Hamza menghentikan hafalan. Tapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Pandangannya pun mengabaikan kehadiran ayahnya.
”Sayang, forgive me, please!”
”Papa jahat, keterlaluan. Telat sampai satu jam lebih. Aku sendirian di sini.”
”Maafkan papa, sayang. Papa di kantor tadi ada urusan yang begitu sulit. Terus tadi ditambah di jalan macet. Sehingga telatnya sangat lama.”
Hamza diam saja. Iqbal akhirnya tersenyum dan berusaha menghibur anaknya. Dia mengatakan pada anaknya bahwa orang yang Sabar selalu diserta Tuhan, Orang yang tidak gampang marah adalah orang yang mampu melawan syetan. Akhirnya anaknya luluh dan mampu diajak pulang. Di dalam mobil, anak itu mulai berceloteh lagi dengan riang. Anak itu mengatakan tentang perkembangan hafalannya dan melaporakan tentang nasehat dari syeikh Yusuf. Iqbal sungguh bahagia. Maka semakin bertambahlah syukurnya kepada Tuhan. Hatinya mengatakan, fabiyyi aalaa’i rabbikumaa tukadzzibaan?
Kendaraan yang membawa kedua ayah dan anak itu terus melaju menyusuri New York sore hari. Mobil itu melewati jalan-jalan besar dan jembatan Bronx Whitestone Bridge yang telihat cantik diterpa cahaya matahari sore yang mulai menguning. Di dalam mobil itu mereka berdua menikmati makanan ringan yang baru saja dibeli Iqbal sepulang dari kantor sebelum menjemput anaknya. Makanan tersebut bisa mengganjal perut mereka yang lapar. Iqbal mengajak hamza berhenti di taman yang tak jauh dari jembatan tersebut. Dulu dia pernah mengajaknya di waktu pagi untuk menikmati sunrise.
Suasana sore di taman itu tidak kalah indah di pagi harinya. Pagi hari musim semi di taman ini sungguh menyenangkan. Langit biru yang bersih tanpa awan. Pucuk-pucuk dedaunan mulai tumbuh menghijau. Rumput-rumput begitu hijau dan tertata rapi di tepi jalan. Di taman tersebut terdapat bangku-bangku warna hitam yang berjajar di tepi jalan-jalan kecil. Iqbal mengingat pertama kali dia ke sini dengan anak dan istrinya. Dia mengajak duduk anaknya dibangku yang dahulu mereka duduki.
”Dad, dulu kita ke sini menyaksikan sunrise bersama mama. Kita duduk bertiga di bangku ini.”
Iqbal berusaha menghibur anaknya.
”Sayang, lihat jembatan itu. Lebih cantik dari yang kita lihat di waktu pagi. Dia sungguh kokoh dengan dua pilar yang tegak sampai ke bawah teluk itu. Papa yakin kamu lebih kokoh dari dua pilar jembatan itu, sayang.”
Hamza memeluk ayahnya. Lalu mereka pun menghabiskan makanan ringan yang tadi belum habis selama di mobil.