja menolak Bang Anek bekerja bersama mereka.

Mungkin itulah yang menjadi keistimewaan Koh Han. Yang membuat dirinya sulit dilupakan sekian banyak orang yang berhasil dia sekolahkan. Dengan nada bicaranya yang dingin dan selalu tampak sibuk serta serius, dia memiliki hati yang luar biasa dermawan.

Saat aku dan Bang Anek hampir tertidur karena saking sepinya toko hari itu, kami dikejutkan dengan Koh Han yang datang dan mengetuk meja tempat kami menyandarkan kepala kami. "Waktunya kerja, kerja. Jangan tidur." Aku dan Bang Anek mengangguk pelan kemudian melanjutkan kegiatan kami mengecek perlengkapan di toko yang sebenarnya tidak perlu.

"Sagara?" suara berat Koh Han memanggilku. Aku menghampirinya dan bertanya kenapa. Koh Han menyuruhku ke kota dan membeli beberapa perlengkapan yang kurang di toko kami. Aku dengan semangat mengiyakan apa yang Koh Han katakan.

Aku segera berlari ke depan toko begitu Koh Han telah memberiku secarik kertas yang akan aku berikan pada toko di kota untuk aku beli. Aku mengayuh sepedaku dengan terlalu semangat. Sudah lama sejak aku terakhir kali aku ke kota. Aku ingat terakhir aku kesana bersama bapak untuk membeli sepeda dan perlengkapan sekolahku. Betapa itu menjadi hari paling bahagia bagiku.

Sudah sejam sejak aku mengayuh sepedaku ke kota dan akhirnya tiba di toko yang dimaksudkan Koh Han. Aku menunggu beberapa menit untuk akhirnya barang-barang itu ada di tanganku. Aku membawa mereka ke atas sepedaku, mengikatnya agar tidak jatuh, dan kembali mengayuh sepedaku ke kampung.

Namun aku menemukan sesuatu yang asing di sana. Anak-anak seusiaku mengenakan seragam sekolah dan berlarian ke sana ke mari di depan halaman sekolah. Hal sederhana yang mampu membuatku merasa iri hati, sejujurnya. 

Seorang Sagara kecil yang merasa dirinya harusnya berada di sana, menjadi bagian dari mereka. Tapi nyatanya tidak. Dengan mengenakan pakaian kumuh, dan beralaskan sendal yang tidak layak pakai, aku hanya berdiri di sana. Menyaksikan kebahagiaan anak-anak itu.

Tanpa sadar aku turun dari sepeda dan berjalan mendekati pagar sekolah. Tanganku yang kecil menyentuh pagar itu dengan penuh harapan. Begitu bel dibunyikan, anak-anak itu berhenti melakukan kegiatan mereka dan kembali ke kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun