Aku bisa dibilang seorang adventurer, explorer yang enggak betah berdiam di satu tempat terlampau lama. Baru-baru ini, aku menetap di suatu daerah di Kramat Jati. Kebetulan, sambil mengisi “kekosongan” aku menjadi relawan di sebuah LSM. Namanya juga relawan, jangan membayangkan aku bisa tidur di sebuah penginapan berbintang, aku tidur di kantor beralaskan karpet, tanpa bantal, tanpa apa pun. Keadaan ini aku ambil sebagai sebuah pembelajaran agar bisa lebih mensyukuri hidup dan segala anugerah yang sudah Allah berikan. Selama ini aku masih sering mengeluh dan rewel dengan keadaan atau sesuatu di luar yang aku harapkan.
Dua malam lalu, 15 November di depan kantor sudah terparkir dua buah mobil bak terbuka yang penuh dengan barang-barang untuk dijual. Mobil pertama sepertinya menjual es krim dan mobil kedua menjual buku-buku. Tadinya aku hanya melongok saja ke luar, aku pikir mereka hanya numpang berjualan saja di depan kantor meski tanpa permisi. Tapi semakin malam, suasana di luar semakin ramai. Di samping kantor terdengar tawa dan teriakan anak-anak kecil. Bahkan ada satu dua rengekan dan tangisan meminta sesuatu. Karena penasaran, akhirnya aku menutup laptop dan melangkah ke luar. Wow! Ternyata di luar ada pasar malam!
Pasar Malam
Sepanjang koridor jalan, kiri dan kanan penuh dengan luapan orang-orang yang mengerubungi penjual. Dari mulai penjual baju, buku, es krim hingga Barbie. Saat melongok ke sebelah kanan, di sana ada arena bermain dadakan yang sudah dipenuhi antrean ibu-ibu muda yang menggendong anak-anak mereka yang masih balita. Aku sangat tertarik untuk bergabung dalam hiruk pikuk pasar malam itu. Sudah sangat lama aku tidak memiliki kesempatan untuk menikmati momen-momen serunya pasar malam.
Berhubung meja kerjaku masih amburadul dan seragamku juga masih resmi yang enggak enak banget kalau buat jalan-jalan ke pasar malam dengan memakai jas, maka aku kembali ke kantor dan mengganti seragamku dengan baju kasual yang santai. Aku mengantongi uang sepuluh ribu rupiah. Niatnya sih untuk membeli makanan karena aku belum makan malam. Tak lupa aku mengantongi kamera pocket dan HP. Sengaja aku tak membawa tas dan dompet, biar lebih leluasa dan simpel.
Gerai demi gerai penjual aku datangi meski tak ada niatan untuk membeli, sekadar memanjakan mata dengan buku, baju, sandal, makanan, kacamata, dompet yang sebagian besar aku taksir adalah barang-barang murah dari China. Perhatianku tertuju kepada seorang bapak tua yang menjual boneka Barbie dengan banyak pilihan. Ia dikerubungi oleh anak-anak perempuan yang dari rona wajah mereka terlihat sangat bahagia. Ya … kebahagiaan dan kepolosan yang tak mungkin akan tampak menghiasi wajahku. Aku sudah ditempa dengan begitu banyak cobaan hidup, hingga melihat hidup tak sesederhana dulu saat aku seusia mereka. Aku rindu tawa itu. Lalu aku memutuskan untuk bergabung dalam kerumunan mereka dan ikut berjongkok. Kebetulan tempat yang tersisa hanya di samping bapak penjual boneka saja.
Pak Barbie dan dagangannya
Bapak tua yang aku taksir usianya sudah lebih dari enam puluh tahun itu tengah sibuk melayani anak-anak. Meski kebanyakan dari mereka hanya sekadar melihat-lihat atau memegang, tentu mereka tak mengantongi uang untuk membeli, mengingat penduduk sekitar bukanlah mereka yang berdaya beli tinggi. Namun bapak tua itu dengan sabar melayani mereka. Bahkan ada satu dua anak yang minta Barbie-nya disisir, diganti bajunya dan masih banyak permintaan lainnya. Karena si bapak tua itu terlihat kerepotan, maka aku menawarkan diri untuk membantunya. Dan pak tua mempersilakanku sambil tersenyum.
Sambil memakaikan gaun untuk boneka dan menyisiri rambut si Barbie, kami bercakap-cakap. Dari ceritanya aku tahu kalau bapak tua itu memiliki tiga orang anak yang semuanya sudah menikah. Namun sayang, karena tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup, nasib ketiga anak dan menantunya tidak begitu baik, sehingga sampai sekarang ketiga keluarga kecil itu masih menyatu dengan keluarga induk yang dikepalai oleh Pak Barbie. Begitu ia menyebut dirinya. Jadi ia adalah tulang punggung bagi empat keluarga sekaligus. Makanya, selain berjualan dari rumah ke rumah, Pak Barbie juga sering bergabung untuk berjualan di pasar malam. Katanya ia hanya cukup membayar sekitar lima belas ribu rupiah untuk bisa bergabung dalam rombongan festival. Biasanya apabila tak ada pasar malam, setiap malam sabtu dan minggu Pak Barbie berjualan di pasar malam Batu Ampar.
Aku sangat kagum dengan perjuangan Pak Barbie yang wajahnya selalu dihiasi senyum yang ramah, meski beberapa giginya telah tanggal dan rambutnya memutih. Lalu aku tanya, apakah dengan berjualan seperti ini si bapak bisa menutupi semua kebutuhan keluarga yang begitu banyak?
“Tentu tidak, Neng. Neng bisa perkirakan sendiri penghasilan Bapak berapa tiap harinya. Kadang kalau hujan, sehari tidak bisa menjual satu pun boneka. Padahal setiap hari kami tetap harus makan.”
“Terus gimana makannya, Pak?” tanyaku ingin tahu.
“Ya kalau kami orangtua, meski lapar pun enggak akan nangis, Neng. Yang penting bagi saya adalah cucu-cucu saya yang jumlahnya lima orang bisa makan. Saya dan anak-anak paling hanya bisa makan sehari sekali.”
“Subhanallah. Istri Bapak masih ada?”
“Istri Bapak sudah lama meninggal. Terkena kanker.”
Pak Barbie berkaca-kaca dan menghentikan sisirannya pada boneka di tangannya. Seperti ada luka yang begitu dalam dan menganga di dasar hatinya.
“Duh, Pak. Mohon maaf. Saya jadi merasa bersalah.”
“Enggak apa-apa, Neng. Justru yang bersalah itu Bapak. Coba kalau Bapak punya uang, tentu Bapak bisa membawa istri Bapak berobat. Anak-anak Bapak tak harus kehilangan ibunya.”
“Jangan bilang seperti itu, Pak. Insya Allah, Allah menempatkan istri Bapak di tempat terbaik. Amin.”
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan boneka-bonekanya. Tapi Pak Barbie tetap bercerita tentang almarhumah istrinya. Sungguh potret nyata gagalnya pemerintah memberikan jaminan kesehatan bagi warganya yang kurang mampu. Rumah sakit, dokter, klinik bahkan puskesmas sekalipun didesain untuk kepentingan-kepentingan ekonomis. Tak ayal, sudah ribuan bahkan mungkin jutaan warga miskin yang kehilangan nyawa tanpa pertolongan, apalagi sosialisasi pencegahan dini terhadap kanker minim sekali.
Setelah cukup pegal menyisiri dan mengganti gaun-gaun Barbie, tampak satu dua anak yang merengek kepada ibunya minta dibelikan. Harganya berkisar antara dua puluh hingga empat puluh ribu. Cukup mahal untuk ukuran penduduk Kramat Jati yang notabene mengandalkan mata pencaharian dari berjualan makanan ringan ataupun kuli kasar. Aku mohon pamit kepada Pak Barbie setelah beberapa anak-anak pergi, dan hanya tinggal satu dua saja di sana. Pak Barbie membungkus satu boneka ke dalam plastik berwarna hitam dan menyodorkannya untukku. Tapi dengan halus aku menolaknya. Sungguh aku tak tega, bisa jadi uang dua puluh atau empat puluh ribu adalah biaya hidup dia untuk satu bahkan dua hari. Semoga kelak aku ada kelebihan rezeki dan bisa berbagi dengannya sekeluarga.
Aku berniat untuk kembali ke kantor mengingat hari sudah mulai malam dan perut keroncongan. Sebelum masuk, aku berjalan mencari pedagang nasi goreng yang rencananya akan aku makan di kantor saja. Saat melintasi arena bermain banyak anak laki-laki yang tengah asyik bermain. Di samping arena berdiri lima bocah kecil, satu di antaranya tak berbaju. Aku tertarik untuk melihat permainan apa saja yang tengah mereka mainkan. Aku mendekat dan mengambil beberapa foto. Lalu aku bertanya kepada bocah kecil yang tak berbaju itu.
“Dek, main apaan sih itu?”
“Loncat-loncatan, Mbak.”
“Kok Adek enggak ikut main. Harus bayar ya?”
“Iya, Mbak, aku pengin main, tapi enggak punya uang. Setiap ada pasar malam aku pasti ke sini, Mbak, ini sama adek-adek. Tapi ngeliat doing,” ujarnya sambil memegang bahu kedua adeknya yang semuanya laki-laki.
“Kita pengin ngerasain maen, Mbak. Tapi Ibu kagak pernah ngasih duit.”
“Memang Ibu sama bapaknya di mana? Enggak ikut ke sini ya?”
“Kagak, Mbak. Ibu di rumah, bapak kita kagak punya,” jawabnya polos.
Tiga bocah kakak beradik itu masih saja berdiri memandangi teman-temannya yang tengah bermain dengan tatapan “ingin”. Aku berdiri di samping mereka bersama dua bocah lain yang kelihatannya sama-sama tak diberi uang oleh ibunya.
Salah satu bocah paling kecil mendekatiku dan meraih ujung bajuku.
“Mbak, maen ya … aku belum pernah maen. Abang juga belum pernah. Mbak, maen ya, Mbak …” rengeknya kepadaku sambil terus menarik-narik ujung bajuku.
Abang pemilik mainan melihat kami. Dia bertanya kepadaku.
“Itu anak siapa, Mbak?”
“Wah saya kagak tahu, Bang.”
“Eh, udah sana pergi, jangan rengek-rengek ke si Mbak.”
“Nggak ape, Bang. Gini deh aku bayarin nih buat lima anak. Berape, Bang? Jangan mahal-mahal ye,” tanyaku dalam dialek Betawi.
“ Satu anak tiga ribu, Mbak. Lima anak lima belas.”
“Yah, kemahalan, Bang. Aye cuma ade duit sepuluh ribu. Boleh ye, Bang, buat lima anak. Kan udah malem ni.”
“Ya udah deh.”
Loncat-loncatan di Trampolin
Abang itu menaikkan satu per satu anak ke arena bermain. Anak-anak itu terlihat sangat senang. Mereka tertawa begitu lepas. Aku lupa dengan perutku yang keroncongan. Aku lupa dengan malam yang semakin larut. Aku lupa dengan rasa lelah yang sudah di ubun-ubun. Aku berdiri menikmati tawa mereka. Sesekali mereka memaksaku untuk naik bermain bersama mereka. Tapi aku bilang aku mainnya di sini aja sambil mengambil gambar mereka dengan kamera sakuku.
Saat anak-anak tengah asyik bermain, tiba-tiba ada seorang ibu dengan bikini merah plus dandanan aduhai menghampiri kami. Anak-anak yang tadi tertawa tiba-tiba diam.
“Eh, turun lu bocah. Lu cari mati ya main di sini? Cepet pulang!”
Ketiga bocah bersaudara itu lalu turun dengan wajah ketakutan. Mungkin itu ibunya, pikirku. Sangat kontras sekali penampilannya. Ibunya begitu necis dengan dandanan yang tebal, sedangkan anak-anaknya lusuh bahkan ada satu bertelanjang dada.”
Perempuan itu menjewer ketiga bocah bergiliran, satu per satu dan menggiring mereka pulang. Ironis. Aku hanya mematung. Tak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Tak bisa bergerak menolong mereka, bahkan melangkah satu inci pun aku tak bisa. Aku kaget dengan pemandangan yang aku tahu hanya di sinetron-sinetron atau buku-buku dongeng tentang ibu tiri yang jahat. Sekarang semua adegan itu dipentaskan di depan panggung hidupku seperti tayangan live reality show.
Aku mengumpulkan seluruh kesadaran dan melangkahkan kaki menuju kantor. Aku mengunci pintu rapat-rapat. Air mataku jatuh bercucuran, bukan karena Pak Barbie, bukan ketiga bocah itu, bukan Izroil, bukan untuk siapa-siapa. Entah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H