Tulisan berikut saya muatkan di Kompasiana, berupa bahan kuliah umum yang akan saya berikan di kampus almamater saya di IISIP, Jakarta, Jurusan Jurnalistik. Mungkin ada pembaca berkenan memberikan masukan, juga mahasiswa yang akan mengikuti kuliah lebih awal membaca sehingga akan lebih banyak datang dengan pertanyaan.
Teknologi InformasiBagi Verifikasi Jurnalistik di Media Sosial
Oleh: Narliswandi (Iwan) Piliang
Pengantar
Beberapa pengertian dasar: Blog adalah medium komunikasi online di antara media online yang ada.Pengisi konten blog disebut blogger.Blogger mengisi blog dengan isi pernyataan; berupa simbol komunikasi, tulisan, image,foto, suara, visual.
Tidak semua blogger adalahcitizen journalist.
Seseorang dapat disebutcitizen reporter, atau jurnalis warga,bila di dalam mengisi konten blog, ia menjalankan elemen jurnalisme. Di didalam buku The Element Of Journalism, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, 2001, menuliskan setidaknya 9 Elemen Jurnalisme.
Ke-9 elemen jurnalisme itu adalah: 1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, 2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara, 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, 4. Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya., 5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan, 6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, 7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, 8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, 9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
Belakangan, 2006,Kovach dan Rosentiel, menambahkan elemen ke-10: Di mana warga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal yang terkait dengan berita. Hal ini berkait dengan tumbuhnya blog, media komunitas, juranalisme warga, atau dikenal dengan media sosial.
Di dalam bukunya terbaru fokus banyak bicara tentang “tsunami” berita, berjudul Blur, Kovach danRosential melihat ceruk lebar, di manacitizen reporter akan mendapatkan tempat; mengingat di hampir di belahan bumi mana pun media mainstream khususnya,terkooptasi oleh uang dan kekuasaan politik.
Media socialmenyebutberguna untuk interaksi sosial. Media sosialmenggunakan teknik penerbitan yang accesable dan scalable. Media sosial menggunakan teknologi berbasis web untuk mengubah komunikasi searah menjadi dialog interaktif.
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein juga mendefinisikan media sosial sebagai kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas fondasi ideologi dan teknologi Web 2.0 (we two point o) memungkinkan penciptaan dan pertukaran konten yang dibuat atau diproduksi pengguna. Diantara media sosial yang ada saat ini; Friendster, Facebook, Twitter, My Space, Youtube dan Blog, sebagaimana sudah saya ssinggung di awal pengantar ini.
Permasalahan
Saya cenderung tidak menggunakan kata investigasi dalam proses kerja jurnalistik.Hal itu senada dengan kalimat yang pernah diutarakan langsung Bill Kovach kepada saya pada 2003, ketika ia berkesempatan berkunjung ke Jakarta atas undangan Majalah Pantau.
Investigasi adalah hak yang layak dijulukipembaca, pemirsa,clickers, untuk menentukan penilaian apakah sebuah karya layak disebut karya investigasi atau bukan.
Di Indonesia, saya menilaitidak banyak buku karya jurnalistik yang layak disebut karya investigasi. Di antara sedikit itu buah karya Bur Rusuanto, Laporan Perang Vietnam dan yang terbaru Sebongkah Emas di Kaki Pelangi, Kasus Bre-X mineral, karya Bondan Winarno (Mak Nyus), masuk kategori minim itu.
Dalam kesempatan ini saya pun memaparkan bagaimana sebuah verifikasi panjang saya soal “pembunuhan” mahasiswa Indonesia diNanyang Technological University (NTU) , Singapura, David Hartanto Wijaya, sudah lebih17 Sketsa saya muat di blog publik, jika verifikasinya tuntas, akan saya jadikan buku rekonstruksi kasus.
Bila kelak terus saya verifikasi dan terbit menjadi buku, saya kembalikan ke haribaan pembacalah jua akan menilai bahwa hal itu layak atau tidak disebut karya investigasi.
Karenanya saya tak berpanjang kata mebahasa ihwal invetigasi, yang belakangan di tatanan jurnalisme kita seakankontennya telah mengalami degradasi.Lbih ekstrim, sebuah program gossip di televise telah menjuduli dirinya dengankata investigasi. Ke dalam format gossip demikian, masukpula konten konperensi pers artis. Maka saya tak akan panjang lebar membahasa ihwal investigasi.
Saya lebih cenderung menyarankan agar para mahasiswa di jurusan jurnalistik memilih diksi: verifikasi. Ingat esensi jurnalisme itu adalah verifikasi; kerendah-hatian verifikasi.
Di kesempatan ini saya memfokus permasalahan topik kita pada: Memanfaatkan Teknologi InformasidiProses VerifikasiBagi LiputanKonten Jurnalisme Wargadi Media Sosial.
Bahasan
Teknologi informasi sejatinyalahhanya alat bantu, tools.Acap sekali pemelintiran terhadap dunia web, termasuk web 2.0,identik dengan kecanggihan. Padahl secara factual, kita ahanya memindahkan hasil karya dilakukan dengan pakem dasar keilmuan, sepertiu berpegang pada elemen jurnalisme dengan output karyatampil di media sosial.
Di kerangkasebagai alat saja itulah sesungguhnya kecanggihan itu ada. Sifatnya kembali ke pakem dasar: sebagai alat bantu tok.
Contoh signifikan pada momen saya lakukan Skype Juli tahun ini. Saya melakukan wawancara menggunakan akses Skype dengan Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus korupsi di pembangunan wisma atlit dan pembangunan proyek kompleks olahraga Hambalang.
Hampir bisa dikatakan semua wartawan di Indonesia bahkan dunia berkeinginan mewawancarai Muhammad Nazaruddin. Namun akses berjumpa dengannya tidak mudah mengingat ia kabur berpindah negara. Kegigihan menembus sumber, kesabaran untuk terus menjaga hubungan komunikasi dengan sumber, dalam hal ini Nazaruddin, terfasilitasi oleh teknologi informasi menggunakan Skype.
Karenanya seorang jurnalis terlebih di media sosial harus jeli mencaricelah dan ceruk.Mereka “bertanding” dengan media mainstream, maka wajib memahami dan tahu banyak tentang teknologi informasi; baik sebagai alat bantu berkomunikasi dalam verifikasi maupun alat bantu penulisan.
Sebagai alat bantu, kini di pasaran banyak sekali produk yang memberikan kemudahan; mulai dari gadget yang mendukung liputan hingga alat pengintai, mulai kameraberukuran kecil berbagai format, alat perekam dalam berbagai bentuk, hingga berkualifikasi RFID (Radio Frequency Identification), di mana memungkinkan, misalnya, untuk pengintaian bergerak; objek bisa diikuti ke mana pun bergerak.
Citizen Reporter juga harus mengamati perkembanganteknologi informasi, bahkanhingga ke kode yang kini bisa memuat pesan lebih 400 ribu karakter dalam satu image. Teknologi sudah banyak berkembang di Jepang, Korea, AS dan Eropa itu, kini menjadi sebuah trends baru pula dalam medium komunikasi, yang dikenal dengan QRC (Quick Respon Code).
QRC“berkolaborasi” dalam kemajuanmobile gadget.Maka di adalam aplikasi Android kini berbagai handset sudah pula mengembangkan Net Field Communications (NFC), di mana sebuah gadget dapatmen-scanning data, informasi panjang dalam sekediptempelan.
Di kerangka inilah jurnalis warga dapat membuat dirinya memiliki deferensiasi; verifikasi tiada henti. Tiada henti alpa memanfatkan teknologi informasi.
Kekuatan utama citizen reporter di saat dominan media online yang cenderung melakukancopy paste topik, adalah di: kerendahan hati reportase. Pada kasus terbaru dalam dua hari ini di Jakarta,diberitakan soal mati kehausannya Rusa-Rusa di Taman Monas.
Hari ini, 14 Novemberdengan beberapa kawan yang berkomunikasidi Twitter kami mendatangi lokasi. Ternyata ,tidak ada Rusa yang mati. Dari 61 ekor Rusa tutul yang ada di Monas saat ini, dua ekor sakit, pincang karena berkelahi. Dua ekor itu dipingsankanlalu dibawa untuk pengobatan ke Ragunan.
Rusa hewan yang lincah, untuk memudahkan dibawa, ia dibius. Liputan televisi denganlatar kemarau yang membuat rumput di kawasan Rusa keringmembuat banyak reporter, termasuk televise telah berkesimpulan sendiri dalam liputannya.
Di tambah dengan fakta di lapangan, memangpompa air di kolam sempat mati, tetapisetiap hari dikirimi mobil tengki mengisi, kebutuhan makan dan minum Rusa terpenuhi. Bahkan pada 13 November telah dipasang pompa air baru sementara yang mengalurekan air ke kolam.
Namun apa lacur, pemberitaan di media mainstream, terlebih media online, termasuk kalangan yang ber-twit di media sosial yang tidak melakukan reportase lapangan, telah membuat info bias, miss leading.
Dalam kerangkamemaparkan kebenaran itulah keberadaan media alternative, media social yang menjalankan fungsi jurnalisme, kini keberadaannya kian diperlukan.
Pada bagian berikut sayamemberikan contoh tulisan sebagai sebuah reportase yang pernah saya lakukan hanya dalam tempo dua jam lebih, ketikamenjadi mentor dalam sebuah sharing menulis di Jogja pada 2008 lalu. Semua peserta wajib mereportase tak terkecuali saya yang menjadi mentor.Kami juga wajib menulis lebih dari1.000 kata. Mka hali tulisan saya 1.700 kata lebih, mungkina dapat dijadikanperhatian khusus bagiman pentingnya sebuah reportase, sebagiman berikut:
Memilin Gulali Mengayuh Hidup di Malioboro
Ketika berdialog ringan di sela rehat di acara kopi darat Kompasiana I, Kusmayanto Kadiman, menyinggung beda reporter dan jurnalis. Menurut Fikri Jufri dan Goenawan Mohammad, TEMPO, reporter adalah profesi jurnalis seumur hidup. Urusan jabatan di media, suatu hal yang lain. Saya lalu teringat hasil reportase yang saya buat tahun lalu di sela memandu sebuah pelatihan reportase. Reportase, kini banyak ditinggalkan oleh media mainstream. Tulisan-tulisan literair membutuhkan kemampuan reportase yang tajam. Sebuah narasi reportase Malioboro tahun lalu:
TIDAK semua pedagang kaki lima di ruas pertokoan di sepanjang jalan Malioboro, Jogyakarta, adalah penyewa lapak di emperan sela toko. Di sana banyak pula pedagang kaki lima serabutan. Setiap pagi pengasong tak berlapak itu, di sekitar pukul 09.00, sudah memasang mata elang.
Mereka menatap tajam ke gerobak tak datang. Lapak tak bergerobak, sebagai penanda tempat tak bertuan di hari itu. Pengasong, termasuk penjaja jasa pembuatan kalung nama dari plat baja nir karat (stainless steel), mengincar tempat mangkal. Mereka lalu memberi tanda dengan meletakkan sebuah batu di tempat itu.
Pas jarum jam menunjukkan pukul sebelas, jika sang pemilik lapak tidak muncul, maka itu artinya, sosok pemberi batu, sebagai penanda tadi, boleh mengisi.
Rabu, 20 Agustus 2008, pukul 14.30, di pertengahan jalan di seberang ATM BCA, di Malioboro. Di depan sebuah toko t-shirt, Oyok - - begitu namanya tertulis di KTP - - pria 38 tahun, berjualan gulali (kembang gula), sejak 2006, lalu. Di depan kotak gulalinya, bagaikan tas koper metal berukuran sedang, di atasnya berderet gulali yang sudah dibentuk kuda, mawar, kecubung, hati, bahkan ada raket tenis. Kesemuanya bertangkai berbilah bambu berbungkus plastik bening.
“Boleh mas gulali,” kata Oyok.
Jalan saya terhenti.
Di antara pedagang batik, tas, aksesori mendominasi, jualan pedagang ini mencuri hati.
“Dua ribu satu, Mas.”
Di kota-kota besar, pedagang gulali, sudah agak jarang jumpa. Yang ada di depan mata saya, bukanlah gulali ditiup mulut dalam proses pembuatannya. Lelehan gula kental melekat pekat itu dibentuk jari. Oyok hanya memainkan dua warna; hijau kecoklatan, oranye kemerah-merahan.
Saya membeli satu kuda, satu mawar dan satu gulali berbentuk hati. Pria berperawakan kecil, berbaju kotak-kotak pudar bercelana jeans belel itu, tampak senang.
Saya perhatikan ada dingklik di belakang duduknya. Sembari membunuh penat karena menelusuri Malioboro yang panjang, menyimak pedagang gulali ini memainkan jemari memilin-milin gula, memberi kesan tersendiri.
“Sehari rata-rata saya menghabiskan dua kilogram gula,” ujar Oyok. Belasan macam produk bisa ia bentuk. Tak jauh dari saya duduk, tampak becak parkir. Saya tanyakan kepada Oyok, apakah bisa membuat pesanan produk, selain yang sudah ia pajang.
“Ya bisa Mas.”
Bagaimana kalau becak?
“Bisa, tapi kurang bagus.”
Sepeda?
“Bisa. Saya jamin bagus.”
Saya nyalakan stop watch di jam. Untuk membuat sebuah gulali sepeda, Oyok menghabiskan 4 menit 10 detik. Tetapi ketika memasukkan ke dalam plastik, sepeda itu patah. Gulali yang sudah mengeras itu, ia pilah lagi, warna hijau dikembalikan ke tempatnya di wajan kecil yang berpembatas dengan merah.
Kembali Oyok memilin gula, dengan dua batang kayu laksana stick penabuh drum. Kali ini ia tampak lebih hati-hati. Saya hitung lebih 6 menit, jadi sepeda satu. Agaknya, karena lebih berhati-hati, sepeda itu tidak patah diplastikkan. Bila membuat kuda, Oyok hanya menghabiskan tempo 3 menit.
Harga produk pesanan khusus dibanding yang massal terpajang; padha, Rp 2 ribu perbuah, tidak berbeza. Kendati ada nilai tambah, taylor made, Oyok tidak membandrol khusus. Untuk berlatih membuat mancaragam produk itu, Oyok mengaku belajar enam bulan.
Ketika hampir sejam di situ, dua orang gadis mampir. Ia memperhatikan dagangan Oyok. Tak lama kemudian sebuah gulali berbentuk hati laku. Itu artinya dalam hampir sejam penjualannya Rp 10 ribu.
Oyok enggan menyebutkan omsetnya sehari. Tetapi untuk membayar uang kost Rp 150/bulan di sebuah gang tak jauh dari lokasi, makan, dan keperluan sehari-hari tertutupi. “Yang penting tiga anak saya yang masih SD bisa sekolah dari jualan gulali ini,” tuturnya.
Tiga orang anaknya bersekolah di kampungnya, di Godok, di sebuah desa nun berjarak 7 kilometer dari kota Garut, Jawa Barat. Demi perjuangan memenuhi kebutuhan hidup, Oyok rela berpisah dengan keluarga. “Kalau banyak rezeki, ya, paling tidak bisa pulang dua bulan sekali ke Garut,” katanya.
Dulunya, Oyok adalah tukang sol sepatu. Dalam perjalanan waktu, ia melihat banyak pedagang sukses hanya dari berjualan gulali di kampungnya. Ia pun beralih menjajal peruntungan “dipermainan” gula-menggula.
Kini, sudah hampir 80% pria desa Godok, Garut, berprofesi pembuat gulali. Dan semua pedagang Gulali di Jogja, adalah pendatang dari Garut. “Kini ada pula satu dua orang sini yang belajar ke kami, tetapi belum ada yang berusaha komersial,” tuturnya.
Contoh pengusaha gulali sukses, menurut Oyok, jika mereka bisa berjualan di mal-mal di kota besar, terutama di Jakarta. Di tempat seperti itu, harga jual lebih mahal, dan pembeli lebih banyak. Sebaliknya modalnya sama saja: gula, pewarna makanan, sesase vanilla, sebagai aroma.
Berjualan di mal kini menjadi mimpi bagi Oyok. Sebuah mimpi, memang bisa jadi jauh dari gapaian bila dibanding posisinya hari ini: Untuk mencari tempat berjualan saja, setiap hari ia harus mengintip lapak kosong, dan harus berpindah-pindah tempat, tentu.
Untungnya peralatan kerjanya compact.
Sebuah kompor kecil, tempat minyak tanahnya selebar telapak tangan, khusus dibuat dan didatangkan dari Garut. Hanya dua sumbu yang dinyalakan dengan api kecil, sehingga adonan gula tetap lentur, setiap saat siap dipilin dibentuk dan ditarik ulur.
Wadah kerjanya laksana koper metal berukuran sedang berberat tak lebih 6 kilogram, gampang ditenteng-tenteng. Kiranya kemudahan membawa peralatan kerja itulah, alasan lain bagi Oyok beralih profesi dari men-sol sepatu.
Oyok kemudian memainkan lagi gula panas. Ia tarik ulur. Tampak benang-benang gula tercerabut bening. Rupanya benang bening itu sebagai pembentuk tali kuda. Bulu-bulu leher kuda ia bentuk dengan memberi ornamen bergerigi dengan memakai gunting kecil. Ketika gunting dimainkan, ingatan saya mengembara tertuju kepada pembuat kristal, nun jauh di pulau Burano, dekat Venisia, Italia.
PADA medio 1994 lalu saya berkesempatan berjalan-jalan keliling Italia. Di pulau kecil Burano, saya menyimak beberapa pria paruh baya di tungku-tungku panas menjulurkan stick besi, namun tidak seukuran stick yang dipakai Oyok membuat gulali, melainkan mencapai hampir dua meter lebih panjangnya.
Di bagian ujung stick itu, gumpalan kaca kristal dibakar ditungku panas. Gumpalan kaca yang lembek seakan hampir meleleh, lalu ditiup dari tuas di ujung di bagian lengan. Kemudian sambil dibentuk, laksana Oyok membuat gulali, bahkan mirip abis; ada bagian yang juga digunting, maka jadilah produk; cangkir, hingga kuda kristal.
Masih ingat di benak saya salah satu pembuat kristal itu menyapa, “Apa kabar? Liburan tahun ini saya ke Bali lagi. Luar biasa Bali. Saya suka sekali dengan Ubud!”
Saya lalu ternganga.
Pria pembuat kristal itu bisa berbahasa Indonesia, dan menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan liburannya. Tentulah antara bumi dan langit, jika membandingkan hidup Oyok dengan pengrajin kristal di Italia itu.
Oyok, sekadar bisa bertemu isteri dan anak-anaknya, sudah menjadi kemewahan, apatah pula sebuah liburan, yang hampir belum pernah ia jalani sejak hayat dikandung badan.
Terkadang, Oyok harus menahan rindu kepada keluarga hingga tangan berpangku menupang dagu.
Untuk menggenapi ongkos pulang dan sekadar tabungan receh agar bisa kembali balik merambah Jogyakarta - - mengikuti rutinitas sehari-hari - - pikiran itulah yang membuncah di benak Oyok saban hari. Dan saya amati dari sosoknya yang polos bersabar menunggu pembeli, bersitegang hati mencari lokasi berjualan setiap hari, menjadikannya sebagai sosok pedagang menyerah pantang.
“BANG, abang dari Padang ya?”
Pemuda penjual kalung, name tag, termasuk nama dari bahan metal buatan tangan yang berjualan di sebelah Oyok mengusik lamunan saya.
Saya jawab iya
“Kenalkan, saya Oki, dari Batusangkar,” ujarnya pula, “Biasanya saya tak pernah mau bicara dan mengaku orang Padang. Saya banyak perhatikan orang Padang yang lewat sini banyak sombong. Saya dengar Abang banyak tanya, mau mendengar cerita-cerita Mas Oyok.”
Belum sempat saya berujar, Oki sudah nyerocos lagi, “Apa kerja Bang?”
Saya tatap wajah Oki. Sebetulnya enggan hati ini mengaku. Dari tatapannya saya lihat sebuah ketulusan ingin tahu. Saya katakan saya jurnalis, cuma untuk media alternatif yang tidak bergaji, itupun di online di internet, dibaca kalangan terbatas.
“Wah Bang, tolong Bang, tolong!”
Ia berdiri. Lalu mengambil buntelan kresek, mengeluarkan dua block note berukuran sedang.
Bengong saya sesaat.
Sekilas saya perhatikan Oyok sudah asyik kembali dengan gulalinya.
“Saya ini bertekad menjadi penulis skenario film layar lebar. SD saja saya tak tamat, namun tekad saya bulat, ingin menjadi penulis naskah film, bukan sinetron,” ujar Oki.
Ia meminta saya membaca tulisan yang sudah dibuatnya. Saya perhatikan apa yang ditulis, sebuah opini tentang pengalaman kepahitan hidup. Ayahnya beristeri enam orang. Kata-kata kasar dan sumpah serapah sering diterima Oki ketika kecil, sering diucapkan orang tuanya,”Kamu ini anak yang tak membawa untung.”
Kemarahan sumpah yang sama, yang diucapkan kedua orang tuanya semasa Oki kecil, membuat dirinya “lari” minggat memendam pilu. Keterbatasan ekonomi keluarga, membawanya mara ke tanah Jawa, ke Jogya: dari otodidak menggambar, menjadi pembuat tato, kini naik kelas ke pedagang aneka kalung meta, menerima pesanan huruf hias buatan tangan.
Di saat saya menulis urut-urutan naskah film; mulai dari premis, sinopsis, lalu skenario, dua anak muda memesan nama tujuh huruf. Sambil menggergaji pelat 1,5 mm, ia mendengar penjelasan singkat saya takzim.
Waktu sudah pukul 16.15 petang. Saya pamit. Oki minta nomor HP saya. Bila tidak ada janji kembali dengan kawan-kawan peserta pelatihan Jurnalisme Investigasi, 19 -21 Agustus 2008 yang diadakan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) - - di antara peserta adalah relawan kependudukan; termasuk waria, gay, lesbian dan PSK - - pastilah saya didaulat untuk terus mencangkung di situ.
Ketika berjabatan tangan, Oki lalu memeluk badan saya erat. Erat sekali. Entah karena terkesima dengan cara Oki mendekap, Oyok pun melakukan hal sama. Saya lihat ketulusan hati dari dua sosok pengusaha di bilangan Malioboro, Jogja, itu.
“Kami ini senasib Bang, setiap hari harus mengintai tempat kosong, agar bisa berjualan,” ujar Oyok.
Sesampai di kantor PKBI, di bilangan Badran, Jogja, sebagai fasilitator pelatihan di saat saya harus berdiskusi menutupi sesi hari kedua bersama 23 peserta, SMS dari Oki masuk.
Ia memberi alamat ibunya, Yurni Bahar, Kantor Camat VII, Koto Sungai Sarik, Pariaman, Sumatera Barat. Dalam hati saya, agaknya, Oki sudah lama nian tak bersua dengan bundanya. SMS itu membuat saya taragak (terkenang) akan kampung jauh di mato.
Melihat tajam tatapan mata Oki, juga kegigihan Oyok, saya hakkul yakin, suatu saat Oki akan menjadi penulis naskah film yang hebat. Dan Oyok akan menjadi penjual gulali di mal besar di kota besar, dengan beragam inovasi produk gulalinya. Amin!
Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com, disela-sela menjadi fasilitator pelatihan jurnalisme investigasi, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Jogyakarta, 19-21 Agustus 2008.
Catatan: BAHAN Tulisan di atas disampaikan untukKuliah Umumdi Almamater saya: Fakultas Komunikasi, Jurusan Junalistik,Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Lenteng Agung, Jakarta, 15 November 2011, pukul 10.30 - 12.30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H