Mohon tunggu...
ivan sampe buntu
ivan sampe buntu Mohon Tunggu... Dosen - Aku Mencintai Maka Aku Ada

Hidup itu hanya sebuah petualangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tuhan Telah Mati: Tafsir atas "The Gay Science 125"

26 April 2020   14:55 Diperbarui: 26 April 2020   15:03 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan ini telah tayang di blog pribadi penulis

"Allah telah mati dan kitalah pembunuhnya,

aku dan kamu adalah pembunuhnya"

Ini adalah pernyataan Nietzsche yang sangat terkenal. Sebuah deklarasi akan posisinya sebagai seorang ateis. Nietzsche adalah seorang ateis, tetapi dia pun seorang yang selalu mengolok-olok kaum ateis sebagai orang-orang yang masih saja mempunyai kebutuhan untuk percaya. Apakah percaya pada Science, percaya pada ideology, atau percaya pada ketidak percayaan.Nietzsche menyebut orang-orang tersebut sebagai manusia yang belum dapat melepaskan sebuah kebutuhan untuk percaya. Pertanyaannya adalah, apakah Nietzsche sendiri telah melapaskan diri dari semua kebutuhan untuk percaya? 

Apakah Nietzsche benar-benar seorang bebas yang tidak lagi terikat pada apapun? Sebagai seorang nihilistik, maka Nietzsche berusaha membebaskan dirinya dari semua paham. Bahkan dalam Sabda Zarathustra Nietzsche menyebut dirinya sebagai orang yang dapat menentukan hidup dan matinya. Tidak heran jika suatu ketika Nietzsche pernah mencoba untuk bunuh diri sebagai ekspresi kebebasan untuk menentukan kematiannya, tetapi tindakan itu dicegah oleh saudaranya.

Dalam Sabda Zarathustra, Nietzsche menyebut bahwa "Kematianku, aku memuji engkau, kematian yang bebas, yang datang kepadaku karena aku menginginkannya".[1]Menentukan hidup dan kematian disebut oleh Romo Valentinus sebagai puncak dari ateisme. Puncak kebebasan! Karena di sana manusia benar-benar mengespresikan kebebasan dirinya, bahkan dapat menentukan kapan dia harus mati.Itulah puncak dari kebebasan manusia, yang tidak lagi terikat pada apapun, termasuk Tuhan. Ketidak percayaan pada Tuhan, telah membuat manusia menjadi orang-orang bebas. 

Sartre lebih radikal dengan menyebut bahwa, "Jika Tuhan ada maka manusia tidak bebas, karena itu Tuhan harus tidak ada, supaya manusia bebas". Konsep ini jelas memperlihatkan bagaimana kaum ateis menginginkan kebebasan absolut sebagai seorang manusia. Apakah manusia benar-benar dapat bebas? Nietzsche akan menyebut bahwa hanya ubermensch yang dapat menjadi manusia bebas. Manusia yang bermental budak tidak akan mungkin menjadi manusia bebas. 

Siapakah Nietzsche

Sebelum kita melihat pemikiran Nietzsche tentang kematian Tuhan, ada baiknya kita mengenal siapa Nietzsche. Friedrich Nietzsche adalah seorang keturunan pendeta dari Jerman. Ayahnya adalah pendeta protestan yang sangat saleh dan ibunya adalah keturunan keluarga pendeta. Nietzsche dididik dalam pendidikan protestan yang taat dan saleh.Lahir di Rocke, Jerman Timur pada 15 oktober 1844 sama dengan kelahiran Raja Prusia Friedrich Wilhelm. 

Karena ayahnya adalah pengagum raja tersebut, maka dia pun memberi nama baptis kepada anaknya Friedrich. Ayah Nietzsche sakit keras dan pada tahun 1849 ayahnya meninggal. Praktis Nietzsche hanya bersama dengan ayahnya selama lima tahun. Setahun kemudian Joseph adik Nietzsche meninggal dunia. Ibu Nietzsche memutuskan untuk meninggalkan Rochen dan kemudian menetap di Naumber bersama nenek dari Nietzsche. 

Di sana Nietzsche dididik dalam pengaruh protestan yang sangat kuat dari orang-orang sekitarnya. Di mana gereja protestan memahami manusia sebagai yang telah rusak secara kodrati, karena itu membutuhkan pertolongan dari Tuhan. Doktrin yang tentu saja akan dibantah oleh Nietzsche.

Pada usia enam tahun Nietzsche masuk ke sekolah gymnasium. Sebelum masuk sekolah Nietzsce telah pandai membaca berkat didikan ibunya. Nietzsche dikenal sebagai anak yang cukup pandai bergaul. Di sekolah ini Nietzsche mengenal karya-karya sastra dan musik Goethe dan Wagner dari sahabat-sahabatnya. 

Nietzsche menyukai musik, tetapi tidak pernah menjadi seorang musikus besar. Pada usia empat belas tahun dia dimasukkan ke asrama Pforta. Asrama ini sekaligus menjadi tempat sekolah Nietzsche yang dikenal sangat ketat. Di sana Nietzsche belajar bahasa Yunani dan Latin secara ketat. Darisanalah bermulah ketertarikan Nietzsche pada filologi (studi bahasa-bahasa kuno dan kesusastraan). Di sana ia mengagumi karya klasik Yunani bersama sahabatnya Wilhelm Pinder dan Gustaf Krug. Nietzsche bersama kedua sahabatnya tersebut membentuk kelompok diskusi yang mereka namai Germania. Dari diskusi ini Nietzsche belajar mengungkapkan ide dan emosinya.

Di Pforta Nietzsce telah menunjukkan tanda-tanda pemberontakan hatinya dengan menulis Ohne Heimat (tanpa kampung halaman). Bahkan secara perlahan mulai mempertanyakan iman kristennya dan meragukan semua kebenaran agama. Pada oktober 1864 Nietzsche melanjutkan studi di universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Pada 1865 ia memutuskan untuk tidak belajar teologi. Keputusan yang sangat ditentang oleh ibunya. 

Di Bonn ia hanya bertahan selama dua semester dan kemudian tahun 1865 ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Di Leipzig ia dianggap oleh Fiedrich Ritschl sebagai mahasiswa berbakat dalam bidang filologi. Pada tahun 1869 ia menjadi guru besar di Basel-Swis, waktu itu usianya 25 tahun. Tetapi masa itu, ia tidak lagi mempunyai kewarga negaraan, karena telah memutuskan keluar sebagai warga negara Jerman, tetapi justru kesulitan menjadi warga Negara Swis. 

Tahun 1879 ia dipensiunkan oleh karena alasan kesehatan. Lengkaplah petualangan Nietzsche sebagai orang yang tidak punya apa-apa. Tidak bertuhan, tidak mempunyai rumah, tidak berkewarganegaraan dan tidak beristri. Gangguan kesehatan tidak membuat Nietzsche berhenti berkarya. Dia bahkan menghasilkan beberapa buku yang membuatnya terkenal. Pada akhirnya ia menjadi gila dan meninggal pada 25 agustus 1900.

Siapa Yang Berpengaruh dalam Pemikiran Nietzsche

Ada beberapa tokoh yang dapat kita sebut sebagai yang digemari Nietzsche. Tetapi Nietzsche pada akhirnya akan membangun filsafatnya sendiri, yang tidak lagi terikat pada pandangan pemikir-pemikir tersebut, tetapi justru lebih masuk dalam pendalaman filsafat klasik Yunani. Ini tentu menjadi sangat rasional, karena Nietzsche sendiri adalah seorang doktor filologi klasik Yunani, bahkan sebelum dia menjadi doctor dia telah diangkat menjadi seorang professor di Basel.

Beberapa pemikir dan sastrawan yang dikagumi oleh Nietzsche adalah Wagner dan Schopenhauer. Schopenhauer adalah salah satu tokoh yang cukup berpengaruh dalam hidup Nietzsche. Nietzsche mulai berkenalan dengan teks Scophenhauer ketika secara iseng membeli sebuah buku Schopenhauer di tempat loakan. Schopenhauer berpandangan bahwa:

kehendak pada hakikatnya bersifat jahat dan satu-satunya cara mengatasi penderitaan dan kejahatan adalah mengingkari kehendak, menolak untuk ambil bagian dalam persaingan egoistis untuk mendominasi orang lain. Hasilnya adalah pengingkaran kehendak ... berarti penyirnaan diri. Kini filsafat memasuki dunia kesucian asketis dan Schopenhauer mengungkapkan pengaruh Buddhisme pada dirinya.[2]

Nietzsche menggunakan terminologi kehendak, tetapi melihatnya sebagai daya dorong bukan justru mengingkarinya seperti Schopenhauer. Nietzsche menyebut kehendak untuk berkuasa sebagai daya dorong untuk membuat kita memperjuangkan sesuatu. Dengan demikian Nietzsche tidak lagi melihat kehendak seperti dalam pandangan Schopenhauer, tetapi lebih memahaminya sebagai daya dorong yang justru akan membantu manusia dalam mengingini sesuatu. 

Dalam "the will to power", Nietzsche mengambarkan bahwa hakikat being adalah kehendak untuk berkuasa. The will to power kemudian dijadikan oleh Nazi sebagai landasan filosofisnya untuk membenarkan pembantaian yang mereka lakukan. Meskipun Nietzsche sendiri tidak pernah memaksudkan the will to power sebagai bentuk provokasi, seperti disampaikan oleh St. Sunardi.

Perjumpaan dengan Wagner seorang seniman adalah perjumpaan yang banyak mempengaruhi pemikiran Nietzsche. Sebagai pencinta musik dan puisi, Nietzsche menyukai musikdan pertunjukan-pertunjukan Wagner. Beberapa karya Wagner yang disukai oleh Nietzsche adalah:

Art and revolution (juli 1849). ... Wagner berpendapat bahwa awalnya seni-seni secara individual (music, drama, teater, dan sebagainya) merupakan satu kesatuan yang lengkap dan sempurnah. Bentuk seni semacam ini hanya ada pada drama tragedy Yunani dan pudar sekitar abad kelima Sebelum Masehi (SM) ketika terbagi menjadi bermacam-macam komponen. Sesudah itu, dan sampai sekarang, orang lebih banyak menengok ke filsafat daripada seni untuk memahami dunia. oleh karena itu, seni dalam bentuknya yang paling tinggi dan sempurnah adalah pra-Kristiani.The artwork the future (September 1849). Di sini Wagner mengemukakan pendapat bahwa segala macam temuan terbesar umat manusia, dari bahasa sampai masyarakat, merupakan produk dari volk (folk dalam bahasa Ingris; rakyat). Opera dan drama (Januari 1851). .... A Communication to my Friends (Agustus 1851).[3]

Karya-karya ini disukai oleh Nietzsche sebagai seorang yang memang mencintai seni. Tetapi pada akhirnya Nietzsche tersadar ketika menghadiri festival trilogi ring Wagner. Nietzsche sadar bahwa Wagner bukanlah seperti yang dia bayangkan. Nietzsche melihat trilogi ring sebagai anti semit, hal yang tidak disukai oleh Nietzsche. Meskipun demikian ketika buku the birth of tragedy diterbitkan, para komentator Nietzsche menyebut buku itu masih ada dalam bayang-bayang Wagner

 Menafsir Nietzsche dalam The Gay Science 125

Dalam buku the gay science (ilmu yang mengasyikkan) bagian 125 Nietzsche bercerita tentang seorang gila yang membawa lampu lentera di pagi hari yang cerah ke pasar mencari Tuhan:

The madman. - Haven't you heard of that madman who in the brightmorning lit a lantern and ranaround the marketplace crying incessantly,'I'm looking for God! l'm looking for God!' Since many of those whodid not believe in God were standing around together just then, hecaused great laughter. Has he been lost, then? asked one. 

Did he lose hisway like a child? asked another. Or is he hiding? Is he afraid of us? Hashe gone to sea? Emigrated? - Thus they shouted and laughed, oneinterrupting the other. The madman jumped into their midst andpierced them with his eyes. 'Where is God?' he cried; 'I'll tel1 you! Wehave kil/ed him - you and I! Wc are all his murderers. But how did wc dothis? How were wc able to drink up the sea? Who gave us the spange towipe away the entire horizon? What were wc doing when wc unchainedthis earth from its sun? Where is it moving to now? Where are wcmoving to? 

Away from all suns? Are wc not continually falling? Andbackwards, sidewards, forwards, in all directions? Is there still an up anda down? Aren't wc straying as though through an infinite nothing? Isn'tempty space breathing at us? Hasn't it got colder? Isn't night and morenight coming again and again? Don't lanterns have to be lit in themorning? Do wc still hear nothing of the noise of the grave-diggers whoare burying God? Do wc still smell nothing of the divine decomposition?- Gods, too, decompose! God is dead! God remains dead! 

And wchave killed him! How can wc console ourselves, the murderers of allmurderersl The holiest and the mightiest thing the world has everpossessed has bled to death under our knives: who will wipe this bloodfrom us? With what water could wc clean ourselves? What festivals ofatonement, what holy games will wc have to invent for ourselves? Is themagnitude of this deed not too great for us? Do wc not ourselves have tobecome gods merely to appear worthy of it? 

There was never a greaterdeed - and whoever is horn af ter us will on account of this deed belongto a higher history than all history up to now!' Here the madman fellsilent and looked again at his listeners; they too were silent and lookedat him disconcertedly. Finally he threw his lantern on the ground sothat it broke into pieces and went out. 'I come too early', he then said;'my time is not yet. This tremendous event is still on its way, wandering;it has not yet reached the ears of men. 

Lightning and thunder needtime; the light of the stars needs time; deeds need time, even after theyare done, in arder to be seen and heard. This deed is still more remoteto them than the remotest stars - and yet they have done it themselves!' Itis still recounted how on the same day the madman forced his way intoseveral churches and there started singing his requiem aeternam deo.10Led out and called to account, he is said always to have replied nothingbut, 'What then are these churches now if not the tombs and sepulchers of God?'[4]                                 

Allah telah mati dan kitalah pembunuhnya. Demikian kata orang gila kepada orang-orang yang ada di pasar. Dalam tafsiran Setyo Wibowo menjebut bahwa, orang-orang yang didatangi orang gila di pasar adalah orang-orang yang memang tidak mengenal Allah. Sehingga kelompok ateis tersebut justru menertawakan dan mengolok-olok orang gila tersebut karena mencari Allah yang mereka tidak percayai.Kata orang gila itu di mana Allah? Di mana Allah? 

Para ateis yang ada disitu mengolok-olok si gila dengan perkataan: "Apakah dia hilang? Apakah dia tersesat seperti anak kecil? tanya yang lain. Atau mungkin dia bersembunyi? Apakah dia takut pada kami? Apakah dia pergi ke laut? Beremigrasi? Si gila tiba-tiba melompat dan dengan tatapan mata yang tajam menyebut Allah telah mati, dan kita adalah pembunuhnya (aku dan kamu adalah pembunuhnya).

Tuduhan si gila bahwa kita adalah pembunuh Allah, membuat orang-orang diam tidak mengerti. Para ateis yang ada disitu tidak menemukan makna, apa konsekuensi dari kematian Tuhan. Si gila kemudian membuang lampunya dan pergi meninggalkan orang-orang tersebut, sambil berkata: aku datang terlalu cepat, waktunya belum tiba. Pertanyaannya adalah mengapa para ateis ini seperti tidak mengerti dengan apa yang dikatakan si gila. 

Apakah mereka memang tidak paham? Atau pura-pura tidak tahu? Nampaknya para ateis ini ingin mengatakan pada si gila, jika Tuhan sudah mati, mau apalagi! Toh kami masih mempunyai tuhan-tuhan lain seperti science, atau rasionalitas. Tuhan mati tidak ada dampaknya bagi kami. Kami punya tuhan yang lain. Tuhan sebagai kepercayaan telah mati, dan kitalah pembunuhnya, kata Nietzsche. Nietzsche ingin menyampaikan zaman baru, zaman nihilistik. Zaman di mana tidak adalagi pegangan apapun.

Ya, tidak ada pegangan, nihil! Bahkan zaman matinya Tuhan bagi Nietzsche adalah zaman kekosongan. Nietzsche dalam hal ini, tidak hanya mendeklarasikan sikap ateismenya, tetapi juga mengkritik secara habis ateisme yang masih mempunyai pegangan, atau fondasi. Bagi Nietzsche itu pun adalah sebuah keyakinan. Tuhan sudah mati, dengan demikian benar-benar bicara tentang nihilisme. Sebuah kekosongan yang tanpa pegangan. 

Tetapi Nietzsche kemudian balik bertanya, "Bagaimana mungkin kita mengosongkan lautan? Siapa yang telah memberikan kepada kita spon (spange) untuk menghapus seluruh horison? Apa yang telah kita buat dengan melepas bumi ini dari matahari? Ke mana bumi ini sekarang berputar? Ke mana gerak bumi ini membawa kita sekarang? 

Jauh dari segala matahari-matahari? Tidakka kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti? Terperosok ke belakang, ke samping ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada atas dan bawah? Tidakkkah kita sekarang menyassar-nyasar melalui kekosongan tanpa batas? Tidakkah kita rasakan hembusan kekosongan? Bukankah rasnya lebih dingin? Tidakkah rasanya menjadi malam dan semakin lama semakin malam?".

Pertanyaan-pertanyaan Nietzsche tersebut, menjadi sebuah refleksi mendalam bagi kaum ateis. Apa mungkin kita benar-benar kehilangan pegangan, seperti melepaskan bumi dari matahari, dan membiarkan bumi berputar tanpa arah? Apa mungkin mereka yang menyebut diri tidak bertuhan yang ada di pasar benar-benar tidak lagi mempunyai pegangan? 

Atau mereka justru mempunyai matahari-matahari yang lain? Semua ini menjadi pertanyaan Nietzsche sekaligus sebuah kritikan yang pedas untuk mereka yang menyebut dirinya ateis, tetapi sesungguhnya masih mempunyai pegangan yang lain. Mereka melepaskan matahari, tetapi menggenggam matahari yang lain. Melepaskan Tuhan sebagai sebuah kepercayaan, tetapi menggenggam kepercayaan yang lain. Nietzsche menyebut dalam ecce homo bahwa: "Aku tidak menginginkan 'orang-orang yang percaya', aku pikir aku terlalu dendam untuk mempercayai diriku sendiri,..."[5]

Nietzsche tidak hanya mendeklarasikan Tuhan telah mati, tetapi Nietzsche menuduh kita sebagai pembunuh Tuhan. Pertanyaannya adalah, Tuhan seperti apa yang dimaksudkan oleh Nietzsche?Apakah Tuhan seperti dalam pandangan kaum monoteistik? Nampaknya kita dapat mengatakan bahwa Tuhan yang dimaksud oleh Nietzsche adalah Tuhan seperti itu. Setyo Wibowo menyebutnya sebagai: "Subjek transendental telah mati, karena subjek transendental dianggap menindas lalu muncul subjek-subjek kecil yang tak kalah anarkisnya yang juga menindas, sewenang-wenang, seenaknya sendiri".

[6]Subjek transendental adalah nama yang menjadi analog untuk Tuhan dalam agama-agama. Tuhan itu dianggap mati, dan telah digantikan oleh tuhan-tuhan yang lain yang sama anarkisnya dengan Tuhan kaum monoteis. Dengan demikian manusia tetap berada dalam sebuah kebergantungan pada yang lain, sekalipun telah melepaskan Tuhan yang dianggapnya sebagai Tuhan yang mengekang kebebasannya.

Nietzsche dengan demikian tidak hanya mengkritik Tuhan monoteis, tetapi juga mengkritik secara keras penganti Tuhan yakni science, atau pun rasionalitas manusia. Sehingga dapat dikatakan kritik Nietzsche tidak hanya tertuju pada kaum monoteis, tetapi juga pada kaum scientific dan kaum rasionalis. 

Nietzsche ketika menyebut dirinya sebagai seorang nihilis, maka dia benar-benar tidak mempunyai pegangan. Seperti seorang yang berlayar di samudera dan tidak akan kembali karena dermaga telah diluluhlantakkan. The Gay Science 124: "We have forsaken the land and gone to sea! We have destroyed the bridge behind us - more so, we have demolished the land behind us!"[7]Kapal akan terus berlayar di samudera, karena dermaga telah dihancurkan. Tidak ada lagi tempat untuk bersandar, tidak ada lagi pegangan.

Nietzsche mengkrtik sekaligus bertanya, apa mungkin kita hidup tanpa pegangan apapun? Apa mungkin kita tidak akan merindukan kembali dermaga yang telah kita hancurkan? Apa mungkin matahari dan bumi dapat berpisah? Semua pertanyaan ini membutuhkan jawaban. Apa mungkin, kita hidup tanpa kepastian? 

Atau mungkin Nietzsche ingin mengatakan bahwa kepastian itu hanya ada pada ubermensch dan bukan pada manusia yang bermental budak.Pertanyaan lain adalah, apakah Nietzsche benar-benar tidak percaya akan Tuhan? Atau apakah Nietzsche mempunyai Tuhan lain seperti yang diyakini oleh para scientific. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini.Kita mungkin bisa menjawabnya dengan mengaitkannya dengan mitos Dionisyus. Mitos Dionysius yang di agung-agungkan oleh Nietzsche. Apakah Nietzsche ingin mengatakan sesuatu tentang yang transendental yang dipahami seperti dionysius?

Pertanyaan ini menjadi pertanyaan penting untuk melihat apa yang mau dikatakan Nietzsche ketika bicara tentang dewa Dionysius. Dewa Dionysius selalu dipertentangkan dengan moralitas kristiani. Seolah dewa Dionysius adalah dewa yang diimpikan oleh Nietzsche. Dalam buku lahirnya tragedi dikisahkan bahwa:

Dionysius yang nyata tampak dalam pelbagai figur, di dalam topeng seorang pahlawan kesatria dan, kita dapat mengatakan, terperangkap di dalam jarring kehendak individu. ...penderitaan Dionysian yang sejati, yang menghasilkan perubahan wujud menjadi udara, air, tanah dan api, dan karena itulah kita harus melihat kondisi individuasi itu sebagai simbol dan asal mula segala penderitaan dan dengan demikian patut dicela. 

Dari senyuman Dionysius ini lahirlah dewa-dewi Olimpian, dari cabikan-cabikannya lahirlah umat manusia. dalam eksistensinya sebagai dewa yang tercabik-cabik Dionysius mempunyai sifat dwirangkap sebagai daemon yang kejam dan biadab dan sebagai penguasa yang halus dan lemah lembut.[8]

 Artinya Nietzsche pun melakukan pencarian akan yang kudus. Mengagumi Dionysius sebagai dewa yang bertopeng, dewa yang mempunyai sifat rangkap kejam dan baik. Nietzsche dalam hal ini seperti melakukan pencarian akan yang transenden yang akan dipahaminya dalam dewa Dionysius. Pilihan Dionysius, adalah gambaran bagaimana Nietzsche tidak dapat menggambarkan yang ilahi sebagai sebuah konsep yang jelas. Tidak jelas karena dewa Dionysius adalah dewa bertopeng yang abstrak. 

"Dionysian adalah mentalitas kebudayaan Yunani yang cenderung melampaui segala aturan atau norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal batas"[9]. Pertanyaannya adalah, apakah dengan kekaguman pada Dionysius maka Nietzsche dapat dikatakan kembali menjadi teis? Tidak mudah untuk menjawab itu, tetapi yang pasti bahwa ada kerinduan dari  Nietzsche untuk melakukan pencarian. Sekalipun dia secara terang-terangan mendeklarasikan kematian Tuhan, tetapi dalam diri Nietzsche nampaknya kita masih dapat melihat jejak-jejak pencarian akan sesuatu. Nietzschetidak berani untuk mengkonsepkan Tuhan, seperti Tuhan yang sering dikonsepkan oleh agama-agama.

Nietzsche tidak hanya mengagumi Dionysius, tetapi juga mengagumi kebudayaan Yunani abad ke 6 SM. Mengapa? Nietzsche menyebut bahwa zaman ini adalah zaman manusia-manusia genius Yunani. Nietzsche menyebut filsuf zaman itu sebagai filsuf sejati. "Filsuf sejati, bukan hanya karena mereka adalah pencari-pencari sejati, melainkan juga karena mereka tidak terperangkap dalam kepercayaan transendental akan dewa-dewa, maka berpikir merdeka dan kreatif."

[10] Nietzsche mengagumi para filsuf ini sebagai manusia yang tidak terikat pada kepercayaan-kepercayaan yang ada disekitarnya. Mereka adalah filsuf yang bebas, yang mencari kebenaran pada keluasan alam, bukan pada kedangkalan berpikir manusia yang sering jatuh pada kebenaran yang di absolutkan.Nietzsche tidak senang pada pengobjektifan nilai kebenaran. Seperti halnya yang dilakukan oleh kaum rasionalis dan para agamawan. Karena itulah Nietzsche dikenal sebagai seorang nihilis.  

 Nihilisme Nietzsche dapat dipahami sebagai sebuah penolakan terhadap nilai-nilai objektif. Nietzsche menolak segala bentuk kebenaran yang di objektifkan, sehingga seolah menjadi kebenaran universal. Tidak ada kebenaran objektif, sehingga Science pun tidak dapat menganggap kebenarannya sebagai sesuatu yang paling objektif.Nietzsche menolak pengobjektifan kebenaran. Tidak ada kebenaran tunggal yang dapat menjadi raja, semua kebenaran dapat diuji di laboratorium Science.

 Nihilisme Nietzsche menemukan titik puncaknya dalam doktrin perulangan abadi. Orang tidak boleh menerima nasibnya begitu saja dan, bahkan sungguh-sungguh mencintai nasibnya, tetapi juga mengakui bahwa eksistensi tanpa tujuan ini akan berulang terus menerus untuk selamanya. Orang yang mampu melakukan hal ini layak diberi gelar "adimanusia". Adimanusia adalah seorang nihilis. Dia menolak adanya nilai-nilai objektif atau nilai apapun.[11]

Seorang nihilis sejati bagi Nietzsche adalah mereka yang tidak percaya pada kebenaran objektif. Tidak ada nilai yang objektif, karena itu setiap manusia menjadi unik pada dirinya sendiri. Unik karena mereka memiliki nilai kebenaran pada dirinya sendiri.Nietzsche meyakini bahwa ada ubermensch yang akan menjadi manusia yang benar-benar mengakui sebuah eksistensi tanpa tujuan. Tujuannya adalah ketika dia tidak mempunyai tujuan. 

Karena itulah nihilisme dalam konsep Nietzsche adalah nihilisme yang percaya bahwa tidak ada nilai objektif. Nilai objektif hanya membuat manusia menjadi budak dan tidak membebaskannya sebagai manusia bebas. Nilai objektif menjadikan kebenaran sebagai universal, sehingga mengabaikan kebenaran yang lain. Nilai objektif membuat manusia sering kali tunduk pada nasibnya, menerima begitu saja apa yang terjadi. Penerimaan begitu saja justru telah membuat manusia tidak dapat berpikir kritis. Mereka telah menjadi budak nilai-nilai objektif. Itulah yang menyebabkan Nietzsche selalu mempertentangkan antara moralitas kristiani dengan moralitas Dionysian.

Mentalitas Dionysian inilah yang dimiliki oleh para genius dalam kebudayaan Yunani pra-Sokratik. Mentalitas inilah yang kemudian dimusuhi dan dibasmi oleh para filsuf sesudah Sokrates atas nama rasionalitas dan diperhebat oleh agama Kristen. Agama kristen menurutnya adalah vampirisme moral. Agama ini menghisap darah kebudayaan atas nama moralitas yakni daya-daya vital yang memungkinkan kebudayaan menghasilkan genius-genius dan inovasi-inovasi.[12]

Mentalitas Dionysian dipakai oleh Nietzsche untuk mengambarkan moralitas yang baik. Moralitas Dionysian adalah moralitas yang dicari oleh manusia. sebaliknya moralitas kristiani harus ditinggalkan karena menjadi beban, dan tidak memberi ruang ekspresi bagi manusia. Kebencian Nietzsche pada moralitas kristianitas tentu sangat terkait dengan pandangan Luther yang memahami manusia sebagai makhluk yang secara kodrati telah rusak. 

Kerusakan manusia ini hanya mungkin diperbaiki oleh anugerah Allah (sola gratia). Manusia yang hanya mengandalkan belas kasihan Allah, adalah manusia yang lemah. Manusia yang hanya bergantung pada sesuatu yang eksternal diluar dirinya. Artinya manusia seperti itu tidak dapat membuat dirinya menjadi makhluk yang hebat, atau dalam bahasa Nietzsche ubermensch. Atau dengan kata lain, apa yang diimpikan Nietzsche tentang ubermensch tidak akan pernah dapat kita temui dalam keyakinan seperti itu. Itulah sebabnya konsep Dionysian menjadi penting untuk dipahami sebagai antitesa dari moralitas kristiani.  

 

Tuhan Seperti Apa yang Dibunuh Manusia?

Ada beberapa tafsiran tentang Tuhan yang dibunuh oleh manusia. Franz Magnis sebagaimana ia mengutip Weischedel mengatakan bahwa:

Tetapi mengapa Allah harus dibunuh, dan bagaimana pembunuhan Allah dilakukan? Sebetulnya Allah tidak dibunuh. Nietzsche tidak pernah mau mengatakan bahwa Allah pernah ada. Allah tak pernah ada. "manusia menciptakan Allah" [dikutip dari Weischedel 435]. Allah yang dibunuh adalah Allah yang diciptakan manusia. Tetapi Allah itu, itulah yang ditegaskan Nietzsche, harus, dan akhirnya jadi, dibunuh. Karena sesudah Allah diciptkan oleh manusia, ia menguasai manusia, mengasingkannya dari dirinya sendiri dan dari dunianya Allah membuat manusia menjadi kerdil, mengkorupsikan moralitasnya.[13]

Allah seperti inilah yang telah dibunuh oleh manusia. Artinya manusia sesungguhnya sedang menolak proyeksi tentang Allah dalam pikirannya."Konsep "Allah", kata Nietzsche, merupakan musuh terpenting untuk konsep "eksistensi". Ide "Allah" berperang dengan hidup. Lalu kematian ide "Allah" membuka jalan untuk hidup manusia."[14]Tafsir lain tentang Allah yang dibunuh adalah, Allah kaum monoteis, mungkin lebih tepatnya Allah orang-orang Kristen. 

Allah yang membuat manusia bermoral rendah, bermental budak. Allah yang telah membuat manusia tidak berdaya tanpa Dia. Manusia menjadi makhluk yang bergantung sepenuhnya pada Tuhan, sehingga mereka tidak mungkin menjadi ubermensch. Karena itu, Tuhan harus dibunuh agar ubermensch bisa muncul. Jika Tuhan belum dibunuh, maka peradaban baru belum dimulai, tetapi jika Tuhan telah dibunuh maka kita telah memulai zaman baru. Zaman di mana akan muncul ubermensch. Pertanyaannya adalah yang mana dari kedua tafsir ini yang paling mendekati apa yang mau dikatakan Nietzsche bahwa, Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya.

   Jika kembali melihat kisah orang gila yang membawa lentera ke pasar, maka kita dapat mengatakan bahwa semua pegangan manusia kepada "sesuatu" telah dibunuh oleh manusia. Atau dengan kata lain baik Allah yang diproyeksikan oleh manusia, Allah monoteis yang dipercayai oleh agama-agama, pun pengganti Allah yakni Science atau sejenisnya, semuanya telah dibunuh oleh manusia. Jika di pasar kita melihat kaum ateis yang memang sudah tidak percaya kepada Tuhan, maka pertanyaannya adalah, untuk apa memberitakan Tuhan sudah mati kepada yang sudah tidak percaya adanya Tuhan. 

Tetapi karena kaum ateis ini masih mempunyai pegangan akan Tuhan yang lain, karena itulah orang gila itu harus memberitakan kepada mereka tentang Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya. Tuhan yang mati bukan hanya Tuhan kristianitas, tetapi juga Tuhan yang ada dalam proyeksi pikiran kita. Mengapa Tuhan dalam proyeksi pikiran harus mati?

Apa masalahnya kalau Tuhan yang kita proyeksikan hidup dalam pikiran kita? Jika dia hidup maka dia berkuasa atas pikiran kita. Artinya eksistensi kita sedang dikuasai oleh sebuah bayang-bayang yang kita ciptakan, entah kita sadar atau tidak. Bukankah ketika kita mengatakan, 

Tuhan adalah proyeksi pikiran, berarti kita sesungguhnya sedang dalam ketakutan. Untuk apa manusia membuat konsep Tuhan dalam pikirannya kalau dia tidak diselimuti rasa takut. Bukankah kita tidak perlu repot membuat konsep seperti yang dikatakan Feuerbach bahwa, "Tuhan hanyalah proyeksi pikiran", jika kita tidak percaya akan Tuhan. Karena itulah jika Nietzsche menyebut Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya. Ungkapan ini menunjuk konsep nihilisme. Tidak perlu ada pegangan manusia, karena manusia tidak membutuhkan pegangan. Seperti kapal yang meninggalkan dermaga, dan tidak pernah rindu untuk pulang ke dermaga, karena dermaga telah dihancurkan.

Kita semua adalah manusia-manusia yang telah ada dalam samudera. Kita tidak pernah berpikir untuk kembali, karena dermaga telah dihancurkan, tetapi kita sedang berpikir bagaimana menjadi ubermensch. Nietzsche adalah filsuf yang sedang memimpikan lahirnya ubermensch dari konsep nihilismenya. Ubermensch adalah konsep yang sangat penting dalam pandangan Nietzsche. Ubermensch adalah gambaran yang diinginkan Nietzsche, yang dinantikan oleh Nietzsche. 

Ubermensch bukan manusia super, tetapi manusia yang yang mempunyai tanggungjawab atas dirinya sendiri. Manusia yang tidak lagi membebani Allah, atau lari pada agama ketika mereka tidak berdaya. Manusia yang mampu menyelesaikan persoalannya sendiri tanpa bergantung pada yang lain. Manusia yang berjuang di tengah samudera, dan tidak pernah berpikir untuk memutar balik kapalnya, kembali ke dermaga, karena dermaga telah hancur. Itulah ubermensch dalam pandangan Nietzche, manusia yang melampaui.

 Hanya manusia seperti itu yang sanggup membunuh Tuhan, bukan manusia-manusia seperti yang ada di pasar. Menganggap diri sebagai kaum ateis, tetapi masih terikat pada sesuatu yang lain. Karena itulah si orang gila mengatakan pada dirinya:

Finally he threw his lantern on the ground so that it broke into pieces and went out. 'I come too early', he then said; 'my time is not yet. This tremendous event is still on its way, wandering; it has not yet reached the ears of men. Lightning and thunder need time; the light of the stars needs time; deeds need time, even after they are done, in arder to be seen and heard. This deed is still more remote to them than the remotest stars - and yet they have done it themselves!'[15]

Aku datang terlalu cepat, waktunya belum tiba! Orang-orang yang ada di pasar, yang menertawakan si orang gila, ternyata sedang menertawakan dirinya yang disindir secara keras oleh Nietzsche. Mereka tidak paham bahwa kematian Tuhan, berdampak pada lahirnya ubermensch. Kematian Tuhan yang dimaksudkan adalah keyakinan pada Tuhan monoteis, science, rasionalitas dan yang sejenisnya. Para kaum ateis yang ada di pasar tidak mungkin menjadi ubermensch, karena mereka masih mengikatkan dirinya pada sebuah kepercayaan yang lain. Yang kemudian mengikat mereka, pada keyakinan tersebut. 

Inilah yang disebut oleh Nietzsche sebagai orang yang masih bergantung pada yang lain. Orang yang tidak berani bertarung dalam samudera. Ketika ombak ganas menerpa, maka mereka akan merindukan dermaga tempat mereka harus kembali. Berbeda dengan mereka yang telah berlayar dan menghancurkan dermaganya. Mereka berlayar mengandalkan dirinya, karena tidak ada lagi tempat untuk kembali. Inilah gambaran manusia yang diimpikan oleh Nietzsche.

Tuhan telah mati. berarti kita menuju nihilisme, kekosongan. Tidak ada nilai yang objektif. Kita menjadi orang yang skeptis. Seperti ungkapan Nietzsche dalam the gay science51: The sense of truth. - I approve of any form of scepticism to which I can reply, 'Let's try it!' But I want to hear nothing more about all the things and questions that don't admit of experiment. This is the limit of my 'sense of truth'; for there, courage has lost its right.[16] Nietzsche dalam hal ini menjadi filsuf yang menyetujui segala bentuk skeptisisme. Semua bentuk kesangsian bagi Nietzsche adalah baik. 

Karena tanpa kesangsian, maka keberanian akan kehilangan haknya. Sikap skeptisisme membantu kita untuk melihat kebenaran. Sikap itu membantu kita untuk tidak mudah mempercayai sebuah doktrin kebenaran. Termasuk mereka yang menyebut diri sebagai ateis, atau mereka yang menyebut diri sebagai scientific. Justru seringkali kebenaran dipaksakan atas nama scientific atau agama, tetapi kebenaran itu sering kali lolos dari prosedur keilmiahan. Mereka yang mengusung kebenaran objektif dalam hal ini, dianggap oleh Nietzsche sebagai orang-orang yang perlu dicurigai. Mengapa? Karena justru kebenaran objektif itu luput dari verivikasi ilmiah. Inilah bentuk skeptisisme Nietzsche. 

Ubermensch dan Penolakan Akan Tuhan

Apakah mungkin ada ubermensch jika masih ada Tuhan? Ini pertanyaan yang cukup menarik untuk dilihat dalam cara berpikir Nietzsche. Nietzsche memahami bahwa manusia harus melepaskan diri dari semua kebergantungan. Entah kebergantungan pada Tuhan, science atau pada yang lain. 

Dalam Sabda Zarathustra, sang nabi keluar dari pertapaannya untuk memberitakan ubermensch. "Menurut Nietzsche, adimanusia adalah penegasan kehidupan, bukan seperti Scophenhauer yang menjadi penyangkalan kehidupan dan hasrat untuk disirnakan."[17]Jika ubermensch adalah penyangkalan kehidupan, maka itu berarti dia mau menunjukkan eksistensi manusia secara total. Adik Nietzsche yakni Elisabeth menafsirkan bahwa yang dimaksud Nietzsche sebagai ubermensch adalah Hitler. 

Tetapi tafsiran ini pasti meleset, karena Nietzsche sendiri membenci ideology Jerman, seperti yang dia perlihatkan ketika Wagner dalam pertunjukannya menampilkan anti zemit. Pertunjukan yang membuat Nietzsche tidak lagi kagum pada Wagner, karena dianggap anti Semit dan mengangkat-angkat ideology Jerman. Hal lain yang menunjukkan kebencian Nietzsche adalah keluarnya dia sebagai warga Jerman. Konsep yang lain untuk menyatakan bahwa konsep itu keliru adalah ketika Nietzsche menjelaskan ubermensch dalam tiga perubahan roh:

Tiga perubahan roh aku nyatakan kepadamu: dari roh menjadi unta, dari unta menjadi singa dan dari singa akhirnya menjadi seorang anak. ... Semua hal-hal yang terberat ini ditanggung oleh  roh penanggung beban dan bagaikan unta yang setelah dipenuhi beban kemudian bergegas menuju padang pasir, demikian juga roh ini bergegas menuju ke padang pasir. 

Tapi, ditengah padang pasir yang paling sunyi terjadilah perubahan kedua: di sana roh itu menjadi singa dan kebebasanlah yang akan ia terkam dan kekuasaan untuk meraja di padang pasirnya sendiri. ...tapi katakana kepadaku wahai saudaraku, apa yang dapat dilakukan seorang anak, yang tidak dapat dilakukan seekor singa sekalipun? Mengapa singa pemangsa itu masih harus berubah lagi menjadi seorang anak? Lugu anak itu, dan muda lupa, sebuah permulaan baru, sebuah permainan, sebuah roda yang berputar sendiri, sebuah gerak pertama, sebuah ya yang suci.[18]

Nietzsche menjelaskan ubermensch sebagai seperti anak kecil. Anak kecil yang lugu, suci, tulus dan tidak terikat oleh berbagai aturan untuk bertindak. Anak kecil bertindak berdasarkan keinginan dari hatinya. Sehingga semua yang dilakukannya adalah ketulusan. Di sana ada nilai, yakni nilai kebebasan untuk bertindak, berdasarkan ketulusan yang tidak dipengaruhi oleh yang lain. Nietzsche menghadirkan ubermensch dengan menjungkirbalikan nilai-nilai moral kristianitas. 

Mengapa? Karena nilai moral seperti ini, sama sekali bertentangan dengan konsep ubermensch. Ubermensch akan menciptakan nilainya sendiri. Pada sisi lain Nietzsche mengambarkan ubermenschseperti Dionysius.Dan pada sisi ini gambaran ubermensch telah mengkonstruksi sebagai sebuah nilai baru yang dianggap nilai paling tinggi yang di analogkan seperti Dionysius.

Ubermenschjuga mengisyaratkan kematian Tuhan. Karena ubermensch akan menciptakan nilai kebenarannya sendiri, tanpa terikat pada apapun yang ada diluar dirinya termasuk Tuhan. Tidak mungkin ada ubermensch jika masih ada nilai tertentu yang mengatur. Ubermensch hanya akan lahir dari kebebasan manusia, dan bukan dari ketertindasan. Karena itulah menjadi logis ketika Nietzsche menolak moralitas kristiani. Penolakan itu sebagai konsekuensi dari konsep ubermensch dalam pikiran Nietzsche.

Refleksi Filosofis

"Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya", adalah sebuah pernyataan yang mau mengungkapkan kritikan pedas bagi kaum teis dan ateis. Kritikan bagi kaum teis, karena masih tunduk pada moralitas yang lemah, moralitas budak. Moralitas yang tidak dapat membuat mereka mengespresikan kebebasan mereka, tetapi justru mengekang dengan nilai-nilai yang lemah. Sedangkan kritik untuk kaum ateis, ditujukan bagi mereka yang masih mempunyai pegangan dalam hidupnya, sehingga mereka tidak layak disebut sebagai kaum ateis. 

Pegangan itu bisa science, bisa rasionalitas, dan lain-lain.Inilah kritikan keras dalam the gay science 125, ketika seorang gila membawa lampu lentera ketengah pasar pada pagi hari yang terang. Membawa lentera di pagi yang terang, tentu sesuatu yang berlebihan. Berlebihan karena lampu lentera tidak ada artinya dihadapan matahari yang terang. Tetapi lentera juga bisa menunjuk kepada ketidak pahaman manusia akan terang.

Manusia dalam hal ini membutuhkan terang yang lain yang bisa membuka pikiran mereka tentang siapa dirinya. Bahwa mereka adalah makluk yang dapat menjadi istimewah, ketika mereka melepaskan segala pegangan keyakinan dalam dirinya. Bukan pada Science, bukan pada agama, tetapi pada dirinya sendiri. mereka bisa menjadi ubermensch ketika mereka melepaskan ikatan yang mengikat dalam keyakinan mereka. Mereka menjadi ubermensch dan Tuhan pun akan dibunuh oleh mereka. 

Tuhan telah mati, menunjukkan bahwa Nietzsche menginginkan seorang ubermensch. Ubermensch yang tidak terikat pada apapun. Nietzsche mengandaikannya seperti sebuah kapal yang berlayar, berlayar dan kemudian menghancurkan dermaganya. Sehingga kapal itu tidak lagi mempunyai kerinduan untuk kembali ke dermaga. Karena dermaga telah hancur. Kapal itu hanya akan berlayar mengarungi samudera dengan tanpa pegangan. Seperti halnya manusia tanpa Tuhan.

Pertanyaannya adalah, apakah mungkin manusia tanpa pegangan apa-apa dalam hidupnya?Bukankah Nietzsche sendiri berharap sesuatu seperti Dionysius. Tidakkah ini pertanda bahwa Nietzsche sendiri masih membutuhkan pegangan dalam hidupnya. Pegangan nilai moral itu diandaikan oleh Nietzsche seperti Dionysius.Meskipun Nietzsche menolak moralitas kristianitas, tetapi dia memunculkan nilai lain sebagai penganti moral kristianitas.

Nietzsche telah membangun nilainya sendiri dalam konsep ubermensch. Matahari yang satu hilang, tetapi nampaknya Nietzsche membuat matahari-matahari yang lain. Tuhan telah mati dan kitalah pembunuhnya. Tetapi apakah kematian Tuhan tidak akan digantikan dengan tuhan-tuhan yang lain? Semua pertanyaan ini menarik untuk melihat nilai moral seperti apa yang diinginkan oleh Nietzsche.

Jika melihat uraian di atas, maka kita bisa menyatakan bahwa nilai yang mau dibangun oleh Nietzsche adalah nilai kebebasan dan ketulusan. Seperti halnya ubermensch yang dicita-citakan oleh Nietzsche bukanlah seperti unta atau singa tetapi seperti seorang anak kecil. Ubermensch adalah seperti anak kecil yang melakukan sesuatu secara tulus, tidak terikat oleh aturan apapun diluar dirinya. 

Karena itulah Nietzsche lebih memilih menghadapi realitas seperti halnya kapal yang mengarungi samudera. Bagaimanapun manusia hidup dalam dunia yang memilah realitas baik dan buruk, jahat dan tidak jahat, berdosa dan tidak berdosa. Bagi Nietzsche salah satu dari realitas itu tidak perlu dibuang, tetapi harus dihadapi. Karena hidup ini bagaikan berada dalam samudera yang kejam yg tidak bisa dihindari.

Humanitas Nietzsche dengan demikian, bukan humanitas yang melarikan diri dari realitas atau ketakutan terhadap realitas. Tetapi humanitas Nietzsche adalah kemanusiaan yang mau menunjukkan sikap yang sangat menghargai realitas. Sikap Nietzsche seperti halnya filsuf ateis yang lain, mencoba untuk membuat manusia menjadi dirinya sendiri agar tidak dipinggirkan dari berbagai kebergantungan pada sesuatu. 

Kebergantungan manusia pada agama, science, rasionalitas, justru telah meminggirkan manusia dari dunianya. Karena itulah Nietzsche sangat tidak menerima jika manusia lari dari realitas. Tugas manusia adalah berhadapan dengan realitas, karena di sana manusia akan menemukan nilai tersendiri. Sebaliknya melarikan diri dari realitas, berarti manusia sedang memingirkan dirinya dari dunianya, sehingga dia justru menjadi terasing dari dunianya. Seperti halnya seorang anak kecil yang tulus dan tidak terikat oleh berbagai hal, demikianlah manusia akan menjadi seorang manusia sejati.

DAFTAR PUSTAKA

 

Budi Hardiman, F., Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Erlangga, 2011.

 

Hamersma, Harry., Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia , 1986.

 

Jackson, Roy., Friedrich Nietzsche (Nietzsche: A Beginner's Guide). Jakarta: Narasi Pustaka Promethea 2015.

 

Nietzsche, Friedrich., The Gay Science, New York: CAMBRIDGE University Press,

 

2001.

 

_________________.,Sabda Zarathustra, (Thus Spoke Zarathustra). Yogya: Pustaka

 

Pelajar.

 

_________________.,Ecce Homo-lihatlah dia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

 

_________________., Lahirnya Tragedi. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.

 

Suseno, Franz Magnismenalar tuhan., Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Wibowo, Setyo., Seri Kuliah umum: Kelas Filsafat Tentang Nietzsche, Kematian Tuhan dan Genealogi. Jakarta: Salihara, 2013.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun