Mohon tunggu...
Jahar Haiba ID
Jahar Haiba ID Mohon Tunggu... -

saya bercita-cita ingin jadi novelis dan penulis skenario film

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Bilik Raudhah

14 Agustus 2010   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:02 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

PERISTIWA DI PAGI SHUBUH

Tabuh berbunyi

Gemparkan alam sunyi

Berkumandang suara adzan

Mendayu ... memecah sunyi

Selang-seli sahutan ayam

Tetapi insan kalaupun ada hanya

Mata yang celik dipejam lagi

Hatinya penuh benci

Berdengkurlah kembali

Begitulah peristiwa di shubuh hari

Desau angin pagi membius keheningan. Dinginnya sampai ke sumsum dan tulang-tulang. Hawa dingin mengundang setiap orang untuk terlena dan bersembunyi di balik selimut tebal. Akhirnya mereka yang tak kuasa melawan dan mengendalikan nafsunya melupakan kewajibannya kepada Sang Pencipta alam.

Fajar sidik telah menampakkan diri. Suara tahriman mengalun dari mesjid yang berlokasi tak jauh dari kompleks pesantren Raudhatul Falah. Hawa musim kemarau saat pagi hari terasa sangat dingin. Ayam bertasbih lewat kokokannya memecah keheningan semenjak dini hari. Mereka saling bersahutan memuji Pencipta alam.

Suara teriakan bel membuat kaget para penghuni kobong. Tetapi, hanya beberapa gelintir orang yang menyadari bahwa mereka harus beranjak dari pembaringan yang melenakannya. Mereka teingat pada salah satu firman Sang Pencipta alam. Sebagian yang lain mengetahui, namun mereka terhalangi oleh kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara.

Sebelum beranjak ke jamban, Haekal mengajak teman sekamarnya dengan mengguncang-guncang tubuh mereka yang masih terbujur kaku. Semoga saja Allah memberikan hidayah pada kami untuk bisa bangun lebih awal, bisik hatinya.

Wahai orang-orang yang berselimut,” ujar anak muda berambut ikal itu dengan tenang, tapi cukup tegas. “Bangunlah, lalu berilah peringatan!

Haekal berusaha membangunkan Ahmed, Rahman, dan Fadli dengan sabar, meskipun mereka belum merespon sedikit pun. Begitulah memang kebiasaan mereka tiap pagi. Dia juga dulu begitu. Saat di rumah, lelaki delapan belas tahunan itu sering dibangunkan oleh abah dan ibunya. Susahnya, naudzubillah … Minta ampun. Aku takkan mengulanginya lagi. Masa lalu yang kelam itu hanya tinggal kenangan, hatinya bergerimis mengingat kelakuan jeleknya dahulu. Masa lalu yang kelam biarlah kukubur dan menjadi iktibar untuk masa depan, bisik hatinya lagi.

Tanpa sadar, kedua sudut mata Haekal basah. Sekarang dia semakin paham beginilah rasanya orangtua mereka mendidiknya. Ketika dia dibangunkan malah suka marah-marah. Ketika abah dan ibunya menasehati, ia malah menganggap nasehat itu hanyalah angin lalu yang tidak bermakna sama sekali. Duh ... Gusti hampura abdi... abah ... ibu hampura abdi. Lalu bayangan lain pun muncul. Dulu, ia sering memusuhi kakaknya, Arini. Arini dianggapnya lebih cerewet ketimbang ibunya. Rasanya malas bertemu jika kakaknya pulang dari Bandung. Kalau ketemu pasti kakaknya akan menceramahinya habis-habisan. Mengkritik rambutnya dicat warna pirang, juga mengkritik celana jeans belelnya yang sengaja di lubangi di bagian tumit dan pahanya. Astaghfirullah, Haekal berucap dengan lirih sambil menyusut air matanya yang masih mengalir.

Warabbaka fakabbir, dan agungkanlah Tuhanmu. Ahmed, bangun! Rahman, Fadli … sebentar lagi subuh. Cepetan bangun!”

Akhirnya Fadli dan Rahman menggeliat dengan malas. Dengan langkah yang lunglai mereka pergi ke Jamban. Haekal paling bersemangat. Sedangkan Ahmed masih terkulai. Dia beralasan sakit, lemas. Katanya nanti bangun sepuluh menit lagi. Seperti itulah Ahmed. Dia selalu saja mengulur-ulur waktu. Sampai akhirnya iqamat dari mesjid sudah dikumandangkan, barulah kemudian Ahmed mengambil air wudhu.

Keadaan santri yang lain pun persis sama. Kebanyakan dari mereka masih terbuai di alam bawah sadarnya. Diantara mereka sebetulnya ada yang sadar bahwa sudah waktunya mereka beranjak dari tempat tidur. Namun mereka dibawah kendali hawa nafsu mereka. Sehingga ketika mereka mendengar adzan, mereka malah membetulkan selimut, menutup telinga dan kepala dengan selimut itu.

Santri yang sudah berangkat ke mesjid baru Amir dan Mahbub. Kedua santri ini memang beda dari santri kebanyakan. Mereka berdua sangat bersemangat mencari ilmu sekaligus mengamalkannya. Dari dua belas orang santri yang ada, hanya mereka berdua yang tidak banyak tingkah, selalu taat pada peraturan pesantren, dan hormat kepada para ustadz dan keluarga pesantren.

Sementara Haekal mengalami masalah ketika mau berangkat ke mesjid. Selalu saja ia kalah lebih cepat memakai sendalnya. Siapa sih yang nggakngemodal beli sandal jepit, bikinkeselaja. Sudah tahu ghasab itu dosa, masih saja dilakukan, Haekal menggerutu dalam hati.

Dengan terpaksa Haekal berangkat ke mesjid dengan bertelanjang kaki. Dia harus banyak belajar ekstrasabar karena mau tidak mau kejadian seperti ini akan terus berulang. Semoga hatiku yang dongkol ini bisa sembuh nanti di mesjid, pikirnya.

Imam yang tidak lain adalah Pak Kyai mengangkat kedua tangan sembari mengumandangkan takbiratul ihram. Makmum yang terdiri atas dua shaf kurang mengikuti imam. Shalat shubuh kali ini Pak Kyai membaca surat Al-’Alaa dan At-Thariq. Pagi yang dingin begitu hening. Bacaan imam sangat fasih, tartil dan penuh penghayatan.

Sementara itu Rahman, Fadli, Ahmed dan beberapa santri lain masih sibuk mengantre di jamban. Mereka telah kehilangan pahala shalat berjama’ah di masjid. Sebetulnya mereka ingin shalat di masjid, tetapi rasa malu menyergap hati mereka. Mereka pun akhirnya bersepakat melaksanakan shalat di ruang belajar. Sehingga ketika ta’lim pagi akan dimulai, mereka sudah duduk di ruangan itu dengan berusaha bersikap tenang untuk menutupi kecemasan dalam hati mereka. Hati mereka tetap saja gusar kuatir ketahuan oleh pihak pesantren lantaran bangun kesiangan.

Tiap kali mereka melanggar peraturan, selalu terbit penyesalan. Namun mereka selalu saja mengulanginya meski sebetulnya mereka telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Menepati janji pada diri sendiri ternyata lebih sulit ketimbang menepati janji pada orang lain. Mendidik dan memperbaiki diri sendiri jauh lebih sulit daripada mengkritik dan meluruskan orang lain yang berbuat salah.

Seperti biasa, belajar di pagi hari selalu diwarnai dengan suasana yang memprihatinkan. Padahal seharusnya pagi hari adalah waktu yang sangat baik digunakan untuk belajar. Suasananya yang segar memungkinkan setiap orang yang mengkaji ilmu akan lebih cepat memahami. Lagi pula, pada saat pagi pikiran orang masih segar, belum digunakan untuk memikirkan hal-hal yang lain.

Namun yang terjadi justru malah sebaliknya. Pikiran sebagian besar para santri pada pagi hari tidak bisa berfungsi. Otak mereka masih beku. Mereka manggut-manggut bukan karena paham atas penjelasan dari ustadz, melainkan terkantuk-kantuk. Kitab yang ada di hadapan mereka tidak berarti, karena mereka pikiran mereka belum berfungsi. Otak mereka belum mampu mencerna ilmu yang ada dalam kitab itu.

Mengantuknya mereka sebetulnya bukan tidak beralasan. Ada diantara mereka yang memang hobinya itu tidur. Ada pula yang hobinya begadang. Mereka mengobrol kesana-kemari tidak ada manfaatnya sampai larut malam. Coba tebak apa yang mereka obrolkan? Yang mereka obrolkan adalah tentang perempuan, tentang budaya hedonisme, dan segala hal sia-sia tanpa makna.

Seorang wanita telah dilengkapi oleh Tuhan

dengan keindahan jiwa dan raga adalah suatu kebenaran,

yang sekaligus nyata dan maya,

yang hanya bisa kita fahami dengan cinta kasih,

dan hanya bisa kita sentuh dengan kebajikan.

Setiap lelaki mencintai dua orang perempuan,

yang pertama adalah imaginasinya

dan yang kedua adalah yang belum dilahirkan.

2. NYANYIAN SEKEPING HATI

Aku ingin hidup secerah mentari

Yang bersinar di taman hatiku

Aku ingin seriang kicauan burung

Yang terdengar di jendela kehidupan

Sedamai pantai yang memutih

Sebersih tetesan embunan pagi

Dan ukhuwah kini pasti berputik

Menghiasi taman kasih yang harmoni

Tidak sedikit orang terpelajar malah menjadi sampah masyarakat. Seharusnya mereka memberikan pencerahan, memberikan manfaat kepada orang-orang di sekitarnya. Tetapi yang terjadi justru malah sebaliknya, mereka meresahkan orang awam dengan menipu dan membodohinya.

Lihatlah para politisi yang selalu mengumbar janji dan menebar senyuman palsu. Seringkali mereka beramal sekedar untuk mencari simpati dan popularitas. Mereka berderma agar media meliput dan menyiarkannya ke seantero dunia. Mereka sebetulnya pintar, namun menjadi manusia yang bodoh lantaran menutupi kebenaran dan tidak mau berpihak kepada kebenaran.

Namun sosok Arini bukanlah tipe orang macam itu. Dia tidak akan pernah mau menjadi orang bodoh yang mengaku cerdas. Dia ingin bersama orang-orang di sekelilingnya menjadi orang yang tercerahkan oleh cahaya peradaban. Dia ingin kehidupan ini tidak begini-begini saja. Dia tidak ingin hidup cuma memikirkan diri sendiri.

Arini tiba-tiba terkenang pada masa lalunya dengan sahabat-sahabat dekatnya waktu kuliah. Sahabatnya itu bernama Nur. Dialah sahabat terbaiknya tempat berbagi suka dan duka dalam menuntut ilmu dan berdakwah.

”Kalo kita sudah lulus nanti, kita akan jarang ketemu dan bersama lagi, Rin,” ungkap Nur.

Kamu jangan ngomong gitu, Nur. Aku jadi sedih,” Arini menyela sambil memegang erat jemari Nur.

Eh gimana mengenai calon pendampingmu. Apakah kamu sudah mantap?” lanjut Arini.

Aku sebetulnya udah cocok. Dia adalah sosok yang shaleh. Cuma apakah nanti kami akan mengarungi kehidupan rumah tangga dengan bahagiaS? Aku dengannya berbeda harakah. Kemudian keluargaku belum menerima seratus persen karena masalah strata pendidikan. Orangtuaku menginginkan calon suamiku minimal sarjana sama sepertiku, sementara dia hanyalah lulusan SMA.”

Arini tiba-tiba merindukan Nur. Bagaimanakah kabar dia sekarang? Bagaimanakah dengan pernikahannya? Apakah mereka berdua sudah dikaruniai putra? Ah ... ingin sekali aku bertemu denganmu, Nur.

Terakhir bertemu dengan Nur adalah pada saat resepsi pernikahannya. Nur tampak sangat bahagia. Dia sangat lega karena akhirnya tidak mempermasalahkan soal strata pendidikan calon suaminya. Saat itu Nur memeluk Arini dengan Erat.

Nur berbisik ke telinga Arini, ”Rin, tinggal giliran kamu. Kapan kamu menikah?”

Arini tidak menjawab. Hanya tersenyum.

”Aku tidak butuh senyumanmu. Yang aku harapkan adalah jawabanmu bahwa kamu akan menikah secepatnya,” ucap Nur sambil melepaskan pelukannya.

”Aku belum menemukan calon pendamping yang tepat, Nur.”

Jangan berpikir terlalu lama, Rin. Banyak ikhwan yang sebetulnya sangat berharap padamu. Tidak hanya ikhwan, siapa aku lupa lagi namanya ... si polisi muda itu masih mengejar-ngejar kamu? Terus Ziyad, yang dari sejak awal kuliah hingga kini masih menyukaimu gimana? Apa kamu belum juga membuka hati untuk dia?”

Arini tertawa lepas karena godaan Nur.

”Entahlah, Nur. Aku belum juga merasa ada yang klop. Aku ingin membangun rumah tangga atas dasar cinta.”

Oiya itu jelas harus. Rumah tangga tanpa cinta tidak akan menciptakan keluarga yang harmonis. Cuma pertimbangkan pula umur kita, Rin. Sekarang usia kamu berapa? Dua empat kan? Usia ini sangat produktif dan aman buat menikah. Jangan menunda-nunda. Jika usia kita terlalu lanjut kuatir bermasalah.”

Pikiran Arini tiba-tiba meloncat. Dia berpikir tentang masalah sosial kemasyarakatan. Arini berpandangan bahwa di sisi lain ada orang lain yang harus dipikirkan. Ada orang-orang lemah yang terus-menerus mendapatkan penindasan. Ada rakyat yang dianiaya oleh rezim tiran. Ada sumber daya alam anugerah Allah yang seharusnya dirasakan oleh seluruh rakyat malah dieksploitasi oleh segelintir orang, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Semuanya itu merupakan objek pemikiran yang menuntut pemecahan yang tidak serampangan. Menurut Arini, solusi yang ditawarkan haruslah solusi yang cerdas dan sangat mendasar. Jika dianalogikan pada suatu penyakit, seorang dokter haruslah mendiagnosa penyakit pasiennya dengan tepat agar obat yang diberikan pun akan tepat. Begitupun halnya dengan problematika di masyarakat. Terlebih dahulu ditelusuri permasalahan mendasarnya itu apa, baru kemudian dirumuskan cara menyelesaikannya bagaimana.

Wanita yang baru saja diwisuda ini memang sungguh berbeda dari kebanyakan wanita lainnya. Di matanya ada ketajaman intelektual setajam sorot mata elang. Dalam langkahnya ada keteguhan untuk istiqamah dalam kebenaran. Dalam ayunan tangannya tersirat kekuatan yang mampu merobohkan kemungkaran.

Belum genap sebulan, Arini tinggal menetap di desa kelahirannya. Empat tahun yang lalu dia meninggalkan kampungnya. Dia pergi ke Bandung untuk melanjutkan studinya. Kini ia sudah menjadi Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I). Dia sudah merasa sangat mantap untuk mengabdi di desa tercintanya.

Hei, ada apa? Kok anak ibu ngelamun sich!?” ibu menepuk pundak Arini.

Pikiran Arini tiba-tiba buyar, masalah-masalah yang ada di pikirannya sirna.

Ah, Ibu .... ngagetin Arini aja.”

Ibu dan Arini tiba-tiba diam. Masing-masing kebingungan harus berkata apa. Ruangan keluarga menjadi senyap.

”Rin, gimana perkembangan rencana pendirian TK itu?” tanya Ibu sambil menatap mata anaknya.

”Beres, Bu. Staf pengajar ada sekitar lima orang. Proposal untuk para donatur sudah disebar. Alhamdulillah, ternyata di desa kita banyak dermawan yang peduli pada pendidikan Islam.”

”Ya syukur kalau begitu. Mudah-mudahan apa yang kamu lakukan sedikit demi sedikit dapat merubah keadaan desa kita.”

Setelah lulus kuliah Arini pulang ke Majalengka. Di desanya ia masih bingung mau mengerjakan apa. Sebetulnya dia sudah melamar mengajar di MTs. Namun sudah sebulan belum ada panggilan juga. Dia juga sudah membuat proposal untuk mendirikan sebuah TK Islam. Dia ingin menggaet para hartawan di desanya agar mau membantu dan peduli pada pendidikan Islam. Dia menamai sekolah yang akan didirikannya TK As-Silmi.

Selain berjiwa sebagai seorang guru, Arini sangat menggemari karya-karya Kahlil Gibran. Pada saat menulis, dia ketularan gaya penulis dari Lebanon tersebut. Dalam karya-karyanya, Arini kerap kali mengutip kata-kata bijak dari penulis terkenal itu. Dia sangat terkesan tulisan bijak Gibran yang berbunyi

Ketika cinta memanggilku,

maka aku akan melewatinya

walau jalannya terjal berliku,

jika cinta memelukku akan kudekap engkau

walau pedang di sela-sela sayapnya melukaiku.

Aku hanya ingin menyentuh tangan keabadian

karena Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia

karena cinta itu membangkitkan semangat hidupku

dan gejala alami pun tak mampu mengubah perjalanannya.

Arini sudah melahirkan beberapa karya. Di sela-sela kesibukannya, bersama beberapa orang sahabatnya ia mengelola sebuah buletin yang diberi nama ”Percikan As-Silmi”. Buletin ini sudah terbit beberapa kali. Dalam buletin tersebut ia menulis artikel, cerita, dan puisi. Ada seorang kenalan Haekal, pemilik rental komputer menawarkan kerjasama dalam pencetakan dan menambahkan rubik baru yaitu mengenai dunia teknologi dan komputer. Dengan senang hati Arini menerimanya. Buletin tersebut menjadi konsumsi anak-anak MTs dan MA. di MTs, buletin tersebut langsung di pasarkan oleh Arini. Sedangkan di MA, dipasarkan oleh Haekal.

Sewaktu masih kuliah, Arini sering mengirimkan karya-karyanya ke media. Tulisannya pernah di muat di Radar Bandung, Pikiran Rakyat, Kompas dan Republika. Dia juga kerap memenangkan berbagai perlombaan di tingkat universitasnya sendiri maupun di tingkat nasional.

Perhatiannya terhadap dunia Islam sangat besar. Tulisan-tulisannya adalah bentuk kepeduliannya terhadap agamanya. Dia menulis untuk berdakwah. Dia menulis untuk melawan skrenario kejahatan global yang telah dilancarkan oleh musuh-musuh Islam.

Tulisan-tulisannya adalah perlawanan terhadap kemunkaran. Menurutnya perang pemikiran yang gencar dihembuskan orang-orang membenci Islam harus dilawan lagi dengan pemikiran. Dan pemikiran yang benar tidak akan bisa dipahami oleh orang tanpa disampaikan, salah satunya dengan tulisan.

Warna akan pudar

Kuil akan ambruk

Kerajaan akan runtuh

Namun kata-kata bijaksana tetap abadi

Kata-kata itu selalu memotivasinya ketika dia tengah mengalami kejenuhan saat menulis. Dalam setiap doanya, ia selalu berdoa seperti doanya Nabi Ibrahim yang ingin selalu dikenang dalam sejarah.

Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang shalih. Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang yang datang kemudian. Dan jadikanlah aku termasuk orang yang mempusakai syurga yang penuh kenikmatan.”

Lagu Peristiwa Shubuh, Raihan

Membaca shalawat dan doa-doa menjelang Shubuh

Asrama

QS. Al-Mudatsir: 1

QS. Al-Mudatsir: 2

Ya Tuhan ampunilah saya … bapak … ibu maafkan saya

QS. Al-Mudatsir: 3

Mengambil/memakai barang orang lain tanpa meminta izin

Kahlil Gibran

Jendela Kehidupan, tim nasyid Saujana

Pergerakan, lebih spesifiknya pergerakan dakwah

Edward Thorndike

QS. As-Syua’ara; 83-85

petikan roman DIBILIK RAUDHAH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun