“Eh, turun lu bocah. Lu cari mati ya main di sini? Cepet pulang!”
Ketiga bocah bersaudara itu lalu turun dengan wajah ketakutan. Mungkin itu ibunya, pikirku. Sangat kontras sekali penampilannya. Ibunya begitu necis dengan dandanan yang tebal, sedangkan anak-anaknya lusuh bahkan ada satu bertelanjang dada.”
Perempuan itu menjewer ketiga bocah bergiliran, satu per satu dan menggiring mereka pulang. Ironis. Aku hanya mematung. Tak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Tak bisa bergerak menolong mereka, bahkan melangkah satu inci pun aku tak bisa. Aku kaget dengan pemandangan yang aku tahu hanya di sinetron-sinetron atau buku-buku dongeng tentang ibu tiri yang jahat. Sekarang semua adegan itu dipentaskan di depan panggung hidupku seperti tayangan live reality show.
Aku mengumpulkan seluruh kesadaran dan melangkahkan kaki menuju kantor. Aku mengunci pintu rapat-rapat. Air mataku jatuh bercucuran, bukan karena Pak Barbie, bukan ketiga bocah itu, bukan Izroil, bukan untuk siapa-siapa. Entah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H