“Ibu Amsi meninggal dan di kubur di Ende ini”
“MasyaAllah. Sakit apa ibu Amsi?”
“Malaria. Sakit yang ketika itu, merenggut banyak nyawa masyarakat kita”
“okh. Itha, jadi ingin menziarahi pusaranya Daeng”
“Iya.. sayang. Besok kita ke sana. Mengunjungi makam Ibu Amsi, sebagai bentuk penghargaan kita pada sang Pahlawan yang tak tercatat dalam sejarah”
*****
Baso meraih pundak Mashitah, wanita yang menemaninya selama ini, dalam suka dan duka. Berdua, anak manusia yang tak muda lagi itu, melangkah beriringan, menapaki jalan meninggalkan pantai raja. Di seberang jalan, di sisi kiri jalan tempat mereka melangkah, masih jelas nampak patung Soekarno, duduk menatap teluk Sawu siang malam di taman perenungan Sokerno.
Perjalanan mereka masih terus berlanjut, sebagaimana perjalanan usia pernikahan yang mereka sudah lalui dengan segala onak durinya.
Semetara itu, sayup-sayup di kampung raja, suara Adzan Isya memanggil umatnya untuk sholat Isya dan sholat taraweh. Bulan ramadhan ini, syarat makna untuk Daeng dan Mashitah.
Perjalan menuju pusat kota, berdua saja tanpa anak-anak, suasana malam ketujuh Ramadhan, membawa kesan yang sulit dilukiskan. Itha merasa muda kembali, tak ada redaksi kalimat yang pas untuk menggambarkan apa yang dirasa Itha.
Tangan Baso menjamah jemari Itha, menuntunnya menyebrangi jalan, ke sebrang Taman perenungan Soekarno di tengah kota Ende. Di bawah temaram lampu Plank ATM BRI, disebrang Taman Perenungan Soekarno. Itha melirik dengan ujung matanya pada Baso. Lelaki Bugis yang bersedia menghabiskan puluhan tahun bersamanya itu, masih terlihat gagah, sedikit Flamboyant. Kalaupun Baso terlihat kasar dan serem, itu hanya kesan pertama bagi yang belum mengenalnya. Namun, bagi Ita, Baso adalah lelaki sejati. Tempatnya bersandar pada tiang kokoh yang bernama Baso.