“BANG, abang dari Padang ya?”
Pemuda penjual kalung, name tag, termasuk nama dari bahan metal buatan tangan yang berjualan di sebelah Oyok mengusik lamunan saya.
Saya jawab iya
“Kenalkan, saya Oki, dari Batusangkar,” ujarnya pula, “Biasanya saya tak pernah mau bicara dan mengaku orang Padang. Saya banyak perhatikan orang Padang yang lewat sini banyak sombong. Saya dengar Abang banyak tanya, mau mendengar cerita-cerita Mas Oyok.”
Belum sempat saya berujar, Oki sudah nyerocos lagi, “Apa kerja Bang?”
Saya tatap wajah Oki. Sebetulnya enggan hati ini mengaku. Dari tatapannya saya lihat sebuah ketulusan ingin tahu. Saya katakan saya jurnalis, cuma untuk media alternatif yang tidak bergaji, itupun di online di internet, dibaca kalangan terbatas.
“Wah Bang, tolong Bang, tolong!”
Ia berdiri. Lalu mengambil buntelan kresek, mengeluarkan dua block note berukuran sedang.
Bengong saya sesaat.
Sekilas saya perhatikan Oyok sudah asyik kembali dengan gulalinya.
“Saya ini bertekad menjadi penulis skenario film layar lebar. SD saja saya tak tamat, namun tekad saya bulat, ingin menjadi penulis naskah film, bukan sinetron,” ujar Oki.
Ia meminta saya membaca tulisan yang sudah dibuatnya. Saya perhatikan apa yang ditulis, sebuah opini tentang pengalaman kepahitan hidup. Ayahnya beristeri enam orang. Kata-kata kasar dan sumpah serapah sering diterima Oki ketika kecil, sering diucapkan orang tuanya,”Kamu ini anak yang tak membawa untung.”