Saling bertempur mati-matian demi keyakinan yang berbeda.
Para pengkhianat bersemangat karena terbayang mendapatkan kemuliaan jika kudeta berhasil. Setidaknya mereka akan naik pangkat dan mendapatkan harta jarahan sesuai janji Panglima Natadenta.
Bagi para tentara setia, bertempur hidup dan mati adalah sebuah pilihan suci untuk membela tanah air dan membela raja yang dicintainya.
Tubuh-tubuh malang bergelimpangan. Baik luka atau tewas mengenaskan.
Membuat ibu kota Benua Lokananta diselimuti hawa kematian dan bau anyir darah.
Sementara itu...
Di tempat lain, Datuk Iblis Selatan melihat sekutunya Panglima Natadenta sedang bertempur mati-matian dengan loyalis Benua Kerta.Â
*
"Panglima Natadenta, kurang baik apa? Baginda Raja kepadamu? Sampai kamu kemaruk ingin merebut tahta?" teriak Panglima Saratoma penasaran melihat sahabatnya ternyata menjadi gelap mata. Ingin mengangkangi hak orang lain, dengan berlaku licik bersekutu dengan Datuk Iblis Selatan dan kambratnya para penjahat.Â
"Tutup, mulutmu, Saratoma! Kamu, saja yang tolol, mau diperbudak oleh Raja Gila itu!. Hiaaaat!" teriak sengit Panglima Natadenta tidak mau kalah. Baru saja habis ucapannya, pedang panjangnya terus dilancarkan dengan Jurus Menusuk Rembulan Merah. Pedang panjangnya berubah menjadi warna merah membawa tenaga dalam panas.
Untung saja Panglima Saratoma waspada, meski penasaran, sedikitpun ia tidak lengah. Bekas sahabatnya yang sekarang menjadi pengkhianat dipapaki serangan tusukan pedang yang membadai dengan pedang kembaranya yang diputar seperti perisai. Jurus Perisai Kembar Maut melayani rangsekan si pengkhianat. Akibatnya....