Mohon tunggu...
Narliswandi Piliang
Narliswandi Piliang Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveller, Content Director, Citizen Reporter, Bloger, Private Investigator

Business: Products; Coal Trading; Services: Money Changer, Spin Doctor, Content Director for PR, Private Investigator. Social Activities: Traveller, Bloger. email: iwan.piliang7@yahoo.com\r\nmobile +628128808108\r\nfacebook: Iwan Piliang Dua , Twitter @iwanpiliang7 Instagram @iwanpiliangofficial mobile: +628128808108

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Umum Seorang Citizen Reporter

14 November 2011   17:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:40 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering



“Sehari rata-rata saya menghabiskan dua kilogram gula,” ujar Oyok. Belasan macam produk bisa ia bentuk. Tak jauh dari saya duduk, tampak becak parkir. Saya tanyakan kepada Oyok, apakah bisa membuat pesanan produk, selain yang sudah ia pajang.



“Ya bisa Mas.”



Bagaimana kalau becak?



“Bisa, tapi kurang bagus.”

Sepeda?

“Bisa. Saya jamin bagus.”



Saya nyalakan stop watch di jam. Untuk membuat sebuah gulali sepeda, Oyok menghabiskan 4 menit 10 detik. Tetapi ketika memasukkan ke dalam plastik, sepeda itu patah. Gulali yang sudah mengeras itu, ia pilah lagi, warna hijau dikembalikan ke tempatnya di wajan kecil yang berpembatas dengan merah.



Kembali Oyok memilin gula, dengan dua batang kayu laksana stick penabuh drum. Kali ini ia tampak lebih hati-hati. Saya hitung lebih 6 menit, jadi sepeda satu. Agaknya, karena lebih berhati-hati, sepeda itu tidak patah diplastikkan. Bila membuat kuda, Oyok hanya menghabiskan tempo 3 menit.



Harga produk pesanan khusus dibanding yang massal terpajang; padha, Rp 2 ribu perbuah, tidak berbeza. Kendati ada nilai tambah, taylor made, Oyok tidak membandrol khusus. Untuk berlatih membuat mancaragam produk itu, Oyok mengaku belajar enam bulan.



Ketika hampir sejam di situ, dua orang gadis mampir. Ia memperhatikan dagangan Oyok. Tak lama kemudian sebuah gulali berbentuk hati laku. Itu artinya dalam hampir sejam penjualannya Rp 10 ribu.

Oyok enggan menyebutkan omsetnya sehari. Tetapi untuk membayar uang kost Rp 150/bulan di sebuah gang tak jauh dari lokasi, makan, dan keperluan sehari-hari tertutupi. “Yang penting tiga anak saya yang masih SD bisa sekolah dari jualan gulali ini,” tuturnya.



Tiga orang anaknya bersekolah di kampungnya, di Godok, di sebuah desa nun berjarak 7 kilometer dari kota Garut, Jawa Barat. Demi perjuangan memenuhi kebutuhan hidup, Oyok rela berpisah dengan keluarga. “Kalau banyak rezeki, ya, paling tidak bisa pulang dua bulan sekali ke Garut,” katanya.

Dulunya, Oyok adalah tukang sol sepatu. Dalam perjalanan waktu, ia melihat banyak pedagang sukses hanya dari berjualan gulali di kampungnya. Ia pun beralih menjajal peruntungan “dipermainan” gula-menggula.



Kini, sudah hampir 80% pria desa Godok, Garut, berprofesi pembuat gulali. Dan semua pedagang Gulali di Jogja, adalah pendatang dari Garut. “Kini ada pula satu dua orang sini yang belajar ke kami, tetapi belum ada yang berusaha komersial,” tuturnya.



Contoh pengusaha gulali sukses, menurut Oyok, jika mereka bisa berjualan di mal-mal di kota besar, terutama di Jakarta. Di tempat seperti itu, harga jual lebih mahal, dan pembeli lebih banyak. Sebaliknya modalnya sama saja: gula, pewarna makanan, sesase vanilla, sebagai aroma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun