“Bagaimana dengan Enggit***?”
“Maksud Kus?”
“Kalau Kus bawa Enggit ke Ende, yang membawa tidak tahu, sampai kapan waktu pembuangan ini, kalau tidak dibawa, Kus juga tidak tahu kapan Kus dapat menjenguk Enggit ke Bandung”
“Itu masalah sederhana Kus, Ambu akan ikut Kus ke tanah pembuangan itu, dengan begitu, Enggit tentu akan ikut juga”
“Terima kasih Ambu” Kus berdiri, mencium tangan mertuanya.
Ada genangan air di kelopak sudut mata Kus, dia tahan sekuat mampunya agar tak jatuh, ekspresi haru, pada begitu besar jasa sang mertua pada dirinya, agar tetap kuat.
Begitulah pada 14 Januari 1934 dengan kapal menumpag Kapal Jan Van Riebeek, Ibu Amsi tiba di Ende, bersama Ibu Inggit, guna menemani sang menantu yang kelak menjadi Proklamator dan Presiden pertama RI. Setahun Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 12 oktober 1935 wanita agung ini meninggal dunia, karena serangan malaria.
Soekarno kelimpungan dengan musibah yang dialaminya. Soekarno memangis, tangis yang tak pernah keluar sebelumnya. Bahkan ketika di vonis di buang ke Ende, tanah yang nun jauh disana, jauuuuh sangat dari Bandung, dengan waktu yang tak dapat ditentukan. Soekarno tak menangis.
Soekarno sendiri yang memahat nisan Ibu Amsi, menggali makamnya dan menggotong wanita agung itu ke pemakaman dan meletakkan di liang lahat.
Namun, dimana kini nisan itu, tak meninggalkan jejak sedikitpun. Sejarah itu hilang tak berbekas. Bahkan menurut H.Usman, ketika siang hari, tempat itu tempat pacaran anak SMA dan di malam hari, anjing liar kerap tidur-tiduran diatasnya.
Tak terasa, ada isak yang sempat tertangkap telinga Baso, sigap Baso memeluk Mutiara cintanya. Dua insan yang tak muda itu, larut dalam dekapan, melarutkan cintanya agar kekal abadi. Sementara dari kejauhan terdengar Adzan Maghrib pertanda tiba waktu berbuka.