Mohon tunggu...
ivan sampe buntu
ivan sampe buntu Mohon Tunggu... Dosen - Aku Mencintai Maka Aku Ada

Hidup itu hanya sebuah petualangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tuhan Telah Mati: Tafsir atas "The Gay Science 125"

26 April 2020   14:55 Diperbarui: 26 April 2020   15:03 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Nihilisme Nietzsche dapat dipahami sebagai sebuah penolakan terhadap nilai-nilai objektif. Nietzsche menolak segala bentuk kebenaran yang di objektifkan, sehingga seolah menjadi kebenaran universal. Tidak ada kebenaran objektif, sehingga Science pun tidak dapat menganggap kebenarannya sebagai sesuatu yang paling objektif.Nietzsche menolak pengobjektifan kebenaran. Tidak ada kebenaran tunggal yang dapat menjadi raja, semua kebenaran dapat diuji di laboratorium Science.

 Nihilisme Nietzsche menemukan titik puncaknya dalam doktrin perulangan abadi. Orang tidak boleh menerima nasibnya begitu saja dan, bahkan sungguh-sungguh mencintai nasibnya, tetapi juga mengakui bahwa eksistensi tanpa tujuan ini akan berulang terus menerus untuk selamanya. Orang yang mampu melakukan hal ini layak diberi gelar "adimanusia". Adimanusia adalah seorang nihilis. Dia menolak adanya nilai-nilai objektif atau nilai apapun.[11]

Seorang nihilis sejati bagi Nietzsche adalah mereka yang tidak percaya pada kebenaran objektif. Tidak ada nilai yang objektif, karena itu setiap manusia menjadi unik pada dirinya sendiri. Unik karena mereka memiliki nilai kebenaran pada dirinya sendiri.Nietzsche meyakini bahwa ada ubermensch yang akan menjadi manusia yang benar-benar mengakui sebuah eksistensi tanpa tujuan. Tujuannya adalah ketika dia tidak mempunyai tujuan. 

Karena itulah nihilisme dalam konsep Nietzsche adalah nihilisme yang percaya bahwa tidak ada nilai objektif. Nilai objektif hanya membuat manusia menjadi budak dan tidak membebaskannya sebagai manusia bebas. Nilai objektif menjadikan kebenaran sebagai universal, sehingga mengabaikan kebenaran yang lain. Nilai objektif membuat manusia sering kali tunduk pada nasibnya, menerima begitu saja apa yang terjadi. Penerimaan begitu saja justru telah membuat manusia tidak dapat berpikir kritis. Mereka telah menjadi budak nilai-nilai objektif. Itulah yang menyebabkan Nietzsche selalu mempertentangkan antara moralitas kristiani dengan moralitas Dionysian.

Mentalitas Dionysian inilah yang dimiliki oleh para genius dalam kebudayaan Yunani pra-Sokratik. Mentalitas inilah yang kemudian dimusuhi dan dibasmi oleh para filsuf sesudah Sokrates atas nama rasionalitas dan diperhebat oleh agama Kristen. Agama kristen menurutnya adalah vampirisme moral. Agama ini menghisap darah kebudayaan atas nama moralitas yakni daya-daya vital yang memungkinkan kebudayaan menghasilkan genius-genius dan inovasi-inovasi.[12]

Mentalitas Dionysian dipakai oleh Nietzsche untuk mengambarkan moralitas yang baik. Moralitas Dionysian adalah moralitas yang dicari oleh manusia. sebaliknya moralitas kristiani harus ditinggalkan karena menjadi beban, dan tidak memberi ruang ekspresi bagi manusia. Kebencian Nietzsche pada moralitas kristianitas tentu sangat terkait dengan pandangan Luther yang memahami manusia sebagai makhluk yang secara kodrati telah rusak. 

Kerusakan manusia ini hanya mungkin diperbaiki oleh anugerah Allah (sola gratia). Manusia yang hanya mengandalkan belas kasihan Allah, adalah manusia yang lemah. Manusia yang hanya bergantung pada sesuatu yang eksternal diluar dirinya. Artinya manusia seperti itu tidak dapat membuat dirinya menjadi makhluk yang hebat, atau dalam bahasa Nietzsche ubermensch. Atau dengan kata lain, apa yang diimpikan Nietzsche tentang ubermensch tidak akan pernah dapat kita temui dalam keyakinan seperti itu. Itulah sebabnya konsep Dionysian menjadi penting untuk dipahami sebagai antitesa dari moralitas kristiani.  

 

Tuhan Seperti Apa yang Dibunuh Manusia?

Ada beberapa tafsiran tentang Tuhan yang dibunuh oleh manusia. Franz Magnis sebagaimana ia mengutip Weischedel mengatakan bahwa:

Tetapi mengapa Allah harus dibunuh, dan bagaimana pembunuhan Allah dilakukan? Sebetulnya Allah tidak dibunuh. Nietzsche tidak pernah mau mengatakan bahwa Allah pernah ada. Allah tak pernah ada. "manusia menciptakan Allah" [dikutip dari Weischedel 435]. Allah yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan manusia. Tetapi Allah itu, itulah yang ditegaskan Nietzsche, harus, dan akhirnya jadi, dibunuh. Karena sesudah Allah diciptkan oleh manusia, ia menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya sendiri dan dari dunianya Allah membuat manusia menjadi kerdil, mengkorupsikan moralitasnya.[13]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun