Mohon tunggu...
Jahar Haiba ID
Jahar Haiba ID Mohon Tunggu... -

saya bercita-cita ingin jadi novelis dan penulis skenario film

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Bilik Raudhah

14 Agustus 2010   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:02 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara Haekal mengalami masalah ketika mau berangkat ke mesjid. Selalu saja ia kalah lebih cepat memakai sendalnya. Siapa sih yang nggakngemodal beli sandal jepit, bikinkeselaja. Sudah tahu ghasab itu dosa, masih saja dilakukan, Haekal menggerutu dalam hati.

Dengan terpaksa Haekal berangkat ke mesjid dengan bertelanjang kaki. Dia harus banyak belajar ekstrasabar karena mau tidak mau kejadian seperti ini akan terus berulang. Semoga hatiku yang dongkol ini bisa sembuh nanti di mesjid, pikirnya.

Imam yang tidak lain adalah Pak Kyai mengangkat kedua tangan sembari mengumandangkan takbiratul ihram. Makmum yang terdiri atas dua shaf kurang mengikuti imam. Shalat shubuh kali ini Pak Kyai membaca surat Al-’Alaa dan At-Thariq. Pagi yang dingin begitu hening. Bacaan imam sangat fasih, tartil dan penuh penghayatan.

Sementara itu Rahman, Fadli, Ahmed dan beberapa santri lain masih sibuk mengantre di jamban. Mereka telah kehilangan pahala shalat berjama’ah di masjid. Sebetulnya mereka ingin shalat di masjid, tetapi rasa malu menyergap hati mereka. Mereka pun akhirnya bersepakat melaksanakan shalat di ruang belajar. Sehingga ketika ta’lim pagi akan dimulai, mereka sudah duduk di ruangan itu dengan berusaha bersikap tenang untuk menutupi kecemasan dalam hati mereka. Hati mereka tetap saja gusar kuatir ketahuan oleh pihak pesantren lantaran bangun kesiangan.

Tiap kali mereka melanggar peraturan, selalu terbit penyesalan. Namun mereka selalu saja mengulanginya meski sebetulnya mereka telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Menepati janji pada diri sendiri ternyata lebih sulit ketimbang menepati janji pada orang lain. Mendidik dan memperbaiki diri sendiri jauh lebih sulit daripada mengkritik dan meluruskan orang lain yang berbuat salah.

Seperti biasa, belajar di pagi hari selalu diwarnai dengan suasana yang memprihatinkan. Padahal seharusnya pagi hari adalah waktu yang sangat baik digunakan untuk belajar. Suasananya yang segar memungkinkan setiap orang yang mengkaji ilmu akan lebih cepat memahami. Lagi pula, pada saat pagi pikiran orang masih segar, belum digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain.

Namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Pikiran sebagian besar para santri pada pagi hari tidak bisa berfungsi. Otak mereka masih beku. Mereka manggut-manggut bukan karena paham atas penjelasan dari ustadz, melainkan terkantuk-kantuk. Kitab yang ada di hadapan mereka tidak berarti, karena mereka pikiran mereka belum berfungsi. Otak mereka belum mampu mencerna ilmu yang ada dalam kitab itu.

Mengantuknya mereka sebetulnya bukan tidak beralasan. Ada diantara mereka yang memang hobinya itu tidur. Ada pula yang hobinya begadang. Mereka mengobrol kesana-kemari tidak ada manfaatnya sampai larut malam. Coba tebak apa yang mereka obrolkan? Yang mereka obrolkan adalah tentang perempuan, tentang budaya hedonisme, dan segala hal sia-sia tanpa makna.

Seorang wanita telah dilengkapi oleh Tuhan

dengan keindahan jiwa dan raga adalah suatu kebenaran,

yang sekaligus nyata dan maya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun