Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencinta Baso sebesar Gunung Inerie

5 Juni 2017   15:14 Diperbarui: 5 Juni 2017   15:27 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa bahagia ini, seakan menyentak-nyentak untuk dibagi. Tapi, pada siapa? Pada anak-anak Itha takut keceplosan omong. Ada hal yang dapat disampaikan pada anak, ada juga yang tidak boleh. Memilah mana yang boleh dan tidak boleh ini, menjadikannya ragu untuk berbagi pada anak-anak. Pada Nur’aini? Akh, tentu dia sudah tertidur, teman akrab Itha itu, suka tidur sebelum larut. Akhirnya, pilihan jatuh pada Allah. Dzat yang tak pernah bosan mendengar segala keluh kesah Itha. Apa salahnya, jika kini Itha menyampaikan rasa bahagia yang dia rasa? Meski, pihak yang “Disampaikan” lebih mengetahui apa yang dirasa daripada pihak yang menyampaikan.

“Daeng Baso… sudah hampir jam 4” dengan suara pelan Itha berbisik pada telinga Baso.

“Astaghfirullah…” reflek Baso duduk. Masih dengan wajah terlihat lelah, dia tersenyum pada Itha. Baso berdiri melangkah ke Toilet.

Berdua pasangan yang tak muda lagi itu, turun ke Bawah untuk makan sahur, menjemput nikmat Allah yang sudah tersedia, agar ringan untuk melaksanakan nikmat yang lain lagi.

******

Ada budaya di Flores, yang hingga kini masih hidup, apa yang disebut dengan “Istirahat Siang” yakni waktu istirahat yang berlangsung agak panjang. Mulai jam dua hingga empat sore. Pada saat istirahat siang itu, jalanan sepi, toko  sebagian besar tutup. Aktifitas kota kembali bergeliat setelah pukul setengah lima sore.

Jam istirahat baru saja usai, Matahari sudah tak segarang siang tadi, ketika Baso dan Itha mulai melangkah menyusuri kota Ende. Rencana sore ini, mereka akan menziarahi makam Ibu Amsi, Mertua Bung Karno dari istri pertamanya Ibu Inggit.

Bapak  ikuti jalan utama ini, jangan berbelok-belok, sambil Bapak menghitung jumlah mesjid yang Bapak  lalui. Mesjid pertama sebelah  kanan jalan, mesjid kedua sebelah kiri, dan Mesjid ketiga sebelah kanan lagi. Setelah Mesjid ke tiga itu, Bapak tanya lagi. Masyarakat pasti kenal dengan alamat yang Bapak cari. Begitu keterangan yang Baso terima ketika menanyakan alamat Makam Ibu Amsi. Makam mertua Soekarno, ibunda dari Ibu Inggit yang dimakamkan di Ende ini.

Tak sulit memang, menemukan letak pemakaman Ibu Amsi. Alamatnya, segera ketemu. Masalahnya, yang mana letak makam itu. Ada memang, makam yang lebih menonjol  tampilannya dibanding makam yang lain. Tapi, tanpa nisan, tanpa pengenal apapun. Hingga, kita tak tahu siapa yang dimakamkam disana.

Itha merasa ada tangan kekar yang membimbingnya menuju rindangnya pohon di pinggir pemakaman. Tangan Baso. Itha merasa tersanjung dengan bimbingan tangan Baso. Singa tua itu, selalu siap sedia menjaga dirinya dengan sepenuh cinta.

“Selamat siang” sapa seorang pria separuh baya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun