Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

La dan Ron

13 Februari 2016   14:16 Diperbarui: 13 Februari 2016   14:22 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="laron yang mengerubungi api."][/caption]Selazimnya bulan Januari, Februari dan Maret. Hujan turun hampir setiap hari. Hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja, hari-hari tanpa hujan. Kadang lebat, tak jarang, sepanjang hari hujan dengan rinai yang tiada henti dengan angin kecil yang menyertainya. Tak jarang, hujan lebat yang tiada henti itu membawa bencana banjir.

Itulah ironis negri ini, air jadi bahan langka ketika kemarau, untuk menjangkaunya, perlu perjuangan tersendiri, terkadang, mereka berebut air telaga bersama ternak yang digembala, dibagian lain, sebagian warga dipaksa menghirup asap yang tak berkesudahan. Berminggu, berbulan tanpa tahu kapan selesai, kecuali ketika hujan tiba.

Kini hujan telah tiba, sebagian dari kita tak dapat mencari nafkah, karena longsor terjadi dimana-mana, sungai meluap, menjadikan banjir, merendam segalanya. Sebuah Ironis negri yang bernama Indonesia.

Hari ini, tak turun hujan. Kalau hal ini berlangsung terus hingga malam, La dan Ron, janjian akan akan datang ke rumah pak Lurah. Inilah pertama kali mereka akan terbang, menikmati indahnya malam, indahnya lampu, indahnya sinar yang akan menghangatkan diri. Soal hangatnya bathin, jangan tanya. Sejak mata itu saling bersitatap antara La dan Ron, bathin mereka perlahan sudah dirayapi kehangatan cinta.

Kehangatan bathin yang terselubung dinginnya permukaan tanah lembab, karena basuh air hujan yang turun nyaris hampir setiap hari. Agaknya, do’a dua makhluk kecil La dan Ron, akan terkabul hari ini. di langit, ada biru langit yang terlihat diantara awan putih. Semoga awan itu, akan tetap putih, tak berganti hitam, lalu menguasai sang cakrawala, untuk kemudian menurunkan hujan. Jika itu yang terjadi. Maka janji untuk rendezvous mereka, akan gagal.

Akan ada dua hati makhluk kecil yang kecewa. Jika hal itu berlangsung terus, maka akan ada dua nyawa yang penasaran. Karena umur mereka, La dan Ron sesungguhnya tak akan berlangsung lama.

**********

Sore menjelang, berganti awal malam, langit cerah. Ada sebongkah bentuk bola yang bercahaya diatas sana. Sang Rembulan.

Dari balik bongkah tanah basah itu, dua makhluk kecil itu keluar, kedua sayapnya yang masih lemah sebentar lagi akan kuat, seiring kepakan yang akan mereka lakukan dalam perjalanan menuju rumah pak Lurah.

“Pelan-pelan aja La…” Ron memperingatkan pujaan hatinya.

“Iya Ron, tak perlu tergesa-gesa…” jawab La, pada sang kekasih.

“Waktu kita sampai pagi nanti, sayang…” ujar Ron lagi.

“iya sayang…” balas La lagi.

Kedua makhluk itu sadar, umur mereka hanya satu malam. Bahkan beberapa lagi, pada mereka yang ceroboh akan lebih singkat lagi. Tak sampai satu malam, hanya setengah malam. Atau bahkan lebih singkat lagi, tak sampai setengah malam. Ketika saat pertama mereka melihat lampu, lalu, terkesima dengan keindahan sinar lampu yang dipancarkannya. Dengan sepenuh mimpi mereguk sinar lampu itu, menabrakkan diri, dengan satu tujuan, menyatukan diri dengan sinar yang melenakan itu. Namun, apa yang dinanyakan itu, indah. Meregangkan nyawa. Menjemput kematian.

Tak ada siapa-siapa di Teras rumah pak Lurah. Agaknya, penghuni rumah sudah tahu akan kedatangan mereka. Pintu rumah pak Lurah tertutup. Namun, apa peduli makhluk yang datang ini, dengan pintu rumah pak Lurah. Tujuan mereka cuma satu, menjemput hangat dari sinar lampu yang terang benderang di teras rumah pak Lurah.

“Hati-hati la…” lirih suara Ron pada La yang coba hinggap di langit-langit teras rumah pak Luran.

“Hufsss…” hela suara lemah La, begitu hinggap, pas disebelah Ron.

“Jangan jauh-jauh dari aku La”  bisik Ron pada La.

Tak ada jawaban, hanya anggukan kecil dan sinar mata itu. Sinar mata La yang membangkitkan rasa jantan pada Ron, untuk selalu melindungi La. Tak peduli berapa lama usia mereka. Sekali berarti, sudah itu mati. Makin singkat usia hidup, makin pastikan arti kehadiran kita pada kehidupan itu.

Beberapa teman mereka, tak sabar membaca situasi, langsung saja menuju pada lampu yang bersinar terang itu.

Huufffz…ada panas yang menyengat. Lalu, jatuh, mati. Beberapa lagi, tak sampai mengenai lampu, begitu rasa panas itu terasa menyengat, lalu, hinggap sekitar lampu, dan….. ugggghhh, lidah sang cicak menjulur cepat, tafffz, masuk mulut cicak, lalu mati.

Korban-korban berjatuhan, ada yang jatuh setelah mengenai lampu, ada yang berakhir di perut cicak. Semua jelas, terlihat oleh Ron.

Ron tak ingin konyol, dia tak ingin mati cepat. Ada La yang butuh perlindungannya, ada rasa kejantanan yang ingin pembuktian, arti kehadirannya untuk La, ada upaya maksimal untuk memperpanjang usia ini.

“La….” Bisik lirih Ron pada La.

“Iya, sayang….” jawab La, sepenuh mesra.

“Kita pindah yuk..”

“Kemana Ron?” tanya La

“Ke atas genteng, rumah pak Lurah” jawab Ron, matanya, nanar menatap mata La.

“Tapi… keindahan sinar lampu pak lurah ini?”

“Kenapa dengan sinar lampu itu?” balik Ron bertanya.

“Keindahannya, sayang untuk dilewatkan” jawab La lagi.

Inilah keindahan pertama yang La nikmati, sayang untuk dilewatkan begitu saja.

“Aku akan tunjukan pada mu, yang lebih indah lagi” bujuk Ron.

“Apa itu?”

“Ikutlah denganku. Kau akan tahu nanti” jawab Ron lagi,

Ron mulai melepaskan pijakannya, lalu, mulai mengepakkan sayapnya, terbang menuju atap rumah Pak Lurah, La dengan setia, ikut dibelakang Ron, menyertai sang pujaan.

“Kau lihat cahaya di atas sana, La?” tanya Ron pada La, yang hinggap di sebelahnya.

“Apa itu Ron?”

“Itulah sang Rembulan, CiptaanNya,”

“Apa beda dengan lampu, yang dibawah tadi?” tanya La.

“Lampu ciptaan manusia, Rembulan Ciptaan sang Kuasa”

Lampu menyakiti dan membunuh teman-teman kita La, Sang Rembulan tidak. Lampu bersinar, Rembulan bercahaya. Aku akan membawamu ke sana La, ketempat yang aman, tempat dimana tak ada teman-teman kita dihanguskan sang lampu, atau dimangsa sang cicak.  

“Kenapa diam Ron?” tanya La, menyadarkan Ron.

“Aku sedang berpikir La”

“Tentang apa?”

“Tentang Rembulan. Aku ingin mengajakmu kesana”

“untuk apa, Ron”

“Untuk kita, untuk cinta kita, Rembulan tak membunuh, seperti lampu. Maka…”

“Maka, apa…?”

“Maka kita akan abadi, cinta kita akan langgeng.

“Oh… indah nian”

“Kau setuju La?”

“Bersamamu, apa yang gak Ron”

Ron mengepakkan sayapnya, berputar sekitar La, mengisyaratkan agar La juga segera terbang disisinya. Menuju Rembulan, dimana tak ada teman yang terbunuh, tak ada korban dimakan cicak. La, mulai mengepakkan sayapnya, terbang di sisi Ron, menuju sang Rembulan. Perjalan jauh itupun dimulai.

Rembulan tersenyum lebar, wajahnya kini penuh, terlihat sempurna, satu-satu awan menyisih, mempersilahkan kedua sejoli memuaskan seleranya, memandang sang Rembulan.

Ron dan La, terus terbang bersama, saling bergandengan menuju Rembulan. Rembulan terus tersenyum menyambut kedatang sejoli yang sedang dimabuk asmara itu.

Makin jauh perjalanan itu, makin mengasyikkan, kini mereka sudah melewati batas ketinggian awan. Awan yang bergerombol-gerombol menutupi sang bumi, kini, sudah dibawah posisi Ron dan La. Indah cakrawala yang berada di bawah Ron dan La, tak dapat dia lukiskan dengan kata-kata. Amazing!!!.

Semuanya, diatas Ron dan La kosong, tak ada sesuatupun, kecuali awan tipis putih dan Rembulan. Udara semakin terasa dingin. Dingin dan dingin. Sayap La terlihat basah oleh Ron, kinilah saatnya pembuktian cinta itu diperlihatkan. Ron, melap semua air yang menggenang pada sayap La. Demikian juga sebaliknya, yang dilakukan La pada Ron.

Tiba-tiba…… byar. Semuanya jadi terang benderang. Sang Rembulan itu hilang entah kemana. Sebagai gantinya, ada bola api besar yang menyala. Tapi, berbeda dengan lampu yang di rumah pak Lurah, bola api itu, tak menyeruakkan panas. La dan Ron masih merasakan dingin. Meski tak sedingin sebelum bola api besar itu muncul. Perlahan-lahan kehangatan menyusupi tubuh Ron dan La. Memberikan tenaga baru pada keduanya untuk terus melanjutkan perjalanan.

Ada angin sejuk yang melewati La dan Ron, angin itu membawa kantuk pada mereka berdua. Usaha Ron dan La kini, bagaimana melawan kantuk dan memastikan arah perjalanan mereka tak berubah, tetap lurus, tetap pada tujuan awal keberangkatan.

Kembali Bola api itu hilang, digantikan sang Rembulan.

Perjalanan itu masih terus berlangsung, entah sudah berapa lama, La dan Ron tak tahu pasti. Disini tak ada lagi hitungan jam, hitungan hari, hitungan bulan. Bukankah, hari dihitung dari perjalanan Bumi mengitari Matahari, satu kali perputaran yang dihitung dengan angka dua puluh empat jam. Padahal pada posisi La dan Ron kini, bumi entah dimana, matahari entah dimana dan Rembulan yang dituju masih nun jauh disana.

Ron memeluk La, La memeluk Ron, mereka saling berpelukan, mengalirkan hangat cinta mereka, saling menguatkan untuk melanjutkan perjalanan yang entah kapan akan berakhir pada titik tujuan.

Mereka sudah tak perduli dengan waktu, tak perduli lagi kapan tiba pada tujuan. Yang La dan Ron tahu kini, perjalanan ini, terasa seakan abadi. Se abadi cinta mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun