Seorang bloggerbernama AlJohan asal Palembang, menulis di blog Kompasiana pada penghujung 2004. Katanya belum ke Palembang bila belum ke Pasar Cinde. Pada pagi hari mancaragam makanan tradisional dijual laksana di Pasar Senen, Jakarta. Di lantai duanya banyak dijumpai berbagai pernik-unik, termasuk perkakas dan segala keperluan kapal. “Untuk timbangan akurat, pasar menyediakan timbangan akur. Pembeli bisa menguji berat barang belanjaannya ke timbangan akurat disediakan pengelola,” tulisnya.
Bagi Aljohan, ke Pasar Cinde merupakan “ritual” perjalanan keluarganya hari-hari. Maka ketika Gubernur Alex Noerdin, usai meresmikan gerakan masif Tertib Ukur Timbangan Akurat Sumsel itu, lalu berinisiatif masuk ke bagian dalam pasar, saya pun turut serta.
Di lorong sempit sebagaimana pasar tradisional kebanyakan di tanah air, Alex berbincang dengan pedagang. Ia membeli 1 kg gula merah Rp 13.000. Alex membayar dengan lembaran Rp 100.000. Erni sang pedagang mengembalikan uang, Alex menampik, “Ambil saja.”
Wajah Erni senang.
Sambil memajang lembaran seratus ribu itu ia bergumam, “Uangnya akan saya simpan selamanya.”
Di deretan daging Alex bertanya harga. Engkoh penjual menjawab Rp 85 ribu hingga Rp 95ribu. Itu artinya daging di Palembang jauh lebih murah dibanding di Jakarta kini mencapai Rp 120 ribu/kg.
“Jangan terlalu banyak ambil untung ya ‘Nkoh,” ujar Alex.
Namun dari seorang pembeli saya menendapatkan keterangan harga Rp 85.000, atau kurang hanya untuk tulang, daging di kisaran Rp 120.000.
Di deretan pedagang sayur saya simak Alex membeli cabe rawit. Penjualnya juga tampak etnik keturunan Tionghoa. Si ‘Ncik menambah belanjaan Alex segenggam rawit lagi. Begitu ia minta ditimbang ulang, berat timbangan 1,1 kg lebih. Alex mengamati takarannya dengan seksama. Sebagaimana kepada Erni, kali ini Alex berkelakar, “Nah ini lebih sekilo, ni uangku juga ada lebihnya, sudah ambil saja.”
Para pedagang berkerumun tertawa.
Alex berpesan agar jangan pernah mengurangi timbangan.