Lihatlah dunia yang penuh warna
Aku jadikan semua
Untuk kulukis sempurna
Dengan pewarna yang terpatri
Dalam hatiku
Aku tidak akan pernah mau
Menjadi objek lukisan yang lain
Akulah sang pelukis sejati itu
Melukis dunia adalah tujuanku
Semua punya mimpi
Yang harus diperjuangkan
Bertahanlah dirimu
Dalam tujuan sejatimu
Ayolah kawan bergeraklah bersamaku
Mewujudkan mimpi itu
Menjadi pelukis-pelukis sejati
Mencipta dunia baru
Dambaan setiap para perindu
(Tujuanku # 1)
BAGIAN 1
KAMPUNG DUNIA
1
Semesta ini memiliki banyak galaksi yang tak terhingga jumlahnya. Bimasakti adalah salah satu di antaranya. Bimasakti dihuni oleh milyaran bintang. tata surya kita berada dalam galaksi ini. Jika dilihat dari kejauhan galaksi ini berwarna putih seperti susu. Karena itu, galaksi ini disebut dengan milky way. Salah satu sistem yang termasuk dari bagian galakasi ini adalah system tata surya.
Di sistem tata surya ini hanya ada satu planet yang memiliki kehidupan, yakni bumi. Bumi ini terus berotasi selama dua puluh empat jam. selain berotasi ia pun berevolusi mengelilingi matahari. jika bumi ini tidak mendapatkan sinar dari sang ikon tata surya itu, barangkali tidak akan ada kehidupan di bumi ini. Di bumi ini, manusia merupakan bagian kecil yang menjadi sistem dari kehidupan. sekali manusia adalah bagian kecil dari sistem kehidupan di planet bumi yang tidak berarti di semesta ini.
Dari luar angkasa, bumi terlihat berwarna paling cerah dari sekian benda-benda langit yang lain. Bulatannya terdiri sebagian besar berwarna biru, berwarna hijau, kuning, putih dan orange. Sekarang mari kita saksikan kehidupan yang lebih kecil di salah satu pelosok bumi ini. Kita lintasi lapisan atmosfer agar bisa melihat lebih jelas. Perlahan-lahan makin jelas terlihat banyak samudera yang biru dan benua-benua. Benua-benua itu terdiri atas pulau-pulau yang berpenghuni dan yang belum dijamah oleh manusia. Benua yang paling luas adalah pulau-pulau yang belum terjamah masih begitu hijau. pohon-pohonnya sangat rapat. Sementara pulau-pulau yang berpenghuni beragam. ada warna orange yang begitu rapat, dan tersusun secara teratur. Ada juga yang masih renggang dan diselingi oleh warna hijau. Di sanalah manusia hidup. Mereka menghuni bangunan-bangunan pencakar langit, mendirikan pabrik-pabrik, toko-toko, sarana olah raga, taman, sekolah, universitas, hotel, bioskop, pesawahan, perkebunan, dan segala hal yang mereka butuhkan.
Mari turun lebih ke bawah lagi untuk menghampiri sebuah benua yang konon ditemukan oleh Columbus. Dia menemukan benua yang sebetulnya sudah berpenghuni itu karena obsesi bangsanya untuk menemukan rempah-rempah yang bisa menghangatkan tubuh mereka. Columbus dikatakan sebagai penemu ’bumi baru’ tersebut itu hanya dengan menggunakan kacamata Barat karena mereka belum mengetahui benua tersebut. Sementara dari penduduk yang menghuni benua itu sendiri atau dari sudut pandang lain belum dikatakan sebagai penemu. Bagaimana dikataka sebagai penemu jika di dalamnya sudah ada manusia yang menghuninya.
Dengan sedikit menggunakan logika, seseorang dikatakan menemukan ’sesuatu’ jika belum pernah ditemukan orang lain. Begitu pula halnya, Amerika baru dikatakan benua yang benar-benar baru bagi bangsa kulit putih jika di tanah tersebut belum ada sama sekali sebuah bangsa yang menghuninya. Namun, faktanya di sana ternyata sudah ada sebuah bangsa yang mereka namakan bangsa Indian.
Ayolah turun lebih jauh lagi. Lihatlah, di sana terhampar daratan yang sungguh luas. Tanah yang diapit oleh birunya Pasifik dan Atlantik. Ada warna hijau. Sebagian besar wilayah tersebut dimiliki oleh Amerika Serikat dan Kanada. Sasaran tertuju pada negara yang dijuluki Paman Sam. Negara ini terdiri atas sejumlah negara bagian. Negara inilah yang menjadi polisi dunia saat ini dengan menggunakan hukum didasarkan pada ideologi kapitalisme.
Salah satu kota menawan dan tersohor ke seluruh dunia adalah New York. Kota ini terletak di tepi pantai Samudera Atlantik sejarar dengan kota-kota terkenal lainnya seperti Boston, Philadelphia, Washington dan kota-kota lainnya. New York adalah kota Internasional yang dijuluki ”The Bigg Apple”.
Di New York Harbour, berdiri dengan kokoh patung perempuan membawa obor. Itulah patung Liberty yang merupakan kado ulang tahun USA ke-100 dari pemerintah Perancis. Patung ini melambangkan kebebasan. Negeri inilah kiblat Demokrasi, Hak Asasi, dan Kebebasan. Dari arah laut terlihat gedung-gedung pencakar langit seakan saling berlomba mencapai puncak langit. Di antara gedung-gedung itu Empire State Building terlihat paling tinggi. Sebelum tragedi WTC, menara kembarlah gedung tertinggi di kota ini. Di depan bangunan-bangunan megah itu, terbentang Brooklyn Bridge yang cantik. Jika malam tiba, lampu-lampu akan semakin mempercantik jembatan ini.
New York adalah kota yang tak pernah mati. Pagi ini, masyarakat New York sibuk dengan aktivitas mereka. Ada yang jogging, lari pagi, ada yang sudah rapi siap-siap akan berangkat ke kantor. Jalanan sudah ramai. Mall-mall penuh sesak. Toko-toko dan restoran sudah dibuka. Televisi, koran, dan majalah begitu cepat memberikan informasi dari waktu ke waktu.
Di kota inilah tinggal seorang anak kecil yang cerdas. Tepatnya dia tinggal di kawasan Manhattan.Anak kecil yang cerdas ini bernama Hamza, lengkapnya Ahmad Hamza Santosa.
”Dad, Ayo kita berangkat!” ucap anak itu dengan bahasa Inggris yang fasih.
Dengan langkah tergesa-gesa, Iqbal keluar dari kamar di lantai dua. Dia menjinjing laptop kesayangannya. Pekerjaan yang belum usai akan ia kerjakan nanti dikantor.
”Iya sayang, came on! Kita berangkat. Cek dahulu barang-barangmu kuatir ada yang ketinggalan, sayang.”
Anak itu menuruti perkataan ayahnya. Dia menyebutkan barang-barang yang sudah dipersiapkannya dengan keras.
”Buku-buku pelajaran, Nasi untuk lunch, semuanya sudah dimasukkan ke kantong. Satu lagi aku juga sudah menyiapkan nasi buat papa.”
Iqbal tersenyum. Badannya membungkuk untuk merangkul dan menciumi anaknya. Iqbal mencubit hidung anaknya sambil tersenyum.
”Anak Cerdas. Siapa yang mengajarimu, sayang?”
”Tidak ada yang mengajariku, Dad. Aku sendiri yang merencanakannya.”
”Aku sangat menyayangimu, sayang,” Iqbal memeluk lagi anaknya.
”Me too, dad,” Hamza menjatuhkan kepalanya di pundak ayahnya.
”Dad, apakah mama juga sayang pada Hamza?” tanya anak kecil itu sambil memandangi foto close up yang terpajang di dinding ruang tengah. Foto itu menampilkan wanita berkerundung warna merah hati dan menggunakan kacamata bening.
Iqbal tertegun. Pertanyaan anaknya membuatnya terhenyak. Perasaannya seperti diaduk-aduk. Tiba-tiba terbit sebuah kerinduan. Namun sampai kapanpun kerinduan itu takkan terobati, seperti berharap sesuatu yang mustahil.
”Kenapa diam, dad?”
Hamza menepuk pundak ayahnya. Iqbal kembali sadar dan menguasai dirinya.
”Iya ... tadi Hamza nanya apa?”
”Ah ... Daddy melamun ya ... aku tadi tanya, apakah mama juga sayang pada Hamza?”
Sambil mengiring anaknya melangkah menuju mobil, Iqbal memberikan penjelasan pada anaknya.
”Tentu saja, sayang. Mama sangat menyayangimu. Dia sangat mencintai daddy dan kamu, sayang. Kamu akan tahu betapa dia sangat mencintai kita. Nanti kamu bisa melihatnya dari diarynya, sayang.”
Anak itu terus berceloteh bertanya ini-itu kepada sang ayah meskipun Avanza sudah melaju melalui jalan-jalan raya kawasan New York. Sang ayah sudah terbiasa, sehingga dia tidak marah dengan segala pertanyaan yang diajukan sang anak. Dia sudah terlatih untuk bersabar, mendidik buah hatinya itu. Dia selalu menjawab rasa penasaran dan keingintahuan anaknya.
Mereka berangkat ke Al-Kareem School, sebuah sekolah yang letaknya tidak jauh dari komplek Islamic Centre of New York. Iqbal sengaja menyekolahkan anaknya di sana agar meskipun hidup dalam gemerlap kota megapolitan, tetapi ia ingin tetap anaknya mempunyai kepribadian Islam. Jika dimasukkan ke lembaga pendidikan konvensional di sana, dia khawatir anaknya akan mendapat pengaruh budaya negatif di sana. Setelah mengantarkan anaknya, Iqbal meluncur ke kantor.
Ayahnya bekerja di Fatih Corp., sebuah lembaga yang didirikan oleh Iqbal bersama rekan-rekannya yang bergerak dalam pengembangan sumber daya manusia dan media, dan teknologi informasi. Iqbal menjabat sebagai Manajer Operasional divisi pengembangan sumber daya manusia.
Iqbal mempunyai mempunyai hobi yang sewaktu kuliah di Bandung sama sekali tidak pernah dia lakukan. Hobi ini ia dapatkan sejak ia menikah dengan Zaskia. Istrinya yang selalu memotivasi supaya dia aktif menulis. Hobi yang dia lakukan adalah menulis. Istrinya mengatakan bahwa dakwah menyebarkan opini akan cepat tersebar ke masyarakat Amerika melalui tulusan. Iqbal sungguh menyesal mengapa aktivitas yang satu ini tidak dari dahulu dia lakukan. Dia merasakan begitu banyak manfaat yang dia peroleh setelah ia menulis, terlebih lagi untuk urusan dakwah memperkenalkan ide-ide Islam.
Awalnya Iqbal merasa minder, kurang percaya diri mengirimkan tulisannya ke media-media di Amerika. Namun ternyata berkat arahan dari sang istri, akhirnya tulisannya di muat di New Yok Post. Tulisan yang pertama kali terbit itu adalah kritik terhadap praktik demokrasi di Amerika yang masih jauh dari cita-cita ideal demokrasi.
Sejak saat itu, Iqbal bertekad menjadi penulis lepas. Dia banyak menulis tentang manajemen dan pengembangan diri. Bahkan dia bertekad untuk berkarya seperti istrinya tulisannya sudah banyak di muat di media-media tersohor di Amerika dan dunia internasional, seperti Washington Post, majalah Time, The New York Times. Belakangan dia pun pernah mengirimkan tulisan-tulisannya ke media nasional Indonesia, seperti Tempo, Kompas, Bisnis Indonesia, dan The Jakarta Post.
Istrinya telah menerbitkan beberapa buku yang berhubungan dengan profesinya sebagai dosen dan psikolog. Buku-buku yang ditulisnya diantaraya adalah novel yang menceritakan tentang perjuangan seorang anak autis, buku krtitik terhadap aliran-aliran Psikologi, dan buku yang mengupas mengenai paradigma baru ilmu psikologi yang dia kembangkan dari ajaran-ajaran Islam.
***
Seperti biasa, sore hari Iqbal selalu menjemput Hamza. Hanya saja tidak biasanya dia telat seperti yang terjadi hari ini. Anaknya sudah mulai kehilangan kesabaran karena menunggu terlalu lama. Hamza menunggu di serambi masjid yang bernuansa timur tengah. Masjid itu memiliki tiga buah kubah. Satu kubah besar di tengah berwarna kuning kemerahan. Dua buah kubah berwarna emas yang berada di gerbang depan. Terdapat dua buah menara di sisi utara dan selatan. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan kaligrafi berbagai jenis khat. Pintu dan jendelanya berbentuk melingkar dan simetris. Halamannya cukup luas, dilapisi paving blok yang membentuk motif khas segi delapan dan lingkaran yang indah berwarna merah, kuning, dan putih. Halaman semakin sejuk dengan keberadaan air mancur, pepohonan rindang, dan berbagai jenis bunga yang tengah mekar di musim ini.
Hamza berulang kali melirik arlojinya. Dalam hati dia menggerutu ayahnya yang telat menjemputnya. Daddy ... cepat datang! Dia berteriak dalam hati berulang kali. Namun yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Untuk menghilangkan kekesalannya, dia mondar-mandir ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Tas tetap bertengger di punggungnya. Sudah bosan dia melakukan itu, akhirnya dia duduk sambil membanting tasnya ke lantai.
Tiba-tiba saja, Hamza teringat perkataan gurunya siang tadi. Syeikh Yousef Abu Khaleed mengatakan padanya bahwa dia mengalami penurunan dalam menghafal Al-Quran. Gurunya itu menasehati agar di rumah lebih rajin lagi menyetorkan hafalan kepada ayahnya.
”Anakku, biasanya kapan kamu menyetorkan hafalanmu kepada papamu?” tanya Syeikh Yousef.
”Setiap selesai shalat shubuh, mister.”
”Terus tingkatkan lagi, anakku. Jangan pernah malas!”
Karena perkataan gurunya itu, Hamza berjanji pada dirinya sendiri akan lebih semangat dalam menghafal dan memperbagus bacaan. Meski masih ada rasa kesal kepada ayahnya, kini anak itu mengambil mushaf dari tasnya. Detik ini dia akan menambah hafalnnya. Dia melanjutkan hafalan Surat Al-Kahfi. Dia baru menghafal sampai ayat 80. Kemudian dia menghafal ayat berikutnya dan hanyut dalam keasyikan menghafal, sehingga tidak menyadari kehadiran ayahnya.
Dari kejauhan ayahnya melangkah dengan pelan-pelan. Dia sangat bahagia saat menyaksikan anaknya tengah menghafal. Setelah Iqbal duduk di samping Hamza, barulah sadar bahwa ayahnya telah datang. Ketika Hamza melirik, Iqbal menyunggingkan senyum. Hamza tidak membalas senyuman ayahnya. Iqbal sudah tahu bahwa itu menandakan anaknya sedang marah padanya.
Hamza menghentikan hafalan. Tapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Pandangannya pun mengabaikan kehadiran ayahnya.
”Sayang, forgive me, please!”
”Papa jahat, keterlaluan. Telat sampai satu jam lebih. Aku sendirian di sini.”
”Maafkan papa, sayang. Papa di kantor tadi ada urusan yang begitu sulit. Terus tadi ditambah di jalan macet. Sehingga telatnya sangat lama.”
Hamza diam saja. Iqbal akhirnya tersenyum dan berusaha menghibur anaknya. Dia mengatakan pada anaknya bahwa orang yang Sabar selalu diserta Tuhan, Orang yang tidak gampang marah adalah orang yang mampu melawan syetan. Akhirnya anaknya luluh dan mampu diajak pulang. Di dalam mobil, anak itu mulai berceloteh lagi dengan riang. Anak itu mengatakan tentang perkembangan hafalannya dan melaporakan tentang nasehat dari syeikh Yusuf. Iqbal sungguh bahagia. Maka semakin bertambahlah syukurnya kepada Tuhan. Hatinya mengatakan, fabiyyi aalaa’i rabbikumaa tukadzzibaan?
Kendaraan yang membawa kedua ayah dan anak itu terus melaju menyusuri New York sore hari. Mobil itu melewati jalan-jalan besar dan jembatan Bronx Whitestone Bridge yang telihat cantik diterpa cahaya matahari sore yang mulai menguning. Di dalam mobil itu mereka berdua menikmati makanan ringan yang baru saja dibeli Iqbal sepulang dari kantor sebelum menjemput anaknya. Makanan tersebut bisa mengganjal perut mereka yang lapar. Iqbal mengajak hamza berhenti di taman yang tak jauh dari jembatan tersebut. Dulu dia pernah mengajaknya di waktu pagi untuk menikmati sunrise.
Suasana sore di taman itu tidak kalah indah di pagi harinya. Pagi hari musim semi di taman ini sungguh menyenangkan. Langit biru yang bersih tanpa awan. Pucuk-pucuk dedaunan mulai tumbuh menghijau. Rumput-rumput begitu hijau dan tertata rapi di tepi jalan. Di taman tersebut terdapat bangku-bangku warna hitam yang berjajar di tepi jalan-jalan kecil. Iqbal mengingat pertama kali dia ke sini dengan anak dan istrinya. Dia mengajak duduk anaknya dibangku yang dahulu mereka duduki.
”Dad, dulu kita ke sini menyaksikan sunrise bersama mama. Kita duduk bertiga di bangku ini.”
Iqbal berusaha menghibur anaknya.
”Sayang, lihat jembatan itu. Lebih cantik dari yang kita lihat di waktu pagi. Dia sungguh kokoh dengan dua pilar yang tegak sampai ke bawah teluk itu. Papa yakin kamu lebih kokoh dari dua pilar jembatan itu, sayang.”
Hamza memeluk ayahnya. Lalu mereka pun menghabiskan makanan ringan yang tadi belum habis selama di mobil.
”Lihat, Dad. Sunset! Sangat indah, ya ... ”
Mereka berdua menyaksikan matahari yang tenggelam. Cuaca yang cerah makin memperjelas keindahan benda yang menjadi pusat tata surya itu. Tidak ada awan yang menghalangi. Senja itu, ufuk barat diterangi dengan warna kemilau keemasan. Matahari yang merah menyala tinggal seperempat lagi. Dan perlahan-lahan matahari itu menghilang bersama hilangnya kemilau keemasan pertanda malam telah datang.
”Ayo, sayang kita pulang. Sebentar lagi adzan maghrib. Kita shalat berjamaah di masjid ya,” ungkap Iqbal kepada anaknya sambil menuntunnya.
(PETIKAN ROMAN NEW YORK'S DREAMS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H