Dengan langkah tergesa-gesa, Iqbal keluar dari kamar di lantai dua. Dia menjinjing laptop kesayangannya. Pekerjaan yang belum usai akan ia kerjakan nanti dikantor.
”Iya sayang, came on! Kita berangkat. Cek dahulu barang-barangmu kuatir ada yang ketinggalan, sayang.”
Anak itu menuruti perkataan ayahnya. Dia menyebutkan barang-barang yang sudah dipersiapkannya dengan keras.
”Buku-buku pelajaran, Nasi untuk lunch, semuanya sudah dimasukkan ke kantong. Satu lagi aku juga sudah menyiapkan nasi buat papa.”
Iqbal tersenyum. Badannya membungkuk untuk merangkul dan menciumi anaknya. Iqbal mencubit hidung anaknya sambil tersenyum.
”Anak Cerdas. Siapa yang mengajarimu, sayang?”
”Tidak ada yang mengajariku, Dad. Aku sendiri yang merencanakannya.”
”Aku sangat menyayangimu, sayang,” Iqbal memeluk lagi anaknya.
”Me too, dad,” Hamza menjatuhkan kepalanya di pundak ayahnya.
”Dad, apakah mama juga sayang pada Hamza?” tanya anak kecil itu sambil memandangi foto close up yang terpajang di dinding ruang tengah. Foto itu menampilkan wanita berkerundung warna merah hati dan menggunakan kacamata bening.
Iqbal tertegun. Pertanyaan anaknya membuatnya terhenyak. Perasaannya seperti diaduk-aduk. Tiba-tiba terbit sebuah kerinduan. Namun sampai kapanpun kerinduan itu takkan terobati, seperti berharap sesuatu yang mustahil.