Aku hanya tersenyum dengan pertanyaannya. Rasanya itu tidak etis untuk dijawab. Aku tidak mungkin seterang itu mengatakan padanya bahwa ini hanyalah sebatas angan-angan. Bagaimana nanti, sudah kuputuskan untuk menerima kondisi apa adanya. Terserah Allah dengan rencana indahNya.
Dia nampak bingung. Kami pun berjalan bersama ke rumah sakit dengan saling mendiamkan. Kaku. Dingin.
Pembicaraan kami tak pernah berlanjut semenjak hari itu. Dia seperti segan mendekatiku, aku pun enggan mengajaknya bicara duluan. Kami, tidak pernah dekat lagi. Sampai akhirnya dia pun selesai stase di rumah sakit daerah ini. Sampai akhirnya dia selesai koas. Sampai akhirnya dia internship di tempat antah berantah yang aku tak tahu ada dimana.
###
Dan... dua tahun pun berlalu.
Rupanya takdir belum memberikan bunga manisnya untukku. Allah masih ingin aku menunggu untuk sesuatu yang baik itu. Untuk orang baik itu. Untuk dia yang akan kutemani kemanapun pergi.
Saat ini koasku sudah berakhir. Aku sedang menunggu saat-saat yang ditunggu-tunggu : ujian kompetensi. Ujian ini yang akan menentukan apakah kami layak atau tidak untuk disumpah menjadi dokter, untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi : internship.
Aku sudah hampir melupakan cita-citaku itu. Selama dua tahun ini aku hanya disibukkan dengan koas dan koas. Aku sibuk keliling kota untuk belajar di RSUD setempat. Aku sibuk mengemas barang-barang untuk kupulangkan ke kampung halaman manakala weekend supaya kamar kostku yang tidak terlalu luas ini tak penuh sesak dengan buku dan baju-baju. Kesibukanku hanya itu-itu. Tapi aku senang menjalaninya dan tidak berpikir untuk mencari kesibukan yang lainnya.
Dan.. pernahkah aku berpikir tentang Mas Rizky? Tidak, sama sekali tak pernah terpikirkan tentang dirinya.
Sampai akhirnya pesan singkat di ponselku muncul dengan sangat mengejutkan.
Assalamu’alaikum, dek.. Apa kabar? Sudah selesai koasnya?